Kamis, 28 Juli 2016

OPTIMALISASI BUKU PENGHUBUNG UNTUK MENINGKATKAN MUTU KOMUNIKASI SATUAN PENDIDIKAN DAN ORANGTUA

Ki Hajar Dewantara telah mewanti - wanti sejak bergulirnya pendidikan nasional Indonesia, bahwa pembangunan pendidikan dan pendidikan itu sendiri perlu digotong bersama (gotong royong) antara satuan pendidikan (misalnya sekolah), keluarga (orangtua), dan lingkungan (masyarakat). Kemudian pada era Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan semangat (ajaran) tersebut digelorakan dengan mengusung sebutan "tripusat" atau "tricentrum" pendidikan, dengan visi pembangunan pendidikan "terbentuknya insan serta ekosistem pendidikan dan kebudayaan yang berkarakter dengan berlandaskan gotong royong".
Pokok kegiatan dari tripusat pendidikan menurut pandangan saya adalah komunikasi antara 3 unsur tersebut. Pihak satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat saling berkomunikasi untuk menghasilkan kesepahaman dan kesamaan gerak dalam menciptakan suasana bagi muncul dan bertumbuh-kembangnya potensi anak (peserta didik/warga belajar/murid). Hal ini sesuai dengan rumusan makna pendidikan yang terdapat dalam Undang-undang sistem pendidikan nasional, yaitu: pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Bab I, Pasal 1, Butir 1 UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Komunikasi untuk membangun kesepahaman dan kesamaan gerak dalam "mendidik" anak/murid/warga belajar/peserta didik perlu terwujud antara 3 pihak/unsur tersebut dalam tripusat. Dalam konteks komunikasi antara satuan pendidikan dan keluarga dikenal apa yang disebut buku penghubung
Harapan awal diadakannya buku penghubung adalah menciptakan media untuk menghubungkan apa yang dilakukan di satuan pendidikan terhadap anak/murid/warga belajar/peserta didik dengan apa yang diharapkan atau apa yang harus dilakukan (melanjutkan) para orangtua di keluarga. Buku penghubung berisi pesan - pesan guru (tentang prilaku anak/murid), pesan - pesan atau harapan atau respon orangtua, informasi kegiatan satuan pendidikan yang perlu diketahui keluarga/orangtua, dan bahan bacaan pelengkap untuk orangtua.
Seiring dengan ketidakpahaman terhadap fungsi dan tujuan diadakannya buku penghubung, maka buku penghubung di beberapa satuan pendidikan tidak diadakan, beberapa satuan pendidikan diadakan tapi tidak maksimal fungsinya. Siapa yang tidak paham fungsinya itu?. Tentu dari kedua pihak, yaitu satuan pendidikan dan keluarga/orangtua.
Untuk terjadinya komunikasi antara orangtua dan satuan pendidikan mutlak salah satunya perlu mengoptimalisasi penggunaan buku penghubung. Bagaimana caranya?
Pertama sekali harus dibangun kesadaran bersama antara satuan pendidikan dan orangtua untuk menyadari betapa pentingnya komunikasi antarmereka, dan salah satu medianya adalah buku penghubung. Perlu disepakati pula apa yang harus dilakukan satuan pendidikan dan apa yang harus dilakukan para orangtua terhadap optimalisasi buku penghubung tersebut.
Setelah itu, desainlah buku penghubung dengan desain yang "bersahabat, menyenangkan, dan mudah digunakan". Misalnya pilihlah buku dengan kemasan yang isi (lembaran)nya dapat dilepas dan dimasukkan dengan mudah tanpa merusak lembaran itu, pilih juga warna buku yang menarik dan sesuai dengan alam peserta didik. Gunakan istilah dalam buku penghubung dengan istilah - istilah atau simbol - simbol (gambar) yang menyenangkan, memotivasi, menghargai dan sesuai alam peserta didik.  
Buku penghubung diawali oleh Rubrik/Bagian Pertama, yang memuat 3 jenis lembar. Lembar pertama berupa cover yang dapat dibubuhi ruang (kolom) nama pemilik (warga belajar) dan kelas/grup/kelompok. Lembar kedua, memuat judul buku (misalnya: Buku Aksiku) dan kolom nama serta kelas/kelompok pemilik (warga belajar). Lembar ketiga, memuat identitas warga belajar pemilik buku tersebut, misalnya disediakan kolom sketsa wajah (foto close-up), kolom nama lengkap, dan foto keluarga warga belajar.
Rubrik kedua adalah rubrik yang memuat komentar/catatan satuan pendidikan (terutama pendidik) terhadap kegiatan belajar dan prilaku menonjol anak/murid, paraf/tanda tangan orangtua. Rubrik ini berisi beberapa lembar atau kolom sesuai jumlah hari pembelajaran yang dirancang.
Rubrik ketiga adalah rubrik yang memuat komunikasi atau korespondensi antara pendidik/pengelola satuan pendidikan dengan orangtua. Korespondensi berkenaan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak/murid, termasuk prilakunya (bisa prilaku yang menonjol atau yang biasa - biasa saja).
Rubrik keempat memuat informasi atau pengumuman yang dikeluarkan oleh satuan pendidikan, seperti jadwal kegiatan, jadwal pembagian rapor, dan sebagainya. Pada setiap lembar informasi perlu dicantumkan kolom paraf orangtua sebagai wujud konfirmasi dari mereka.
Rubrik kelima memuat informasi atau lembar bacaan yang diperuntukkan bagi para orangtua, yang berisi tentang apa-apa yang harus orangtua ketahui, praktekkan, dan didiskusikan di keluarga sekisaran tumbuh kembang anak.
Rubrik keenam (terakhir) memuat tentang informasi referensi yang bersifat sangat umum dan umum, bisa berisi program pemerintah atau pemerintah daerah tentang pendidikan, lingkungan  hidup, dan sebagainya.
Rubrik - rubrik isi buku penghubung perlu didesain dan dikemas dalam sajian yang menyenangkan serta memotivasi para orangtua untuk merespon apa - apa yang dituliskan dalam buku tersebut.
Setelah desain buku penghubung disepakati oleh semua unsur satuan pendidikan, terutama pengelola dan para pendidik, maka berikutnya pihak satuan pendidikan membuat buku penghubung sesuai desain. Buku penghubung yang telah berwujud ini selanjutnya dilatihkan kepada para pendidik tentang bagaimana menggunakannya. Selain itu, buku ini juga diinformasikan kepada para orangtua tentang bagaimana menggunakan buku tersebut.
Semua telah siap, buku penghubung siap, para pengguna juga siap, maka langkah selanjutnya adalah penggunaan buku penghubung untuk meningkatkan mutu komunikasi antara satuan pendidikan dengan para orangtua. Caranya, setiap hari pendidik mengisi rubrik tertentu dengan informasi sekitar prilaku tumbuh-kembang anak/murid, kemudian buku tersebut dibawa oleh anak/murid untuk disampaikan kepada orangtuanya. Orangtua wajib membaca, menelaah, dan merespon apa - apa yang tertulis di rubrik serta membubuhkan paraf/tanda tangan pada kolom yang tersedia. Orangtua juga dipersilakan menuliskan apa - apa yang menarik dari prilaku (tumbuh - kembang) anak saat di rumah pada rubrik yang telah disediakan. Selanjutnya buku yang telah disikapi orangtua pada esok harinya dibawa lagi oleh anak/murid untuk disampaikan kepada satuan pendidikan (pendidik). Begitulah seterusnya berdaur hingga kurun tertentu.
Melalui buku penghubung ini, satuan pendidikan dapat membuat agenda pertemuan dengan orangtua secara umum ataupun khusus (pada orangtua tertentu). 
Ternyata, mudah kan melakukan komunikasi melalui buku penghubung?.  
Bagaimana?................ Kini saatnya kita meningkatkan komunikasi antara keluarga dengan satuan pendidikan, dan kini juga saatnya kita memanfaatkan buku penghubung untuk komunikasi itu. SELAMAT MENINGKATKAN MUTU KOMUNIKASI.
  


Rabu, 27 Juli 2016

SEKILAS TENTANG HAK ANAK

Anak, adalah satu kata yang banyak makna, terlebih dalam dunia pendidikan. Anak merupakan makhluq uniq seperti layaknya semua ciptaan (makhluq) Allah. Keunikan anak perlu disadari, difahami, dan disikapi secara super hati - hati oleh siapapun, terlebih oleh orangtuanya, agar potensi yang terkandung dalam diri dan keunikan anak betul - betul terpetakan, muncul, mudah disentuh, dan kemudian ditumbuh-kembangkan secara maksimal sehingga menjadi sumber daya bagi hidup dan kehidupannya.
Dalam konteks penumbuhan dan pengembangan potensi anak, maka siapapun yang bersentuhan dengan hal itu perlu memahami terlebih dahulu hak dan kewajiban anak untuk kemudian disikapi dengan kewajiban orangtua terhadap anak.
Berikut ini disarikan dari Undang - undang Nomor 23, Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa anak mempunyai 32 hak dan 5 kewajiban.
32 Hak Anak
  1. Hidup, tumbuh, dan berkembang; 
  2. Bermain;
  3. Berekreasi;
  4. Berkreasi;
  5. Beristirahat;
  6. Memanfaatkan waktu luang;
  7. Berpartisipasi;
  8. Bergaul dengan anak sebaya;
  9. Menyatakan dan didengar pendapatnya;
  10. Dibesarkan dan diasuh orangtuanya sendiri;
  11. Berhubungan dengan orangtuanya, bila terpisahkan;
  12. Beribadah menurut agamanya;
  13. Mendapatkan nama;
  14. Mendapatkan identitas;
  15. Mendapatkan kewarganegaraannya;
  16. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
  17. Mendapatkan informasi sesuai dengan usianya;
  18. Mendapatkan pelayanan kesehatan;
  19. Mendapatkan jaminan sosial;
  20. Mendapatkan kebebasan sesuai dengan hukum;
  21. Mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya, apabila menjadi korban atau pelaku tindak pidana;
  22. Mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminasi;
  23. Mendapatkan perlindungan dari eksploitasi ekonomi maupun seksual;
  24. Mendapatkan perlindungan dari penelantaran;
  25. Mendapatkan perlindungan dari kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
  26. Mendapatkan perlindungan dari ketidakadilan;
  27. Mendapatkan perlindungan dari perlakuan salah lainnya;
  28. Mendapatkan perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
  29. Mendapatkan perlindungan dari pelibatan dalam sengketa bersenjata;
  30. Mendapatkan perlindungan dari pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan;
  31. Mendapatkan perlindungan dari pelibatan dalam peperangan;
  32. Mendapatkan perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, dan penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
Disamping hak - hak tersebut, anak mempunyai kewajiban sebagai berikut:
  1.  Menghormati orangtua, wali, dan guru;
  2.  Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
  3.  Mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
  4.  Menunaikan ibadah sesuai ajaran agamanya;
  5.  Melaksanakan etika dan akhlaq mulia.
Menyikapi hak dan kewajiban anak, maka orangtua mempunyai kewajiban untuk 1) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; 2) menumbuh-kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan 3) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak - anak.  

PP 73, TAHUN 1991 TENTANG PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH



Presiden Republik Indonesia,
Menimbang:
bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 10 ayat (5) Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Luar Sekolah;

Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989      Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390);


MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Pendidikan luar sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah baik dilembagakan maupun tidak.
2. Warga belajar adalah setiap anggota masyarakat yang belajar di jalur pendidikan luar sekolah.
3. Kelompok belajar adalah satuan pendidikan luar sekolah yang terdiri atas sekumpulan warga masyarakat yang saling membelajarkan pengalaman dan kemampuan dalam rangka meningkatkan mutu dan taraf kehidupan.
4. Kursus adalah satuan pendidikan luar sekolah yang terdiri atas sekumpulan warga masyarakat yang memberikan pengetahuan, keterampilan dan sikap mental tertentu bagi warga belajar.
5. Menteri adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
6. Menteri lain adalah Menteri yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan satuan pendidikan luar sekolah di luar lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
7. Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen adalah Pimpinan Lembaga Pernerintah Non Departemen yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan satuan pendidikan luar sekolah.


BAB II
TUJUAN

Pasal 2
Pendidikan luar sekolah bertujuan:
1. Melayani warga belajar supaya dapat tumbuh dan berkembang sedini mungkin dan sepanjang hayatnya guna meningkatkan martabat dan mutu kehidupannya;
2. Membina warga belajar agar memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah atau melanjutkan ke tingkat dan/atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi; dan
3. Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah.


BAB III
JENIS PENDIDIKAN

Pasal 3
(1) Jenis pendidikan luar sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan keagamaan, pendidikan jabatan kerja, pendidikan kedinasan dan pendidikan kejuruan.
(2) Pendidikan umum merupakan pendidikan yang mengutamakan perluasan dan peningkatan keterampilan dan sikap warga belajar dalam bidang tertentu.
(3) Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan warga belajar untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan.
(4) Pendidikan jabatan kerja merupakan pendidikan yang berusaha meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan sikap warga belajar untuk memenuhi persyaratan pekerjaan tertentu pada satuan kerja yang bersangkutan.
(5) Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan yang berusaha meningkatkan kemampuan dalam pelaksanaan tugas kedinasan untuk pegawai atau calon pegawai suatu Departemen atau Lembaga Pemerintah Non Departemen.
(6) Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan yang mempersiapkan warga belajar untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu.
(7) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3) ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) diatur oleh Menteri atau Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen.


BAB IV
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

Pasal 4
Persyaratan untuk menyelenggarakan pendidikan ditetapkan oleh Menteri, atau Menteri lain atau pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen setelah berkonsultasi dengan Menteri.
Pasal 5
(1) Penyelenggara pendidikan luar sekolah dapat terdiri atas Pemerintah, badan, kelompok atau perorangan yang bertanggung jawab atas pelaksanaan jenis pendidikan luar sekolah yang diselenggarakannya.
(2) Masyarakat dapat menyelenggarakan semua jenis pendidikan luar sekolah kecuali pendidikan kedinasan.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri, atau Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pcmerintah Non Departemen setelah berkonsultasi dengan Menteri.


BAB V
TENAGA KEPENDIDIKAN

Pasal 6
(1) Tenaga kependidikan pada pendidikan luar sekolah terdiri atas tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, penilik, peneliti dan pengembang dibidang pendidikan, pustakawan, laboran, teknisi sumber belajar dan penguji.
(2) Jenis tenaga pendidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sesuai dengan fungsinya ditetapkan oleh Menteri, atau Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen setelah berkonsultasi dengan Menteri.

Pasal 7
(1) Tenaga pendidik terdiri atas tenaga yang melaksanakan kegiatan pendidikan baik dengan maupun tanpa memiliki kualifikasi sebagai tenaga pendidik.
(2) Tenaga pendidik yang memiliki kualifikasi tertentu terdiri atas tenaga yang memiliki tanda kemampuan dan kewenangan yang disahkan oleh Pemerintah maupun yang tidak disahkan.
(3) Jenis tenaga pendidik yang memerlukan pengesahan Pemerintah ditetapkan oleh Menteri, atau Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen setelah berkonsultasi dengan Menteri.

Pasal 8
(1) Tenaga Pendidik tertentu yang karena kebutuhan kualifikasi tertentu, diwajibkan mendaftarkan diri pada instansi yang ditunjuk oleh Menteri atau Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri, atau Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen setelah berkonsultasi dengan Menteri.


BAB VI
WARGA BELAJAR

Pasal 9
(1) Setiap orang dapat menjadi warga belajar baik dengan maupun tanpa memenuhi persyaratan tertentu.
(2) Persyaratan umum yang harus dipenuhi untuk menjadi warga belajar pada satuan pendidikan luar sekolah tertentu ditetapkan oleh Menteri, atau Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen setelah berkonsultasi dengan Menteri.

Pasal 10
(1) Warga belajar mempunyai hak:
1. belajar secara mandiri;
2. memperoleh perlindungan terhadap perlakuan yang tidak wajar dari tenaga kependidikan atau lembaga penyelenggara pendidikan yang bersangkutan;
3. memperoleh penilaian hasil belajarnya;
4. pindah ke jalur pendidikan sekolah bilamana memenuhi persyaratan satuan pendidikan yang hendak dimasuki.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri, atau Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen setelah berkonsultasi dengan Menteri.

Pasal 11
(1) Warga belajar berkewajiban untuk:
1. ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali warga belajar yang dibebaskan dari kewajiban tersebut oleh penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan;
2. mematuhi ketentuan peraturan yang berlaku;
3. menghormati tenaga kependidikan;
4. ikut memelihara sarana dan prasarana serta kebersihan, ketertiban dan keamanan pada satuan pendidikan luar sekolah yang bersangkutan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri, atau Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen setelah berkonsultasi dengan Menteri.


BAB VII
KURIKULUM

Pasal 12
(1) Kurikulum merupakan suatu pedoman kegiatan bimbingan pengajaran dan/atau pelatihan yang dilaksanakan untuk mencapai kemampuan tertentu.
(2) Kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat tertulis dan tidak tertulis.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur oleh Menteri, Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen setelah berkonsultasi dengan Menteri.

Pasal 13
(1) Kurikulum yang berlaku secara nasional ditetapkan oleh Menteri, atau Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen setelah berkonsultasi dengan Menteri.
(2) Kurikulum yang tidak termasuk dalam ayat (1) ditetapkan oleh penyelenggara satuan pendidikan yang berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.


BAB VIII
BENTUK SATUAN PENDIDIKAN
Bagian Kesatu
Kursus

Pasal 14
(1) Kursus diselenggarakan bagi warga belajar yang memerlukan bekal untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah dan/atau melanjutkan ke tingkat atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
(2) Warga belajar pada kursus yang menyelenggarakan program Paket A dan B dimungkinkan untuk pindah ke jalur pendidikan sekolah.

Pasal 15
(1) Kursus dapat diselenggarakan dalam 3 (tiga) tingkat kemampuan yaitu, tingkat dasar, tingkat menengah dan tingkat atas.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh penyelenggara satuan pendidikan yang bersangkutan.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pada kursus-kursus tertentu diatur oleh Menteri atau Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen setelah berkonsultasi dengan Menteri.

Pasal 16
(1) Kursus harus memiliki sejumlah warga belajar, tenaga kependidikan, kurikulum dan alat penunjang belajar.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan tata cara pendirian kursus yang menyelenggarakan pendidikan umum dan pendidikan kejuruan ditetapkan oleh Menteri.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan tata cara pendirian kursus yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan ditetapkan oleh Menteri Agama setelah berkonsultasi dengan Menteri.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan tata cara pendirian kursus yang menyelenggarakan pendidikan jabatan kerja ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja setelah berkonsultasi dengan Menteri.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan tata cara pendirian kursus yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan ditetapkan oleh Menteri, atau Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen setelah berkonsultasi dengan Menteri.
(6) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan tata cara pendirian kursus yang menyelenggarakan pendidikan kedinasan ditetapkan oleh Menteri, atau Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerinta Non Departemen setelah berkonsultasi dengan Menteri.

Bagian Kedua
Kelompok Belajar

Pasal 17
Kelompok belajar diselenggarakan bagi sekumpulan warga belajar dengan saling membelajarkan untuk mengembangkan diri, bekerja dan/atau melanjutkan ke tingkat dan/atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Pasal 18
(1) Pendidikan luar sekolah yang setara dengan pendidikan dasar diselenggarakan pada kelompok belajar Paket A dan kelompok belajar Paket B.
(2) Kelompok belajar Paket A diselenggarakan bagi sekumpulan warga belajar untuk memperoleh pendidikan setara dengan Sekolah Dasar.
(3) Kelompok belajar Paket B diselenggarakan bagi sekumpulan warga belajar untuk memperoleh pendidikan setara dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.

Bagian Ketiga
Satuan Pendidikan Lain

Pasal 19

Selain kursus dan kelompok belajar, pendidikan luar sekolah dapat diselenggarakan dalam bentuk Kelompok Bermain, Penitipan Anak, dan satuan pendidikan sejenis yang ditetapkan oleh Menteri.


BAB IX
PENILAIAN

Pasal 20
(1) Terhadap hasil belajar warga belajar dapat diadakan penilaian yang dapat dinyatakan dengan surat keterangan lulus, ijasah atau sertifikat.
(2) Terhadap satuan pendidikan yang memerlukan pengesahan dari Pemerintah diadakan penilaian.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri, atau Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen setelah berkonsultasi dengan Menteri.


BAB X
PEMBINAAN

Pasal 21
(1) Pembinaan pendidikan luar sekolah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah, badan, kelompok atau perorangan merupakan tanggung jawab Menteri.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 22
(1) Pembinaan satuan pendidikan luar sekolah yang menyelenggarakan pendidikan umum merupakan tanggung jawab Menteri.
(2) Pembinaan satuan pendidikan luar sekolah yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan merupakan tanggung jawab Menteri atau Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen.
(3) Pembinaan satuan pendidikan luar sekolah yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan merupakan tanggung jawab Menteri Agama.
(4) Pembinaan satuan pendidikan luar sekolah yang menyelenggarakan pendidikan jabatan kerja untuk memenuhi persyaratan jabatan kerja tertentu merupakan tanggung jawab Menteri Tenaga Kerja.
(5) Pembinaan satuan pendidikan luar sekolah yang menyelenggarakan pendidikan kedinasan merupakan tanggung jawab Menteri atau Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen.
(6) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) meliputi pemberian bimbingan, dorongan pengayoman dan/atau bantuan.
(7) Pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dilakukan secara terkoordinasi.


BAB XI
KETENTUAN LAIN

Pasal 23
(1) Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dapat menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan luar sekolah sebagai bagian dari sistem pcndidikan nasional bagi warga belajar warga negara Republik Indonesia di luar negeri.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Perwakilan Republik Indonesia setempat.

Pasal 24
(1) Warga negara asing yang mengikuti pendidikan di satuan pendidikan luar sekolah yang merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional baik di dalam maupun di luar negeri wajib menaati ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi dan dari satuan pendidikan luar sekolah yang bersangkutan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri, atau Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen setelah berkonsultasi dengan Menteri.

Pasal 25
(1) Perwakilan negara asing di wilayah Republik Indonesia dapat menyelenggarakan pendidikan luar sekolah dengan ketentuan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Lembaga internasional atau badan/kelembagaan swasta asing di wilayah Republik Indonesia dapat menyelenggarakan pendidikan luar sekolah dengan ketentuan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Penyelenggaraan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Luar Negeri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri atau Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen.
(4) Penyelenggaraan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri lain atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen.


BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 26
Semua ketentuan yang mengatur pendidikan luar sekolah yang ada pada saat diundangkannya Peraturan Pemerintah ini masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 27
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 1991
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 1991
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

MOERDIONO

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 73 TAHUN 1991
TENTANG
PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH


UMUM

Di Negara Republik Indonesia, kegiatan pendidikan, baik untuk memenuhi kebutuhan perorangan maupun masyarakat, bangsa dan negara, dibagi dalam dua golongan sebagai bagian dari satu sistem pendidikan nasional, yaitu jalur pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah.
Pendidikan luar sekolah yang sangat mendasar sifatnya adalah pendidikan keluarga. Meskipun pendidikan keluarga amat penting, yang bahkan meletakkan dasar-dasar kesiapan hidup sebagai anggota masyarakat, pengaturannya merupakan wewenang keluarga yang bersangkutan.
Keluarga yang memerlukan bantuan dalam penyelenggaraan kegiatan pendidikan di lingkungannya dapat memperoleh bantuan melalui keikutsertaan orang tua dalam kelompok belajar atau kursus, atau kegiatan belajar dengan menggunakan bahan belajar yang dapat dikaji sendiri.

Pendidikan luar sekolah menambah dan melengkapi pendidikan yang tidak dapat diselenggarakan oleh jalur pendidikan sekolah. Pendidikan luar sekolah memiliki keleluasaan jauh lebih besar daripada pendidikan sekolah untuk secara cepat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang senantiasa berubah, apalagi sebagai perwujudan ikhtiar pembangunan nasional. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlangsung semakin cepat menimbulkan kebutuhan yang beraneka ragam, semakin luas dan semakin banyak untuk memperoleh informasi, pengetahuan, dan keterampilan.
Kemakmuran yang bertambah luas memungkinkan lebih banyak anggota masyarakat melibatkan diri dalam kegiatan budaya. Banyak kegiatan pendidikan dalam bidang kebudayaan tidak dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan sekolah.
Banyak kegiatan pendidikan dalam kehidupan keagamaan juga tidak dapat diselenggarakan dalam jalur pendidikan sekolah. Bahkan berbagai bentuk kegiatan pendidikan Pondok Pesantren, Majelis Taklim, kelompok pengajian telah ada lama sebelum pendidikan sekolah diadakan, sedangkan berbagai bentuk pendidikan dalam kehidupan keagamaan yang baru di luar sekolah lahir sebagai akibat terjadinya perubahan dalam berbagai bidang kehidupan.
Perkembangan industri serta pertumbuhan perusahaan-perusahaan kecil menengah maupun besar menuntut tersedianya: 1. tenaga ahli yang mempunyai kemampuan untuk menerapkan pengetahuan, dan 2. tenaga kerja yang terlatih untuk dapat menyelenggarakan kegiatan tertentu. Pendidikan sekolah pada umumnya tidak menghasilkan lulusan yang siap kerja, tetapi lulusan yang siap latih. Oleh sebab itu, pendidikan luar sekolah juga merupakan jembatan antara pendidikan sekolah dan dunia kerja. Berbagai kursus dan bentuk latihan kerja yang lain memungkinkan lulusan sekolah-sekolah jenis tertentu memperoleh kemampuan kerja yang diperlukan di dunia kerja.
Penyelenggaraan kegiatan pendidikan luar sekolah pada umumnya tidak terpusat, lebih terbuka dalam penerimaan peserta didik dan tidak terikat pada aturan-aturan yang ketat. Kegiatan pendidikan di jalur pendidikan luar sekolah diadakan juga untuk memungkinkan anggota masyarakat yang tidak mendapat kesempatan bersekolah di jenjang pendidikan dasar memperoleh pendidikan dasar melalui program-program yang khusus diadakan untuk mereka, sehingga wajib belajar bagi warga negara sesuai dengan usia yang bersangkutan dapat terwujud sepenuhnya.
Pendidikan luar sekolah seiring dengan pendidikan sekolah memungkinkan manusia Indonesia sepanjang hayatnya mendapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan bilamana ia memerlukannya.
Kebanyakan kegiatan pendidikan luar sekolah diselenggarakan atas prakarsa dan upaya masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan pihak-pihak yang bersangkutan. Peluang amat luas dalam jalur pendidikan luar sekolah untuk mengajar, membimbing dan/atau melatih di satu pihak serta untuk belajar dan berlatih di lain pihak memungkinkan untuk memperoleh pendidikan yang tidak dapat diperoleh di jalur pendidikan sekolah. Sistem pendidikan nasional memungkinkan peserta didik yang memenuhi persyaratan dengan mudah dapat berpindah dari jalur pendidikan luar sekolah ke jalur pendidikan sekolah dan sebaliknya.
Upaya Pemerintah di jalur pendidikan luar sekolah terwujud sebagai program-program pendidikan masyarakat, seperti program pemberantasan buta aksara latin dan angka, buta bahasa Indonesia dan buta pendidikan dasar, serta pemberian bantuan keuangan dan pembinaan kepada satuan pendidikan yang memerlukannya bilamana memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Luar Sekolah diadakan untuk memberi jaminan hukum bagi penyelenggaraan kegiatan pendidikan yang bersangkutan atas dasar anggapan bahwa upaya penyelenggaraan kegiatan pendidikan di luar sekolah harus mendapat kebebasan seluas mungkin. Akan tetapi, Peraturan Pemerintah ini juga berusaha agar dalam dunia pendidikan terpelihara ketertiban, maka Peraturan Pemerintah ini harus dapat melindungi masyarakat terhadap kemungkinan penyelenggaraan kegiatan pendidikan di jalur pendidikan luar sekolah yang dapat merugikannya.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Jenjang adalah jenjang sebagaimana dimaksud dalam jalur pendidikan sekolah.
Angka 3
Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, penyelenggaraan pendidikan luar sekolah berpedoman pada tujuan pendidikan nasional.

Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas

Pasal 4
Cukup jelas

Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini adalah satuan pendidikan yang memerlukan pengesahan oleh Pemerintah.

Pasal 10
Ayat (1)
Angka 1
Setiap orang dapat memperoleh pengetahuan, kemampuan dan/atau ketrampilan secara belajar sendiri. Hasil belajarnya dapat dinilai untuk memperoleh pengakuan kesetaraan dengan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar atau pendidikan menengah dan kelas tertentu di jalur pendidikan sekolah.
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Ayat (2)
Pengaturan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini meliputi pula pengaturan kewenangan dan kriteria penetapan kesetaraan pendidikan luar sekolah dengan pendidikan sekolah.

Pasal 11
Ayat (1)
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam ayat ini meliputi tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan luar sekolah, tenaga ahli di bidang yang bersangkutan, calon pemakai keterampilan lulusan, dan Pemerintah.

Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Kursus sebagaimana dimaksud dalam ayat ini adalah kursus yang memerlukan pengesahan Pemerintah.

Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 17
Cukup jelas

Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 19
Kelompok Bermain dan Penitipan Anak merupakan satuan pendidikan luar sekolah sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1990 tentang Pendidikan Prasekolah. Satuan pendidikan yang sejenis sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, misalnya padepokan pencaksilat, sanggar kesenian, panti/balai latihan, bengkel/teater dan sebagainya.

Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dilaksanakan tanpa menghambat perkembangan, prakarsa, dan kemandirian satuan pendidikan luar sekolah.
Ayat (7)
Cukup jelas

Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 26
Cukup jelas

Pasal 27
Cukup jelas


--------------------------------

CATATAN

Kutipan: LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1991

Rabu, 13 Juli 2016

SEKILAS PENGARUSUTAMAAN GENDER



PERISTILAHAN SEKITAR GENDER
Dalam perbincangan, pembahasan, pekerjaan dan apapun tentang gender, kita akan menemukan -  bisa jadi - menghafalkan untuk selanjutnya memahami dan memahamkan kepada orang lain berbagai peristilahan seputar gender. Beberapa peristilahan tersebut terurai secara terbatas sebagai berikut :
1.       Sex berbeda dengan gender.Sex adalah perbedaan – perbedaan biologis antara lelaki dan perempuan. Sex bersifat universal. Contoh : Lelaki memproduksi sperma, perempuan dapat melahirkan.
2.      Gender adalah hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan. Gender merujuk pada hubungan antara laki-laki dan perempuan, anak laki-laki dan anak perempuan, dan bagaimana hubungan sosial ini dikonstruksikan. Peran gender bersifat dinamis dan berubah antar waktu.
3.   Kesetaraan Gender adalah hasil dari ketiadaan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin atas dasar kesempatan, alokasi sumber daya atau manfaat dan akses terhadap pelayanan.
4.      Pengarusutamaan Gender adalah proses untuk menjamin perempuan dan laki-laki mempunyai akses dan kontrol terhadap sumber daya, memperoleh manfaat  pembangunan dan pengambilan keputusan yang sama di semua tahapan proses pembangunan dan seluruh proyek, program dan kebijakan pemerintah.
5.    Kesadaran Gender adalah suatu pengertian bahwa ada faktor-faktor sosial yang menentukan antara laki-laki dan perempuan atas dasar tingkah laku, yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk mengakses dan mengontrol sumber daya. Kesadaran ini membutuhkan penerapan melalui analisa gender menjadi proyek, program dan kegiatan.
6.     Analisa Gender adalah metodologi untuk pengumpulan dan pengolahan informasi tentang gender. Analisa gender membutuhkan data terpilah berdasarkan jenis kelamin dan suatu pengertian dari konstruksi sosial dari peran gender, bagaimana pembagian kerja dan dinilai. Analisa gender adalah proses dari analisa informasi agar supaya menjamin manfaat dan sumberdaya pembangunan secara efektif dan adil ditujukan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Analisa Gender digunakan juga untuk mengantisipasi dan menolak akibat negatif dari pembangunan yang mungkin terjadi pada perempuan atau karena relasi gender. Analisa gender dilakukan menggunakan bermacam alat dan kerangka kerja.
7.   Perencanaan Gender (atau Perencanaan yang sensititif Gender) adalah  proses dari perencanaan program-program dan proyek-proyek pembangunan yang sensitif gender dan  mempertimbangkan impact dari peran gender dan kebutuhan gender dari laki-laki dan perempuan di dalam sasaran masyarakat atau sektor.
8. Peran Gender adalah perilaku yang dipelajari di dalam suatu masyarakat/komunitas yang dikondisikan bahwa kegiatan, tugas-tugas atau tanggung jawab patut diterima baik oleh laki-laki maupun perempuan. Peran gender dapat berubah, dan dipengaruhi oleh umur, kelas, ras, etnik, agama dan lingkungan geografi, ekonomi dan politik. Baik perempuan maupun laki-laki memiliki peran ganda di dalam masyarakat. Perempuan kerap mempunyai peran dalam mengatur reproduksi, produksi dan kemasyarakatan. Laki-laki lebih terfokus pada produksi dan politik kemasyarakatan.
9.  Pengarusutamaan gender, yang selanjutnya disebut PUG, adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan.
10.  Kelembagaan PUG adalah kelembagaan yang memenuhi unsur-unsur prasyarat PUG, yang berfungsi secara efektif dalam satu sistem berkelanjutan dengan norma yang disepakati dalam pemenuhan hak-hak asasi perempuan dan laki-laki secara adil untuk mencapai kesetaraan antara perempuan dan laki-laki di seluruh bidang pembangunan dan tingkatan pemerintahan.
11.  Lembaga masyarakat adalah lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warga Negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan visi, misi, profesi, fungsi dan kegiatan untuk berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, yang terdiri dari organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, organisasi swasta, organisasi sosial, organisasi politik, media massa, dan bentuk organisasi lainnya.
12.  Pemberdayaan lembaga masyarakat adalah upaya terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan untuk meningkatkan wawasan, kepedulian, perhatian, dan kapasitas lembaga masyarakat dalam berperan aktif di bidang pembangunan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
13.  Peran produksi adalah kegiatan yang dilakukan baik oleh laki-laki dan perempuan agar supaya menghasilkan barang dan layanan untuk diperdagangkan, dipertukarkan atau memenuhi nafkah bagi keluarga. Sebagai contoh di pertanian, kegiatan produksi termasuk penanaman, penyiangan, peternakan.
14.  Peran Reproduksi adalah aktivitas untuk menjamin reproduksi angkatan kerja. Hal ini termasuk pembatasan anak, penjarangan anak, perawatan terhadap anggota keluarga seperti orang tua, anak-anak dan pekerja. Tugas-tugas tersebut umumnya tidak mendapatkan upah dan kebanyakan dilakukan oleh perempuan.
15.  Peran masyarakat adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan di tingkat masyarakat untuk menjamin ketersediaan dan pengelolaan sumberdaya yang terbatas seperti air, perawatan kesehatan dan pendidikan. Pekerjaan ini biasanya tidak dibayar dan kebanyakan dilakukan oleh perempuan.
16. Peran politik perempuan adalah kegiatan-kegiatan di tingkat masyarakat, mengorganisir di tingkatan formal politik, sering kali dalam kerangka kerja politik nasional. Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh pria, dan biasanya dibayar secara langsung (uang) atau tidak langsung (meningkatnya kekuasaan dan status).
17.  Beban ganda  merujuk kepada kenyataan bahwa perempuan cenderung bekerja lebih lama dan lebih sedikit harinya dibandingkan laki-laki sebagaimana biasanya mereka terlibat dalam tiga peran gender yang berbeda-reproduksi, produksi dan dan peran di masyarakat.
 18.  Perlindungan perempuan adalah segala upaya yang ditujukan untuk melindungi perempuan dan memberikan rasa aman dalam pemenuhan hak-haknya dengan memberikan perhatian yang konsisten dan sistematis yang ditujukan untuk mencapai kesetaraan gender.
19. Diskriminasi terhadap perempuan adalah setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.
20. Segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan adalah segala bentuk diskriminasi , yang meliputi dimensi wilayah (daerah bencana, daerah konflik, daerah perbatasan, daerah tertinggal, daerah terpencil, dan lainnya), dimensi usia (usia produktif, usia lanjut, dan lainnya), dan dimensi khusus (penyandang cacat, tenaga kerja, dan lainnya).
21. Diskriminasi terhadap perempuan adalah setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.
22.  Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan yang selanjutnya disebut PKHP adalah upaya perbaikan kondisi fisik dan mental perempuan dalam pemenuhan hak dan kebutuhan hidupnya sebagai bagian hak asasi manusia dari berbagai bidang pembangunan, terutama pendidikan, kesehatan, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), sosial budaya, politik, hukum dan lingkungan hidup.
23.  Hak Reproduksi adalah hak-hak dasar setiap pasangan maupun individu untuk secara bebas dan bertanggung jawab memutuskan jumlah, jarak kelahiran, dan waktu untuk memiliki anak dan mendapatkan informasi serta cara melakukannya, termasuk hak untuk mendapatkan standar tertinggi kesehatan reproduksi dan juga kesehatan seksual (ICPD, Kairo 1994).
24. Gerakan Sayang Ibu yang selanjutnya disebut GSI adalah gerakan yang dilaksanakan oleh masyarakat dan pemerintah untuk peningkatan kualitas hidup perempuan melalui berbagai kegiatan yang mempunyai dampak terhadap upaya percepatan penurunan angka kematian ibu (AKI) karena hamil, bersalin dan nifas serta penurunan angka kematian bayi (AKB).
WUJUD KETIDAKADILAN GENDER
A.      Sterotype
Stereotype atau pelabelan berarti pemberian citra baku atau label/cap kepada seseorang atau kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah atau sesat.
Pelabelan pada umumnya dilakukan dalam dua hubungan atau lebih dan seringkali digunakan sebagai alasan untuk membenarkan suatu tindakan dari satu kelompok atas kelompok lainnya.
Stereotype dapat dikatakan sebagai sumber (pangkal) munculnya semua bentuk ketidakadilan gender. Karena pelabelan merupakan cara pandang seseorang atau sekelompok orang terhadap sesuatu yang kemudian dicapkannya atas sesuatu tersebut. Cara pandang inilah yang sangat berpengaruh terhadap sikap dan prilaku seseorang atau sekkelompok orang tersebut.
Pelabelan juga menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang timpang atau tidak seimbang  yang bertujuan untuk menaklukkan atau menguasai pihak lain.
Pelabelan negative juga dapat dilakukan atas dasar anggapan gender. Namun seringkali pelabelan negative ditimpakan kepada perempuan.
Contoh :
·                 Perempuan dianggap cengeng, suka digoda, cenderung manja.
·                 Perempuan tidak rasional, emosional, lebih banyak omong.
·                 Perempuan tidak bisa mengambil keputusan penting.
·                 Perempuan sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah tambahan.
·                 Laki-laki sebagai pencari nafkah utama.
·                 Laki-laki selalu lebih kuat daripada perempuan.
·                 Laki-laki berfikir dan bertindak rasional.


        B.   Kekerasan
Kekerasan (violence) artinya tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga, masyarakat atau negara terhadap jenis kelamin lainnya.
Peran gender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap feminin dan laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam ciri-ciri psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya perempuan dianggap lembut, lemah, penurut dan sebagainya.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembedaan itu. Namun ternyata pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan. Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan semena-mena, berupa tindakan kekerasan.
Contoh :
·          Kekerasan fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya di dalam rumah tangga, atau sebaliknya.
·          Pemukulan, penyiksaan dan perkosaan yang mengakibatkan perasaan tersiksa dan tertekan.
·          Pelecehan seksual.
·          Eksploitasi seks terhadap perempuan (atau lelaki) dan pornografi.




        C.    Beban ganda (double burden)
Beban ganda (double burden) artinya beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya.
Beban ganda pada umumnya cenderung terjadi terhadap jenis kelamin perempuan. Dalam suatu keluarga Indonesia pada umumnya, maka dilihat dari distribusi jam kerja dapat terlihat seorang ayah bekerja (di luar rumah) rata-rata 8 – 12 jam per hari. Sementara seorang istri bisa jadi bekerja 8-12 jam di luar rumah (bagi pegawai/pekerja) dan 2-8 jam bekerja di dalam rumah (domestic).
Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran yang statis dan permanen. Walaupun sudah ada peningkatan jumlah perempuan yang bekerja diwilayah public, namun tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka di wilayah domestic. Upaya maksimal yang dilakukan mereka adalah mensubstitusikan pekerjaan tersebut kepada perempuan lain, seperti pembantu rumah tangga atau anggota keluarga perempuan lainnya. Namun demikian, tanggung jawabnya masih tetap berada di pundak perempuan. Akibatnya mereka mengalami beban yang berlipat ganda.
        D.    Marjinalisasi (Peminggiran)
Marjinalisasi artinya : suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan.
Banyak cara yang dapat digunakan untuk memarjinalkan seseorang atau kelompok. Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi gender. Misalnya dengan anggapan bahwa perempuan berfungsi sebagai pencari nafkah tambahan, maka ketika mereka bekerja diluar rumah (sector public), seringkali dinilai dengan anggapan tersebut. Jika hal tersebut terjadi, maka sebenarnya telah berlangsung proses pemiskinan dengan alasan gender.
Contoh :
·     Guru Taman Kanak-Kanak, perawat, pekerja konveksi, buruh pabrik, pembantu rumah tangga dinilai sebagai pekerja rendah, sehingga berpengaruh pada tingkat gaji/upah yang diterima.
·    Masih banyaknya pekerja perempuan di pabrik yang rentan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dikarenakan tidak mempunyai ikatan formal dari perusahaan tempat bekerja karena alasan-alasan gender, seperti  sebagai pencari nafkah tambahan, pekerja sambilan dan juga alasan factor reproduksinya, seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui.
· Perubahan dari sistem pertanian tradisional kepada sistem pertanian modern dengan menggunakan mesin-mesin traktor telah memarjinalkan pekerja perempuan,

        E.     Subordinasi
Subordinasi berarti suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain.
Telah diketahui, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, telah memisahkan dan memilah-milah peran-peran gender, laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik atau reproduksi, sementara laki-laki dalam urusan public atau produksi.
Pertanyaannya adalah, apakah peran dan fungsi dalam urusan domestic dan reproduksi mendapat penghargaan yang sama dengan peran publik dan produksi? Jika jawabannya “tidak sama”, maka itu berarti peran dan fungsi public laki-laki. Sepanjang penghargaan social terhadap peran domestic dan reproduksi berbeda dengan peran publik dan reproduksi, sepanjang itu pula ketidakadilan masih berlangsung.
Contoh :
·   Masih sedikitnya jumlah perempuan yang bekerja pada posisi atau peran pengambil keputusan atau penentu kebijakan dibanding laki-laki.
·     Dalam pengupahan, perempuan yang menikah dianggap sebagai lajang, karena mendapat nafkah dari suami dan terkadang terkena potongan pajak.
·     Masih sedikitnya jumlah keterwakilan perempuan dalam dunia politik (anggota legislative dan eksekutif, mengapa hanya 30 persen?).

RENCANA AKSI DAERAH PENGARUSUTAMAAN GENDER (RAD-PUG)
A.   Landasan
Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 memerintahkan kepada seluruh Menteri, Kepala Lembaga, Gubernur dan Bupati/Walikota untuk mengintegrasikan pengarusutamaan gender (PUG) pada setiap tahapan proses pembangunan, mulai dari perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi seluruh kebijakan, program dan kegiatan baik yang berskala nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota pada semua bidang pembangunan.
Untuk  memedomani pengintegrasian pengaurusutamaan gender dalam proses perencanaan dan penganggaran, Menteri Dalam Negeri menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132 tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan di Daerah. 
Pada tahun 2008 Menteri Dalam Negeri menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah, yang kemudian diperbaharui dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomot 67 Tahun 2011. Peraturan tersebut menginstruksikan pada semua unit pemerintah di bawah koordinasi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), untuk mengintegrasikan pengarusutamaan gender ke dalam perencanaan dan penganggaran. Berdasarkan Permendagri tersebut juga, penyusunan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan berperspektif gender dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah atau RPJMD, Rencana Strategis SKPD, dan Rencana Kerja SKPD.  Melengkapi setiap dokumen perencanaan tersebut, sesuai Permendagri tersebut setiap Pemerintah Propinsi, Kabupaten/Kota diwajibkan menyusun Rencana Aksi Daerah PUG.
B. Penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) PUG.
Gerakan atau pembangunan apapun sangat membutuhkan perencanaan. Demikian pula halnya dengan pengarusutamaan gender.  Setiap pemerintah daerah sebagaimana pemerintah pusat perlu menyusun rencana aksi daerah sebagai panduan operasional tahunan bagi pelaksanaan pengarusutamaan gender. Melalui dokumen RAD PUG setiap komponen pelaksanaan PUG akan memperoleh panduan dan arahan di dalam menyusun kebijakan, program dan kegiatan dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan monitoring – evaluasi (monev) yang responsif gender pada setiap tahapan pembangunan, serta akan mampu mengefektifkan pelaksanaan strategi PUG secara lebih konkrit dan terarah untuk menjamin agar perempuan dan laki-laki memperoleh akses, partisipasi, mempunyai kontrol dan memperoleh manfaat yang adil dari pembangunan, dan  berkontribusi pada terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender.
Rencana Aksi Daerah Pengarusutamaan Gender diorientasikan untuk mengakselerasi  pencapaian millenium Development Goals (MDG’s) sebagai berikut :
1.    Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan,
2.    Mewujudkan Pendidikan Dasar Untuk Semua,
3.    Mendorong Kesetaraan Gender dan  Pemberdayaan Perempuan,
4.    Menurunkan Angka Kematian Anak,
5.    Meningkatkan Kesehatan Ibu,
6.    Memerangi HIV AIDS, Malaria dan penyakit menular lainnya, dan
7.    Melestarian Lingkungan,
8.    Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan  sesuai isu strategis di setiap tujuan.
Melalui Rencana Aksi Daerah Pengarusutamaan Gender juga dimaksudkan agar beberapa sasaran PUG dapat dicapai secara cepat, logis, dan sistematis. Sasaran tersebut adalah : 
1.       Mendorong implementasi perundang-undangan yang berperspektif gender;
2.       Memperkuat jaringan kelembagaan pengarustamaan gender termasuk keterpaduan program dan kegiatan;
3.        Memperkuat komitmen penganggaran yang responsif gender di SKPD;
4.       Meningkatan kemampuan mengintegrasikan isu gender dalam program/ kegiatan di SKPD;
5.       Melaksanaan PUG dalam pembangunan sesuai dengan perencanaan dan penganggaran yang responsif gender di SKPD.
Dokumen RAD-PUG perlu mengakomodasi setiap permasalahan yang diperkirakan akan muncul dan muncul saat kegiatan dan program pengarusutamaan gender berikut rencana-rencana kegiatan pemecahannya. Permasalahan tersebut paling tidak berkisar tentang :
1.       Pemahaman dan kesediaan semua personal (petugas dan masyarakat) terhadap konsep dan implementasi pengarusutamaan gender dalam pembangunan;
2.       Pemahaman dan kesediaan personal untuk melaksanakan pembangunan bidang yang diampunya secara terpadu (sinergi) dengan bidang lain dan berdasarkan prinsip keadilan gender.
3.       Pemastian atau penjaminan semua personal terhadap semua kegiatan atau program telah melalui perencanaan dan analisis keadilan gender.
4.       Penyelenggaraan kegiatan pengarusutamaan gender yang meningkat kualitasnya dan berkelanjutan.
Untuk mencapai proses penyusunan dan pencapaian dokumen RAD-PUG yang mengakomodasi hal-hal tersebut di atas, maka RAD-PUG perlu disusun secara kolaboratif dan integrative antar komponen dan antar lini. Tentu dengan coordinator Bappeda sesuai peraturan yang ada.
Secara sederhana mekanismenya dapat melalui kegiatan – kegiatan sebagai berikut :
1.       Inisiator melakukan sosialisasi dan pendekatan kepada semua elemen pembangunan daerah, terutama para penentu kebijakan di eksekutif, legeslatif, dan yudikatif serta tokoh masyarakat. Materi pokok yang dibangun inisiator adalah tentang pentingnya PUG dalam pembangunan daerah dan peran kunci masing-masing penentu kebijakan;
2.       Inisiator mempengaruhi penentu kebijakan agar menerbitkan peraturan daerah dan peraturan lainnya yang memperkuat posisi PUG dalam pembangunan daerah. Dalam hal ini, aspek yang terpenting diakomodasi dalam peraturan adalah tentang dasar legalitas, mekanisme (SOP) PUG dalam pembangunan daerah, tugas setiap komponen lembaga OPD, penganggaran dan akuntabilitasnya, dan penjaminan PUG yang berkelanjutan;
3.       Inisiator mempengaruhi penentu kebijakan agar terbit landasan kerja bagi Kelompok Kerja (Pokja) PUG daerah;
4.       Inisiator mempengaruhi Bappeda dan lembaga lainnya untuk membuat dan menyepakati indicator PUG dalam pengelolaan pembangunan daerah;
5.       Pokja PUG menyepakati iklim dan budaya kerja Pokja serta menyusun Renstra dan RAD PUG;
6.        Inisiator dan Pokja mempengaruhi setiap lembaga untuk melakukan sosialisasi terus menerus tentang PUG dan selalu meningkatkan mutu operasionalisasi PUG pada seluruh tahapan pembangunan daerah.
      7.      Pokja PUG daerah melaksanakan reviu dan evaluasi perkembangan dan hasil    RAD PUG secara periodic.