Kamis, 04 September 2008

PENGALAMANKU TENTANG “UPETI” DAN SEJENISNYA

Upeti, tanda terima kasih, atau bahkan sogokan pernah penulis alami, yaitu sebagai berikut:
1. Saat penulis lulus SD untuk masuk ke SMP. Setelah mendaftar ikut ujian saringan pada salah satu SMP terdekat, selang beberapa hari seorang guru SMP tersebut mendatangi orangtua saya dan menginformasikan pemastian kelulusan saya, bisa diterima di SMP tersebut asal bersedia membayar beberapa puluh ribu rupiah. Dia berdalih karena banyaknya peminat, walau nilai ijazah saya bagus. Setelah saya mendengar hal itu dari ibu saya, saya langsung memutuskan agar ibu saya tidak mengikuti keinginan orang tadi, dan memohon kepada kepala SD untuk membantu saya mendaftarkan ke Sekolah Teknik Negeri (STN). Dengan bantuan kepala sekolah dan seorang guru STN yang juga tetangga, saya didaftarkan di STN tersebut. Akhirnya setelah ujian saringan, saya dinyatakan lulus dengan nilai terbaik pertama untuk tingkat kabupaten.
2. Saat penulis lulus STN untuk melanjutkan ke STM. Hampir sama kasusnya dengan pengalaman masuk SMP. Orang tua saya harus menyediakan sekian ratus ribu rupiah untuk menjamin kelulusanku pada ujian saringan masuk STM Negeri. Akhirnya saya memindahkan tujuan lanjutan studi saya, dari STM Negeri ke STM Pelayaran/Perikanan (kemudian berganti nama menjadi SMT-Pertanian Jurusan Perikanan Laut), karena saat itu walau banyak pesaing-saya yakin mampu menang dalam persaingan masuk SMT-Pertanian tersebut. Nilai raport dan STTB saya saat itu siap bersaing dengan yang lain. Dan yang lebih penting tidak pakai uang sogokan/pelicin.
3. Saat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Saat saya lepas/lulus SMTP, saya melanjutkan ke perguruan tinggi perikanan di Jakarta, tetapi karena tidak ’mood’, perkuliahan hanya berlangsung 5 (lima) bulan saja-kemudian drop out. Selanjutnya pada tahun ajaran berikutnya saya mendaftar ke IKIP dengan 2 (dua) pilihan jurusan, yaitu Jurusan Bahasa Inggris dan Jurusan Pendidikan Luar Sekolah. Pada saat mendaftar saya tak paham apa itu pendidikan luar sekolah. Saya hanya mengikuti saran petugas penerima pendaftaran saat itu. Akhirnya saya diterima sebagai mahasiswa IKIP Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, program satu tahun (Diploma).
Karena program diploma itulah saya langsung menjadi CPNS. Saya memahami program tersebut sebagai penyiap tenaga PLS setelah menjalani kuliah bebrapa bulan. Setelah manjadi CPNS, sekira 8 bulan saya dipanggil juru bayar gaji kantor saya. Juru bayar memberikan rapel gaji CPNS saya selama 8 bulan sembari mengatakan bahwa jumlah uang gaji saya sudah dipotong sekian rupiah untuk keperluan pengurusan rapel. Belum sempat saya tandatangani bukti pengambilan gaji, demi mendengar penjelasan Juru Bayar tadi, saya urungkan menerima gaji ”hak” saya itu. Saya katakan,”Mohon maaf, saya tidak bisa dan tidak biasa menerima hak saya dengan cara seperti ini. Jika pun mau berikan kepada saya seutuhnya hak saya, insyaAllah saya pun akan berterima kasih dengan memberikan sebagiannya kepada pihak-pihak yang telah mengusahakan sampainya hak saya tersebut, termasuk kepada bapak”. Tanpa menunggu jawaban, saya keluar dari ruangan Juru Bayar Gaji. Sejak saat itu sampai kira-kira tiga bulan kemudian saya tidak menerima gaji/hak saya. Akhirnya dengan kebijakan Kepala kantor, pada bulan kedua belas saya menerima rapel gaji utuh. Sesuai niat awal, saya keluarkan sebagian dari rapel itu dan diberikan kepada Juru Bayar untuk disampaikan kepada mereka yang ”berjasa”. Tak lupa 2,5 % untuk zakat tetap saya keluarkan.
4. Suatu ketika, karena lupa pakai sabuk pengaman, mobil yang saya kendarai diberhentikan polisi yang sedang ’razia’. Saya berhentikan mobil, kemudian seorang polisi menghampiri dan menunjukkan kelalaian istri saya-yang duduk di sebelah saya, dan saat itu baru memasangkan/menggunakan sabuk pengaman. Polisi menyatakan, bahwa saya harus ”ditilang”, tetapi ia pun menawarkan opsi lain, yaitu ”perdamaian”. Secara manusiawi saya ikuti opsi perdamaian itu, dan membayar duapuluh ribu rupiah. Karena saya memerlukan secepatnya saya lepas berurusan dengan polisi dan seterusnya.
5. Pengalaman yang sangat segar adalah pada tahun 2008, lembagaku ditugaskan untuk menyalurkan bockgrant tentang pendidikan kecakapan hidup dan kursus para profesi. Saya dipercaya sebagai salah seorang anggota tim penilai proposal yang dibuat para pengusul. Dalam proses penilaian itu, saya dan teman-teman sekelompok memberikan juga pembimbingan agar proposal menggambarkan kegiatn pembelajaran yang semestinya dan mengikuti sistematika dan prosedur kerja yang dituntut pedoman penyaluran blockgrant. Dalam proses pembimbingan itulah terjadi dialog-dialog nakal yang sering dilontarkan para pengusul,
misalnya :
- ”Baiklah pak, saya akan ikuti pedoman, tapi bagaimana kalau bapak dan teman- teman bapak saja yang memperbaiki proposal, nanti kami paham konsekwensinya”;
- ”Bapak tenang saja, nanti kalau bapak ke lapangan kami akan service bapak”.
- ”Bapak, nanti kalau proposal saya lolos, biasanya berapa persen yang harus saya siapkan untuk bapak dan kawan-kawan?”.
Dalam proses pembimbingan saya dan kawan-kawan sering juga menggunakan telepon. Dan kami menangkap suara-suara aneh, seperti : ”Dia sedang melakukan ’deal-deal’ dengan para pengusul proposal”.
Saya memahami kondisi munculnya dialog nakal dan suara aneh itu, karena selama ini iklim yang sering terbangun adalah seperti itu. Pejabat (penilai, pemberi blockgrant) merasa berjasa telah ”meloloskan” dan mengucurkan blockgrant kepada pengusul. Sementara para pengusul yang proposalnya lolos merasa perlu berterimakasih atas keberhasilannya kepada mereka (pejabat) yang dipersepsikan membantu keberhasilan itu. Bahkan yang lebih parah daripada kodisi di atas pernah penulis baca, yaitu kolusi negatif antara pejabat pemberi blockgrant dengan pengusul, sedangkan programnya sendiri fiktif. Secara administratif nampak ada, kenyataannya tak ada.
Demi menjawab dan mengantisipasi kondisi buruk tersebut, saya mengajak teman-teman penilai dan para pengusul di tengah-tengah bimbingan atau di awal pembimbingan proposal membuat 3 (tiga) komitmen, yaitu :
a. Apa-apa yang kita fikirkan, rasakan dan lakukan terkait dengan program kerjasama antara pengusul dengan kami selalu diawasi Allah SWT, Dzat yang maha melihat;
b. Anggaran program blockgrant dan digunakan untuk mereka yang berhak, yaitu kelompok sasaran sesuai pedoman.
c. Program diselenggarakan berdasar aturan dan pedoman penyaluran blockgrant.
Kendati telah diusahakan untuk tidak terjadinya kondisi buruk tersebut, pada kenyataannya masih terjadi beberapa pernyataan dan kejadian berikut:
- ”Maaf ya untuk teman-teman Bidang Kajian (NB. Penilai proposal) kami (paguyuban penerima blockgrant) tidak mengalokasikan ”tanda terima kasih” secara khusus seperti alokasi untuk ”pejabat”.
- Seorang anggota (pembantu) tim penilai menerima ”titipan uang” untuk saya, dari salah satu penerima blockgrant. Saya katakan kepada pemberi melalui anggota itu, bahwa saya/kami tak menerima uang itu, kami membimbing perbaikan proposal semata-mata untuk melayani rakyat, dan tidak mengharapkan terima kasih dalam bentuk uang atau pemberian lainnya. Kami akan sangat senang jika program berjalan mencapai tujuan dan target sesuai proposal. Karena memaksa, dengan menginformasikan kepada pemberi uang itu akhirnya disalurkan kepada lembaga amil zakat dan infaq terdekat.
- Beberapa penerima blockgrant menghadiahkan makanan khas daerahnya.

Belajar dan mengacu pada pengalaman – pengalaman di atas, sikap diri yang harus dimiliki, dikembangkan dan dipegang teguh adalah kita mulai dari diri kita sendiri untuk menolak dan tidak melakukan kegiatan yang menjurus Upeti, gratifikasi, ssogok-menyogok dan sejenisnya, apalagi korupsi dan manipulasi.

Tidak ada komentar: