Rabu, 24 September 2008

LAGI LAGI GRATIFIKASI, KAGET AKU

Masih tentang pengalamanku berhubungan dengan gratifikasi. Ceritanya begini, suatu saat diselenggarakan acara penandatanganan kerjasama penerimaan bockgrant penyelenggaraan pendidikaan nonformal antara penyalur (BP-PNFI) dengan penerima blockgrant. Saat itu acara diselenggarakan tidak begitu formal, undangan pun dibuat hanya melalui telepon atau SMS. Saya menawarkan diri kepada teman-teman "penyelenggara" acara tersebut untuk menyampaikan penjelasan tentang misi program yang perlu diselenggarakan oleh penerima blockgrant. Penjelasanpun saya lakukan. Selesai penjelasan dan dialog, pada saat para peserta menunggu giliran untuk penandatanganan- seorang peserta dari unsur SKB menanyakan kepada saya tentang bagaimana "komitmen" kami sebagai penerima terhadap lembaga penyalur (BP-PNFI). Ketika saya jelaskan 3 komitmen seperti saya sebutkan pada uraian terdahulu, penanya menjawab bukan itu maksudnya. Yang dia maksud adalah berapa persen atau rupiah yang perlu dia setorkan kepada penyalur. Demi mendengar itu saya tertegun dan kaget. Saya sampaikan kepada penanya, bahwa hal itu tidak ada dalam kebijakan lembaga BP-PNFI. Tetapi penanya tidak puas dengan jawaban saya, dan diapun menyampaikan alasan bahwa hal itu telah terjadi pada kasus blockgrant tahap I. Akhirnya, saya sampaikan bahwa BP-PNFI sepengetahuan saya tidak memiliki kebijakan "komitmen" seperti itu. Penanya mengomentari pernyataan saya itu, seperti ini : Saya sudah setor sejumlah uang kira-kira 3-5 % dari nilai blockgrant yang kami terima kepada bapak X, dan untuk yang inipun saya akan tanyakan langsung saja ke bapak X.
Seminggu setelah itu, saya berkesempatan mendampingi bos saya untuk orientasi lapangan ke berbagai program dan SKB (bos saya orang baru di PNFI), saya coba mencari data verifikatif tentang "setoran" itu. Dan saya semakin kaget dan semakin tercengang ketika diperoleh penjelasan bahwa jumlah yang disetor limapuluh juta rupiah. Astaghfirullah al adzim. Apakah ini benar adanya atau tidak, hanya Allah yang tahu dan mereka yang melakukannya yang tahu, karena semua itu biasanya dilakukan tanpa kwitansi atau bukti yang lazim.

Senin, 15 September 2008

I AM Ethic bagi PELATIH

Sebagai pelatih atau pendidik mau tidak mau kita harus memiliki kemampuan yang mendukung terhadap kompetensi seorang pelatih. Berbagai literatur, terakhir Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mempublikasikan standar kompetensi pendidik (guru). Belajar dari berbagai literatur yang ada, dan dengan maksud memudahkan pemahaman dan penerapannya, kemampuan/kompetensi minimal seorang pelatih terangkum dalam pernyataan I AM Ethic (baca: I am ethic). I- berarti Isi. Artinya, seorang pelatih harus menguasai isi/content/materi pelatihan. Penguasaan pelatih terhadap materi paling tidak mencakup filosofi, teori, sistematika, prosedur implementasi, dan berbagai kiat pemecahan masalah saat implementasi materi tersebut dalam kehidupan nyata. A-berarti Audience. Artinya, seorang pelatih harus menguasai atau memahami peserta didik, baik secara umum maupun khas individu per individu. Pemahaman pelatih terhadap peserta didik minimal berkenaan dengan nama, usia, status marital, agama/kepercayaan, persepsi/pemahaman awal terhadap materi pelatihan, pekerjaan, status dalam lembaga tempat kerja atau status sosial, kebiasaan belajar, dan kebutuhan belajarnya. M-berarti Metodologi. Artinya, seorang pelatih harus memahami dan menguasai metodologi pembelajaran, yaitu berkenaan dengan pemilihan dan penggunaan metode dan kiat memproses pembelajaran, pemilihan dan penggunaan media belajar, pembuatan dan penggunaan alat evaluasi, pengorganisasian dan pemanfaatan waktu belajar, serta perancangan alternatif-alternatif pemecahan masalah yang diperkirakan muncul dalam proses pembelajaran. Ethic berarti etika. Artinya, seorang pelatih harus memiliki etika (tatalaku) yang berlaku dalam pembelajaran, baik yang bersifat umum (generik) maupun yang khusus. Sopan santun dalam memandang, menghampiri peserta didik perempuan, mengetengahkan gurauan-gurauan (joke), berpakaian dan berprilaku dalam pembelajaran. Jadi pelatih harus mampu menyatakan dirinya I am ethic. Selamat mencoba.

Kamis, 11 September 2008

MENGAPA SELALU TERJADI?

Pertanyaan seperti di atas akan muncul, ketika suatu pekerjaan, peristiwa atau hal tertentu yang (relatif) tidak disukai oleh penanya terjadi berulang-ulang. Di lingkungan birokrasi/pegawai negeri - sebagaimana saya, dan kemungkinan besar banyak pegawai - mengalami peristiwa yang tak disukai itu. Apakah peristiwa itu?
Persepsi saya, peristiwa itu adalah pengeluaran/penggunaan anggaran "yang tak ada pos anggarannya". Awalnya saya bingung menterjemahkan istilah anggaran yang tak ada pos anggarannya. Secara sepintas, tidaklah mungkin anggaran digunakan untuk kegiatan yang tak ada perencanaannya atau tak ada posnya. Tetapi belajar dari pengalaman, ternyata peristiwa tersebut terjadi, terjadi lagi, dan tiap tahun anggaran terjadi lagi.
Di awal tahun anggaran, setelah program/kegiatan tahun yang bersangkutan ditetapkan "final", maka untuk konfirmasi detail kegiatan berikut detail pos-pos anggarannya dilakukan pembahasan oleh petugas instansi bersangkutan dengan pegawai instansi yang mengurusi keuangan negara (biasa disebut Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara=DJPb). Saya pernah terlibat dalam pembahasan tersebut. Saya dan tim mempersiapkan segala bahan dan informasi untuk menjelaskan tujuan dan kelompok sasaran serta detail anggaran sesuai patokan yang berlaku. Pada saat pembahasan, saya melihat ada sekitar 9 (sembilan) kelompok pembahasan-tentu dari berbagai instansi (satuan kerja). Dalam kelompok instansiku telah disiapkan tenaga pembahas, berkas program/kegiatan, dan minuman serta makanan kecil layaknya konsumsi pertemuan. Pembahasan saat itu berlangsung selama 2 (dua) hari, dan itupun tim masih membawa pekerjaan lanjutan (PR), yang secepatnya harus diselesaikan dan disetorkan ke DJPb. Setelah pembahasan selesai, anggota tim menjelaskan kepada saya, bahwa jamuan tadi disiapkan oleh tim dari instansi/satuan kerja. Dan satuan kerja inipun harus menyetorkan sejumlah uang untuk "biaya pembahasan" atau saya lebih senang menyebutkan sebagai biaya yang tak ada pos biayanya.
Peristiwa selanjutnya adalah penggunaan biaya untuk penambahan honor para inohong dari Jakarta, baik dalam konteks sengaja diundang ataupun datang karena agenda mereka sendiri. Ketika diundang, maka biaya yang disiapkan adalah biaya tambahan, karena plafon resmi dianggap tak sebanding penghargaannya. Ketika datang karena agenda mereka sendiri, maka biaya yang disiapkan penuh dari biaya yang tak ada pos biayanya. Saya pernah memperoleh penjelasan dari pegawai tertentu (yang memiliki akses thd keuangan) bahwa untuk kegiatan penandatanganan Surat Keputusan Menpan ttg penetapan lembaga sebagai lembaga eselon II, lembagaku perlu mengeluarkan biaya sekitar 70 juta. Dan ini tak ada pos anggarannya.
Peristiwa lainnya adalah biaya yang perlu dikeluarkan untuk melayani petugas pengawasan, baik dari internal departemen maupun yang dari luar departemen. Melayani baik dalam rangka pekerjaan pengawasan maupun dalam rangka di luar pekerjaan pengawasan.
Peristiwa terakhir dalam kurun tahun anggaran dan biaya yang tak ada pos anggarannya adalah biaya untuk para "preman".
Peristiwa-peristiwa "buruk" tersebut di atas selalu terjadi tiap tahun. Sehingga pada akhirnya melembaga penyediaan anggaran yang tak ada pos anggarannya. Kondisi ini adalah kondisi mismanagement yang harus dihindari. Beberapa pihak/teman yang terkait langsung dengan hal itu selalu berpandangan, bahwa hal itu sangat sulit dihindari. Saya menyadari akan kesulitan itu, karena jika mereka tak berlaku seperti itu, akan lebih sulit lagi bagi mereka dalam menyelenggarakan program dan menggunakan anggaran. Akan tetapi INI HARUS DIAKHIRI dengan cara kita bekerja sesuai aturan yang ada, dan yang lebih penting - siapapun kita - kita wajib bekerja secara JUJUR dan BERANI karena BENAR. Sikap dan mental inilah yang mampu mengakhiri itu semua. RAKYAT MERINDUKAN PEJABAT YANG JUJUR DAN BERANI KARENA BENAR.

Rabu, 10 September 2008

WARGA TGAL

Anda tentu akan bertanya, apa lebihnya warga TGAL (baca tegal) ?
Warga TGAL adalah warga yang dalam melakukan segala sesuatu, terutama pekerjaan pembangunan/pemberdayaan masyarakat berdasar dan mengedepankan prinsip Think Globally Act Locally. Maknanya berfikir (merenung, menghayal, memikirkan, manganalisis, berwawasan) secara global dan beraksi (memberi perlakuan, memecahkan masalah) secara lokal. Mempelajari berbagai ilmu, berbagai pandangan untuk kemudian dirumuskan cara-cara praktis implementasinya bagi pemecahan masalah lokal. Contohnya, kita belajar demokrasi dari negara Amerika, Jerman, Turki, dan lain-lain, kemudian kita berfikir merumuskan model demokrasi yang sesuai dan dapat diimplementasikan di daerah kita.
Ketika kita menjadi warga TGAL, berarti kita mampu mengejawantahkan teori-teori ke dalam pembangunan/pemberdayaan lokal. Kita telah menghapus ungkapan jalanan: "ah.... teori." Bagaimana...? Sanggupkah kita menjadi warga TGAL?---Selamat berikhtiar.

Senin, 08 September 2008

DARI AYAM KE PANGGUNG

Pengalaman berikut mudah-mudahan bermanfaat.
Ketika masih kelas 1 STM, Saya dipilih oleh 90% anggota Karang Taruna Tunas Ilir desa tempat kelahiranku untuk menjadi ketua umum karang taruna. Sebelum pemilihan saya telah mempelajari kondisi organisasi pemuda ini, dan saya menyampaikan beberapa gagasan tentang perbaikan kondisi yang ada. Saat itu gagasan yang saya perkenalkan adalah mengubah kebiasaan mencari bantuan dana kepada donatur desa untuk menyelenggarakan acara kepemudaan, keagamaan, dan sebagainya menjadi menjual acara/kegiatan kepada masyarakat. Hal ini muncul, karena setiap penyelenggaraan kegiatan karang taruna, saya sering memperoleh tugas mencari donasi kepada donatur desa, dan sering juga mendengar keluhan, harapan mereka, yaitu : "kapan kami berhenti menyumbang uang kepada pemuda", "kalau tidak punya biaya, jangan buat acara/kegiatan".
Gagasan itu saya implementasikan, walau pada awalnya hanya diminati dan diikuti oleh 27 pemuda. Saya undang mereka untuk bermusyawarah tentang usaha-usaha mencari uang melalui organisasi dan untuk organisasi. Musyawarah ini menghasilkan kesimpulan bahwa 28 pemuda memulai beternak ayam kampung (bukan ras), modal awal usaha berasal dari setiap keluarga menyumbangkan sepasang ayam siap bertelur. Seusai musyawarah dengan para pemuda dilanjutkan bermusyawarah dengan para orangtua dari 28 pemuda tadi. Kesimpulannya, beternak ayam dimulai di pekarangan belakang rumah orangtua saya, 28 pemuda dikelompokkan menjadi 7 (tujuh) kelompok untuk bergilir menyelenggarakan peternakan ayam.
Produk dari usaha peternakan dipasarkan melalui 3 cara, pertama, setiap pekan para pedagang (keliling) ayam membeli dari peternakan karang taruna; kedua, setiap 45 hari produk dijual ke pedagang ayam di pasar dg harga pasar; dan ketiga, setiap warga desa yang memerlukan ayam datang dan membeli ke peternakan. Ke-28 pemuda bertugas juga sebagai tenaga pemasaran.
Usaha peternakan ini berjalan sampai 6 (enam) tahun. Selain menghasilkan biaya untuk berbagai kegiatan karang taruna, usaha ini telah memperkuat kas karang taruna sebesar 8 (delapan) juta rupiah. Perhitungan ini dilakukan saat usaha selesai, karena muncul pesaing yang tangguh.
Pada saat usaha peternakan ayam berjalan kira-kira 7 bulan, usaha lain diprogramkan dan dilaksanakan oleh karang taruna. Usaha tersebut adalah: 1) menanam turi di pematang sawah warga desa; 2) membentuk klub sepakbola; 3) membuat grup seni peran (teater, operet) dan tari serta musik dangdut.
Usaha-usaha tersebut diarahkan untuk menghasilkan pendapatan, baik bagi organisasi maupun untuk pelakunya.
Penanaman turi dilakukan 36 KM pematang sawah warga desa selama 100 hari. Bibit turi sejumlah 40.000 pohon diperoleh dari bantuan Kantor Departemen Pertanian Kabupaten Cirebon. Produk kayu turi dijual ke Perusahaan Pembuatan bata dan genteng. Hasilnya, dapat menambah kas karang taruna sebesar 6 (enam) juta rupiah.
Sambil menggelorakan olahraga, alhamdulillah Klub sepak bola terbentu dengan nama PORSEGI (Perserikatan Olahraga Sejahtera Gebangilir). Klub inipun pada akhirnya hampir setiap bulan disewa/dipanggil oleh masyarakat sekitar Kabupaten Cirebon. Setiap dipanggil klub memperoleh bayaran 150.000 - 250.000 rupiah.
Grup seni pun diarahkan sama untuk menghasilkan income pelaku dan organisasi, dengan cara manggung di hajatan atau acara-acara lainnya. Alhasil, diakhir kepengurusan saya (saya mundur, karena harus kuliah di Jakarta kemudian ke Bandung) karang taruna memiliki kas sekira 18 (delapanbelas) juta rupiah. Dan yang paling penting iklim kewirausahaan terbangun dan terkondisikan dengan baik.

KIAT MENULIS PADA PAPAN TULIS

Dalam konteks pelatihan, pembelajaran atau penyuluhan, penggunaan papan tulis atau kertas lebar dalam penjelasan suatu materi sering dilakukan oleh para pelatih/fasilitator/penyuluh/guru. Sering saya mengikuti pembelajaran, baik sebagai peserta belajar maupun sebagai pemantau/pengamat-mendapatkan pendidik menuliskan materi pembelajaran di papan tulis tanpa memperhatikan apakah tulisannya mudah terbaca oleh peserta didik atau tidak, besar kecil-tebal tipis, posisi papan tulis-strategis atau tidak. Pendidik professional selalu memperhatikan apa yang dilakukannya diperuntukkan bagi kepuasan peserta didik, termasuk dalam penulisan di papan tulis.
Ketika menggunakan spidol untuk menulis di papan tulis, pendidik professional selalu melakukan: 1) memposisikan papan tulis di posisi strategis, agar semua peserta didik mudah memperhatikan tulisan yang ada padanya; 2) men-cek papan tulis-agar siap ditulis; 3) men-cek spidol, apakah spidol permanen atau spidol khusus untuk papan tulis (white board); 4) men-cek spidol, apakan mata/ujungnya runcing atau tidak. Mata spidol yang runcing akan menghasilkan tulisan yang tipis, sedangkan mata spidol yang tumpul akan menghasilkan tulisan yang tebal. Mata spidol yang tumpul dapat diperoleh antara lain dengan cara menggunting/memotong miring (40 - 60 derajat) mata/ujung spidol tersebut ; 5) mencoba menuliskan satu kata, kemudian menanyakan kepada peserta didik terjauh dari papan tulis, apakah tulisan tersebut mudah/jelas terbaca atau tidak; 6) menyiapkan penghapus dan mencoba menggunakannya (menghapus tulisan percobaan); 7) menuliskan materi dengan tulisan sesuai harapan peserta didik.
Demikianlah sekedar kiat menulis, semoga bermanfaat.

Jumat, 05 September 2008

PELATIHAN KEWIRAUSAHAAN PEMUDA

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
1. Sebagai negara berkembang, Indonesia sampai saat ini masih memiliki permasalahan tentang kualitas sumber daya manusia, yaitu antara lain: a) lama rata-rata pendidikan penduduk usia 15 tahun hanya 7,1 tahun (data tahun 2003); b) proporsi penduduk usia 10 tahun ke atas yang bersekolah pada SLTP ke atas hanya 36,2 %; c) angka partisipasi sekolah untuk usia 7 – 12 tahun tercatat 96, 4 %, usia 13 – 15 tahun 81, 0 % dan usia 16 – 18 tahun adalah 50,97 %.
2. Dalam bidang ketenagakerjaan tercatat bahwa pada tahun 2003 terdapat kelompok pengangguran terbuka sejumlah 9,5 juta, tahun 2004 sejumlah 10,8 juta, dan pada tahun 2005 sejumlah 11,27 juta. Hal ini menunjukkan peningkatan jumlah penganggur terbuka setiap tahunnya. Sementara itu, pertum­buhan angkatan kerja secara nasional setiap tahun bergerak meningkat antara 2,3 juta sampai dengan 2,75 juta, dan pada tahun 2006 tercatat jumlah angkatan kerja 106,3 juta orang (BPS, 2006).
3. Kondisi di atas berkorelasi dengan lambannya pertumbuhan ekonomi yang rata-rata di bawah 8%, yang secara teori per­tumbuhan sebesar itu tidak bisa menyerap seluruh angkatan dan pencari kerja yang ada.
4. Akibat beberapa permasalahan tersebut, jumlah penduduk miskin di Indonesia meningkat, yaitu dari 36,1 juta pada tahun 2004 menjadi 54 juta pada tahun 2005, dan pada tahun 2006 terdapat 108,7 juta penduduk yang rentan miskin (world Bank, 2006).
5. Dalam percaturan dunia global, masuknya tenaga kerja dari luar Indonesia ke dalam negeri adalah hal yang tidak dapat dibendung dengan alasan apapun. Sebaliknya tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri harus mampu bersaing secara ketat dengan mendemonstrasikan kemampuan professional yang selalu dibutuhkan oleh pemberi kerja. Kondisi persaingan global tersebut menuntut penyiapan, pembiasaan dan pendidikan yang memberikan peningkatan sikap, mental dan kemampuan yang dibutuhkan oleh pasar kerja internasional.
6. Salah satu usaha Pemerintah dan Bangsa Indonesia untuk memecahkan permasalahan di atas dan mengantisipasi mun­culnya permasa­lahan ikutan adalah menggerakkan Gerakan Nasional Kewirausahaan Pemuda (GNKP) yang ber­orientasi pemberdayaan dan pengem­bangan ekonomi rakyat perdesaan. Gerakan ini diyakini mampu menjadi pemecah masalah-masalah pengangguran, kemiskinan, keterpuru­kan ekonomi nasional, ketidakberdayaan eko­nomi rakyat, keman­degan ekonomi perde­saan, kemarjinalan ekonomi rakyat desa, keter­batasan akses bekerja dan berusaha bagi pemuda dan masyarakat.
7. Dalam usaha menggerakkan GNKP, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga telah menyusun cetak biru (blue print) pengembangan GNKP, yang antara lain berisi bahwa GNKP diarahkan untuk membangun karakter dan budaya wirausaha di kalangan pemuda, menanggulangi pengang­guran pemuda, membuka peluang usaha dan kesempatan kerja bagi pemuda, melembagakan usaha ekonomi pemuda yang berdaya saing, mengubah sikap dan budaya pencari kerja menjadi pencipta lapangan kerja, membentuk pemuda pengusaha unggul, serta mening­katkan penghasilan, daya beli, dan kesejah­teraan masyarakat.
8. Salah satu cara yang didesain untuk mempercepat ope­rasionalisasi GNKP adalah penyelenggaraan pelatihan kewi­ra­usahaan pemuda. Pelatihan ini dirancang untuk para pemuda agar mereka mampu mengenali keunggulan dan kelemahan dirinya sendiri, mengembangkan keunggulan dan menge­liminasi kelemahan yang dimilikinya, mengoptimalkan keunggulan-keunggulan ling­ku­ngan­nya menjadi wahana pening­katan ekonomi produktif, dan pada gilirannya para pemuda menjadi wirausa­hawan tangguh dan berkecakapan hidup.
9. Selama ini telah banyak kegiatan-kegiatan kepemudaan di lapangan yang dirancang untuk meningkatkan pendapatan mereka, termasuk pelatihan–pelatihan keterampilan bermata pen­ca­harian. Akan tetapi, kegiatan-kegiatan tersebut diseleng­garakan secara sendiri-sendiri dan kurang menyentuh pada perubahan paradigma serta pembentukan mental dan sikap wirausaha. Hal ini antara lain disebabkan belum adanya pedoman penyelenggaraan yang dapat memandu penyelenggara pelatihan di lapangan dalam menyelenggarakan pelatihan kewirausahaan pemuda yang menghasilkan wirausahawan tangguh dan berke­cakapan hidup.
10. Oleh karena itu, pedoman penyelenggaraan pelatihan kewi­rausahaan pemuda menjadi penting untuk dihadirkan di lapangan.
B. TUJUAN PEDOMAN
Pedoman penyelenggaraan pelatihan kewira­usahaan pemuda ini bertujuan untuk memberikan pedoman/ panduan/ acuan kepada pengelola/ penyelenggara program pelatihan dan pelatih dalam menyelenggarakan pelatihan kewirausahaan pemuda.
C. PENGGUNA (SASARAN) PEDOMAN
Pedoman ini diharapkan dapat digunakan oleh:
1. Penyelenggara pelatihan kewirausahaan pemuda, baik di ting­kat pusat maupun daerah;
2. Pelatih kewirausahaan pemuda;
3. Pemangku kepentingan operasionalisasi GNKP.
D. RUANG LINGKUP
Pedoman penyelenggaraan pelatihan kewira­usahaan pemuda ini memuat:
1. Pendahuluan, yang terdiri atas latar belakang, tujuan, sasaran dan ruang lingkup pedoman;
2. Konsep pelatihan kewirausahaan pemuda, yang meliputi konsep pelatihan, konsep kewirausahaan, dan konsep pemuda;
3. Bagian berikutnya, menguraikan komponen-komponen dan langkah-langkah penyelenggaraan pelatihan kewirausahaan pemuda secara praktis; dan
4. Uraian terakhir dalam pedoman ini adalah penutup dan beberapa lampiran yang memper­jelas uraian terdahulu.









KONSEP PELATIHAN
KEWIRAUSAHAAN PEMUDA


A. KONSEP PELATIHAN
Malcolm Tight, dalam bukunya Key Concept in Adult Education and Training 2nd Edition, menyatakan bahwa pelatihan lebih diasosiasikan pada mempersiapkan seseorang dalam melaksanakan suatu peran atau tugas, biasanya dalam dunia kerja. Namun demikian, pelatihan bisa juga dilihat sebagai elemen khusus atau keluaran dari suatu proses pendidikan yang lebih umum. Peter mengemukakan: ”konsep pelatihan bisa diterapkan ketika (i) ada sejumlah jenis keterampilan yang harus dikuasai, (ii) latihan diperlukan untuk menguasai keterampilan tersebut, (iii) hanya diperlukan sedikit penekanan pada teori”.
Definisi di atas memberikan penekanan pada ”penguasaan’ tugas atau peran, dan pada kebutuhan untuk melakukan pengulangan latihan hingga bisa melakukannya sendiri, dan juga menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan relatif spontan dan tanpa dimotivasi pengetahuan dan pemahaman.
Definisi lainnya menekankan pada tempat dilaksanakannya, seperti yang diungkapkan oleh Goldstein and Gressner (1988), dimana pelatihan sebagai usaha sistematis untuk menguasai keterampilan, peraturan, konsep, atau pun cara berperilaku yang berdampak pada peningkatan kinerja. Misalnya, untuk pelatihan suatu jabatan kerja, setting pelatihan diusahakan semirip mungkin dengan lingkungan kerja yang sebenarnya. Contoh lainnya, pelatihan juga bisa dilakukan di tempat yang sangat berbeda dengan lingkungan kerja yang sebenarnya, misalnya di ruang kelas.

Definisi yang kedua ini menambahkan informasi tentang fungsi pelatihan pada definisi pertama, sehingga lebih memperjelas bahwa pelatihan setidaknya terkait dengan perilaku dalam menghadapi tugas. Yang perlu dipertanyakan apakah hal ini bisa efektif dilakukan tanpa mengembangkan pengetahuan dan pemahaman peserta pelatihan, jika pelatih hanya membangun konsep dan perilaku peserta pelatihan. Namun definisi kedua ini mempersempit lokasi pelatihan, karena hanya terfokus pada pelatihan yang berhubungan dengan pekerjaan.
Definisi ketiga berikut ini yang dikemukakan oleh Dearden (1984) lebih memperjelas keluasan lingkup istilah pelatihan. Menurutnya, pelatihan pada dasarnya meliputi proses belajar mengajar dan latihan yang bertu­juan untuk mencapai tingkatan kompetensi tertentu, atau efisiensi kerja. Sebagai hasil pelatihan, peserta diharapkan mampu merespon dengan tepat dan sesuai situasi tertentu. Seringkali pelatihan dimaksudkan untuk memper­baiki kinerja yang langsung berhubungan dengan situasinya.
Dearden lebih memilih menggunakan konsep kompetensi (competences) dibandingkan kinerja (performance). Dia memba­tasi konsep tersebut dengan tujuan mempersiapkan peserta untuk bertindak berdasarkan situasi-situasi yang biasanya terjadi, serta menerapkannya pada saat melakukan tanggung jawab pekerjaan, baik beban kerja yang lebih kompleks maupun yang lebih sederhana.
Sebagai suatu pendekatan pembangunan di bidang pendi­dikan, pelatihan memiliki ciri-ciri yang khas, antara lain seperti yang diungkapkan oleh Philips H. Coombs dan Manzoer Ahmed, melalui karyanya ”Memerangi Kemiskinan di Pedesaan Melalui Pendidikan Nonformal”. Mereka menyatakan bahwa ciri khas pelatihan sebagai suatu pendekatan pembangunan adalah sebagai berikut:
diusahakan sedapat mungkin untuk menyesu­aikan bahan pengajaran dengan pola budidaya dan keadaan lingkungan di kampung halaman peserta;
seluruh kursus diselenggarakan sesuai dengan suatu siklus penuh untuk budi daya bersangkutan
bagian terbanyak dari masa pelajaran untuk kerja praktik;
pelajaran di ruang kelas dititik-beratkan pada diskusi dalam kelompok kecil daripada ceramah.
Penyelenggaraan pelatihan hendaknya dilakukan secara sistematis dan berkesi­nambungan. Terkait dengan ini Eddie Davies, (2005), dalam bukunya The Art of Training and Development, The Training Manager’s a Handbook, mengajukan 10 langkah efektif menyelenggarakan pelatihan, seperti diuraikan di bawah ini.
Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan, yaitu mendeteksi permasalahan yang dihadapi saat ini dan tuntutan masa yang akan datang, khususnya yang dapat diatasi dengan menyelenggarakan pelatihan.
Mengklarifikasi sasaran pelatihan, yaitu mengkaji kemampuan yang diharapkan dimiliki oleh peserta setelah mengikuti program.
Mempertimbangkan peserta/kelompok sasaran dengan mencoba memahami dan mengidentifikasi kesenjangan calon peserta agar rancangan pelatihan dapat menutup kesenjangan tersebut.
Mengembangkan garis besar program pelatihan, yaitu rencana induk yang disusun secara hierarkis dan sekuensial.
Memilih metode dan media, yaitu strategi dan perangkat pembelajaran yang aplikatif atau mudah digunakan dan efektif dalam menghantarkan pesan pembelajaran.
Menyiapkan panduan bagi pemimpin yang meliputi rencana sesi, handouts dan story­board.
Melakukan ujicoba sesi pelatihan, yaitu menerapkan rancangan pada target yang terbatas untuk mendeteksi sedini mungkin hal-hal yang menyebabkan kegagalan pelatihan, misalnya ketepatan waktu, penafsiran yang berbeda, dan lain-lain.
Melaksanakan sesi pelatihan, dengan tetap melakukan pemantauan untuk dapat mende­teksi apakah pelaksanaan kegiatan merujuk pada rencana yang telah disusun atau tidak.
Melakukan tindak lanjut pelatihan, agar hasil pelatihan dapat diimplementasikan oleh peserta sekembalinya ke tempat kerja.
Mengevaluasi hasil, yaitu mengukur dan menilai apakah setiap tahapan program menggunakan biaya sesuai dengan kebutuhan? Apakah terjadi perubahan kinerja ke arah yang positif?, Apakah biaya yang dikeluarkan sebanding dengan manfaat yang diperoleh?
Alur pelaksanaan sepuluh tahapan penyelenggaraan pelatihan di atas, dapat dilihat pada bagan berikut ini.
MENGIDENTIFIKASI KEBUTUHAN
MENGKLARIFIKASI SASARAN
MEMPERTIMBANGKAN PESERTA
MENGEMBANGKAN GARIS BESAR SESI PELATIHAN
MEMILIH METODE & MEDIA
MENGUJICOBA SESI PELATIHAN
MELAKSANAKAN PELATIHAN
MELAKUKAN TINDAK LANJUT
MENGEVALUASI HASIL
MENYIAPKAN PANDUAN PEMIMPIN
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1












B. KONSEP KEWIRAUSAHAAN
Kewirausahaan pada hakekatnya adalah sifat, ciri dan watak seseorang yang memiliki kemauan dalam mewujudkan gagasan inovatif ke dalam dunia nyata secara kreatif (Suryana, 2000). Istilah kewirausahaan berasal dari terjemahan “Entrepreneurship”, dapat diartikan sebagai “the backbone of economy”, yang adalah syaraf pusat perekonomian atau pengendali perekonomian suatu bangsa (Soeharto Wirakusumo, 1997:1).
Secara epistimologi, kewirausahaan merupakan suatu nilai yang diperlukan untuk memulai suatu usaha atau suatu proses dalam mengerjakan sesuatu yang baru dan berbeda. Menurut Thomas W. Zimmerer, kewirausahaan merupakan penerapan kreativitas dan keinovasian untuk memecahkan permasalahan dan upaya untuk memanfaatkan peluang yang dihadapi sehari-hari. Kewirausahaan merupakan gabungan dari kreativitas, keinovasian dan keberanian menghadapi resiko yang dilakukan dengan cara kerja keras untuk membentuk dan memelihara usaha baru.
Dalam konteks bahasa Indonesia, kewirausahaan berasal dari kata ”wira” yang berarti berani, gagah, utama atau perkasa dan ”usaha” yang berati perbuatan yang dilakukan untuk mencapai keinginan atau tujuan. Dengan kata lain, kewirausahaan adalah pola tingkah laku manusia yang gagah dan berani untuk mencapai suatu keinginan atau tujuan. Kewirausahaan juga dapat diartikan sebagai :
Mental dan sikap jiwa manusia yang selalu aktif untuk berusaha meningkatkan hasil karyanya dalam rangka meningkatkan pengahasilannya secara ekonomis.
Suatu proses yang dilakukan oleh seseorang untuk mengejar peluang-peluang, memenuhi kebutuhan hidupnya dan mencapai keingi­nannya yang dijalani melalui proses inovasi.
Proses dinamis untuk menciptakan kemak­muran
Proses untuk menciptakan sesuatu yang lain dari orang lain, dengan menggunakan waktu dan kegiatan yang efektif
Semangat, sikap, tingkah laku dan kemampuan seseorang dalam menangani usaha atau kegiatan yang mengarah pada upaya cara kerja, teknologi dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka mem­berikan layanan yang lebih baik dan menghasilkan keuntungan yang besar.
Sedangkan istilah kewirausahaan yang terdapat dalam kamus bisnis, dianalisa dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan fungsional dan pendekatan kewirausahaan sisi penawaran (sumber psikologis dan sosiologis). Pendekatan fungsional menekankan peranan kewirausahaan di dalam perekonomian, seperti mengemban suatu resiko karena melakukan pembelian pada satu tingkat tertentu, melakukan kegiatan-kegiatan produksi dan inovasi, serta menyebab­kan atau memberikan reaksi terhadap gejolak-gejolak ekonomi. Pendekatan kewirausahaan sisi penawaran menekankan pada sifat-sifat individual yang dimiliki para pengusaha. Pendekatan ini mengatakan bahwa sifat-sifat tertentu seperti keinginan untuk berprestasi dan kemampuan untuk mengontrol serta menanggung resiko dari tindakan yang mereka lakukan sebagai sifat-sifat dari wirausaha.
Menurut Marzuki Usman, pengertian wirausahawan dalam konteks manajemen adalah seseorang yang memiliki kemampuan dalam menggunakan sumber daya, seperti finansial, bahan mentah dan tenaga kerja untuk menghasilkan suatu produk baru, bisnis baru, proses produksi ataupun pengembangan organisasi. Wirausahawan adalah seseorang yang memiliki kombinasi unsur-unsur internal yang meliputi kombinasi motivasi, visi, komunikasi, optimisme, dorongan semangat dan kemampuan untuk memanfaatkan peluang usaha. Sedangkan menurut Sri Edi Swasono, dalam konteks bisnis, wirausahawan adalah pengusaha, tetapi tidak semua pengusaha adalah wirausahawan. Wirau­sahawan adalah pionir dalam bisnis, inovator, penanggung resiko, yang memiliki visi ke depan dan memiliki keunggulan dalam berprestasi di bidang usaha.
Apabila kita perhatikan beberapa penger­tian tentang kewirausahaan di atas, maka dapat dikatakan bahwa kewirausahaan merupakan suatu pola tingkah laku manajemen yang terpadu. Kewirausahaan adalah upaya pemanfaatan peluang-peluang yang tersedia tanpa mengabaikan sumber daya yang dimilikinya. Oleh karena itulah, kewirausahaan selalu tak terpisah dari kreativitas dan inovasi. Inovasi tercipta karena adanya daya kreatifiitas yang tinggi. Kreatifitas adalah kemampuan untuk membawa sesuatu yang baru ke dalam kehidupan. Kreatifitas merupakan sumber yang penting dari kekuatan persaingan, karena lingkungan cepat sekali berubah. Untuk dapat memberikan tanggapan terhadap peru­bahan tersebut, manusia harus kreatif. Pemikiran kreatif merupakan motivator yang sangat besar karena membuat orang tertarik pada peker­jaannya. Pemikiran kreatif juga memberikan kemungkinan bagi setiap orang untuk mencapai keinginan dan tujuan dalam hidupnya.
Sejalan dengan tuntutan perubahan yang cepat pada paradigma pertumbuhan yang wajar dan perubahan ke arah globalisasi yang menuntut adanya keunggulan, pemerataan, dan persaingan, maka dewasa ini terjadi perubahan paradigma pendidikan. Pendidikan kewirausahaan telah diajarkan sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri yang independen, yang menurut Soeharto Prawirokusumo adalah disebabkan oleh:
Kewirausahaan berisi “body of knowledge” yang utuh dan nyata (distinctive), yaitu ada teori, konsep, dan metode ilmiah yang lengkap.
Kewirausahaan merupakan disiplin ilmu yang memiliki objek tersendiri, yaitu kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda
Kewirausahaan merupakan alat untuk menciptakan pemerataan berusaha dan pemerataan pendapatan atau kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur.
Sikap dari seorang wirausaha yang utama adalah tidak tergantung kepada orang lain. Ia percaya bahwa pengetahuan, keterampilan dan waktu adalah modal utama untuk meraih keberhasilan. Bantuan dari orang lain, hanya diperlukan jika memang suatu pekerjaan sudah tidak dapat dilakukannya sendiri. Seorang wirausaha harus memiliki sikap dan mental sebagai berikut :
Penuh Perhitungan dan Berdaya Cipta
Menjadi seorang wirausaha, salah satunya memerlukan sikap penuh perhitungan. Sikap ini diperlukan karena dalam berwirausaha harus tumbuh sikap sikap berani menghadapi tantangan. Jika keberanian menghadapi tantangan tidak diawali dengan sikap penuh perhitungan, bisa jadi hasil yang akan didapatkan hanyalah kegagalan.
Sikap penuh perhitungan dapat dimiliki jika membiasakan diri untuk bertindak teliti/kritis, hemat dan memilih kegiatan yang beresiko rendah.
Tangguh
Seorang wirausaha harus bersikap tangguh, mereka pantang mundur/menyerah pada keadaan, tidak mudah puas terhadap prestasi yang telah dicapai. Ia ingin mencapai prestasi yang lebih baik, ingin lebih maju dari apa yang telah dimilikinya sekarang. Orang yang bersikap tangguh memiliki beberapa sifat, antara lain percaya diri, ulet, tekun, rajin dan sabar, berani bersaing.
Berdaya cipta
Sikap berdaya cipta seorang wirausaha, antara lain :
a. Berprakarsa (inisiative), atau disebut juga berusaha, maksudnya adalah suatu tekad atau kemauan seseorang untuk berbuat atau melakukan sesuatu demi kemajuan.
b. Berpikir ke depan/maju. maksudnya mampu meramalkan, melihat dan memperkirakan apa yang akan terjadi di waktu yang akan datang.
c. Terbuka terhadap perubahan dan pemba­haruan, maksudnya selalu menerima pendapat orang lain dan mampu menerima kritik dari orang lain demi kemajuan.
d. Kreatif dalam memecahkan masalah. Maksudnya memiliki kemampuan dalam mencari jalan keluar jika menghadapi kesulitan dalam berusaha dengan cara melihat dari berbagai sisi.
Bertanggung Jawab
Sikap tanggung jawab adalah sikap yang harus dimiliki oleh seorang wirausaha. Salah satu kunci keberhasilan seseorang dalam berusaha adalah adanya sikap bertanggung jawab dan jujur yang akan tercermin pada perkataan dan perbuatannya.
Dalam ajaran Islam, ada beberapa sifat atau karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang wirausahawan, yaitu :
1. Memiliki pengetahuan dan keahlian
Keahlian dapat dimiliki seseorang, di mana ia mau untuk terus menerus mempelajari dan latihan usaha. Hasil pekerjaan atau gagasan orang yang memiliki pengetahuan dan keterampilan pasti akan berbeda, begitu juga hasil penjualannya-pun akan berbeda dengan orang yang sudah berpengalaman dan memiliki pengetahuan yang baik tentang manajemen wirausaha. Alquran menerangkan bahwa, “Katakanlah, “Adakah sama orang-orang yang berpengetahuan dengan orang-orang yang tidak berpenge­tahuan...?” (QS. Az-Zumar [39]: 9).
2. Jujur
Kejujuran adalah segala-galanya dalam dunia bisnis maupun dalam segala hal, orang yang jujur pasti akan disenangi dan dapat dipercaya, untuk itu kejujuran harus menjadi bagian dari seorang wirausahawan, jujur dalam ucapan, jujur dalam promosi, jujur dalam memberikan keterangan produk, jujur dalam timbangan dan jujur dalam pembayaran. Rasulullah Muhammad SAW menerangkan dalam hadisnya bahwa, “Pedagang yang jujur lagi terpercaya, bersama-sama para Nabi dan orang-orang benar dan syuhada.” (HR. Tirmidzi dan Hakim)
3. Sabar dan pekerja keras
Sikap ini sangat penting dalam mem­bangun suatu usaha. Sabar, ulet, pekerja keras, adalah bagian awal kesuksesan seorang pengelola usaha, seperti dijelaskan sebuah hadis : “Maka hendaklah engkau sabar seperti sabarnya para Rasul yang memiliki kemauan keras” (QS. Al-Ahqaf [46]: 35). Sabar bukan berarti pasrah, sabar adalah kegigihan untuk tetap berpegang teguh kepada ketetapan Allah. Kesabaran adalah sebuah proses aktif, kombinasi antara ridha dan ikhtiar. Bukan proses diam atau pasif.
4. Istiqamah dan pantang menyerah
Sikap istiqamah dan pantang menyerah harus senantiasa ada dalam setiap diri pengelola bisnis. Semangat bekerja, penga­daan, pelayanan dan semua aktivitas berwirausaha harus benar-benar berada pada garis istiqamah (kontinuitas).Alquran mengajarkan bahwa : “Maka hendaklah engkau istiqamah sebagaimana diperintahkan kepadamu” (QS. Asy-Syura [45]:15)
5. Tawakal
Sikap tawakal adalah sikap menyerahkan segala urusan kepada Allah setelah berikhtiar semaksimal mungkin. Seperti riwayat orang yang menambatkan kudanya, kata nabi “Tambatkan dulu, barulah engkau bertawakal!’. Ikhtiar dulu dengan semakasimal mungkin, tapi setelah itu kita serahkan semuanya kepada kehendak Allah. Sebagaimana dalam sebuah ayat, yang artinya, “Lalu apabila kamu besungguh-sungguh akan melakukan sesuatu, maka berserah dirilah kepada Allah (QS. Ali Imran [3]:159).
6. Berzakat dan berinfaq
Mengeluarkan zakat dan infaq harus menjadi budaya seseorang yang bergerak dalam bidang bisnis. Harta yang dikelola dalam bidang bisnis, laba yang diperoleh harus disisihkan sebagian untuk membantu orang yang membutuhkan. Sebuah hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Muslim menyatakan: “Tidaklah harta itu akan berkurang karena disedekahkan dan Allah tidak akan menambahkan orang yang suka memberi maaf kecuali kemuliaan. Dan tidaklah seorang yang suka merendahkan diri karena Allah melainkan Allah akan meninggikan derajatnya.”
7. Silaturahmi
Wirausahawan seringkali melakukan silaturahmi dengan mitra bisnisnya ataupun dengan langganannya. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam bahwa seorang Islam harus selalu mempererat silaturahmi satu sama lain. Manfaat silaturahmi ini di samping mempererat ikatan persaudaraan, juga sering kali membuka peluang-peluang bisnis yang baru. Hadis Nabi menyatakan: “Siapa yang ingin murah rizkinya dan panjang umurnya, maka hendaklah ia mempererat hubungan silaturahmi” (HR. Bukhari).


C. KONSEP PEMUDA
Definisi pemuda, setidaknya memiliki tiga unsur atau tiga sudut pandang, yaitu menyangkut batasan usia pemuda sifat atau karakteristik pemuda, dan tujuan dari aktivitas kepemudaan.
Secara biologis, yang digolongkan pemuda adalah mereka yang berumur antara 15 sampai dengan 30 tahun. Dari segi psikologis, kematangan seorang pemuda dimulai pada usia 21 tahun, sedang batasan manusia muda sebagai generasi penerus generasi terdahulu menentukan usia antara 18 sampai 30 tahun dan kadang-kadang mencapai usia 40 tahun.
Menyesuaikan dengan tingkatan usia yang terjadi pada setiap manusia, maka pemuda dapat digolongkan kepada tingkatan diantara akhir masa remaja sampai dengan akhir dewasa awal, atau dengan kategori usia berada antara umur 18 hingga 40 tahun. Berdasarkan letaknya yang berada di antara akhir masa remaja sampai akhir dewasa awal, maka pemuda memiliki ciri-ciri yang secara positif dan negatif disatukan sebagai berikut:
1. Kemampuan koginitifnya sudah penuh, hal ini tercermin dari kemampuan pemuda dalam mengetahui dan memahami suatu persoalan yang pada akhirnya dapat membentuk sikap pemuda terhadap permasalahan yang dihadapinya,
2. Kematangan emosional, bahwa pemuda dengan dilandasi kemampuan berpikirnya dapat mengendalikan dan menempatkan emosinya dalam menghadapi permasalahan.
3. Fungsi reproduksinya meningkat, sejalan dengan perkem­bangan biologis seorang pemuda adalah kelompok manusia yang lebih siap untuk menikah dan memiliki keturunan.
4. Banyak masalah, bahwa pemuda memang kaya akan ide-ide, dan ide ini sendiri dilandasi oleh nilai-nilai ideal. Namun tidak semua ide dan keinginan tersebut dapat terwujud karena kondisi di masyarakat sulit sekali mewujudkan nilai ideal tersebut.
5. Keterasingan sosial, kemampuannya untuk berpikir ideal dan tidak memihak acapkali mendorong pemuda pada keadaan yang terasing dari lingkungan sosial
6. Rasa tanggung jawab yang tinggi, hal ini dilandasi keinginan untuk mewujudkan segala sesuatu yang menjadi keinginannya. Akibatnya segala sesuatu yang dikerjakan, dilakukannya secara bertanggung jawab.
7. Kreatif dan inovatif, hal ini berkaitan dengan penciptaan ide-ide atau pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan masalah yang sedang dihadapi.
8. Ketergantungan dengan generasi yang lebih tua, hal ini dilandasi kenyataan pemuda itu masih kurang akan pengalaman dan pengalaman itu adanya pada generasi yang lebih tua.
Pemuda sebagai suatu kategori sosial harus didefinisikan secara tegas, bukan sekedar “yang berjiwa muda.” Hal ini akan menyebabkan penyalahgunaan secara politis atau pengatas­namaan pemuda sehingga aspirasi mereka sebagai suatu kelompok usia terwakili. Pengembangan kepemudaan harus dilakukan .secara “incor­porated” melibatkan semua potensi bangsa secara menyeluruh sehingga terdapat suatu konsistensi secara nasional (big push).
Golongan pemuda perlu memperoleh perhatian khusus, karena:
1. Mereka menjadi incaran pemasaran hasil industri (segmen pasar yang potensial). Segmentasi ini cenderung dikem­bangkan oleh pasar, sehingga anak muda menjadi suatu subkultur yang berbeda dengan kultur orang dewasa. Hal ini bisa memperbesar gejala “generation gap”.
2. Strategis dan khas secara budaya dan kondisi fisik serta emosional
3. Mengalami persoalan besar sebagai pembayar hutang bangsa, menghadapi globalisasi, pendukung paradigma pembangunan yang baru.











PENYELENGGARAAN PELATIHAN
KEWIRAUSAHAAN PEMUDA

A. MAKNA PELATIHAN KEWIRAUSAHAAN PEMUDA
Pelatihan Kewirausahaan Pemuda adalah suatu proses kegiatan peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang kewi­rausahaan yang diperuntukkan bagi para pemuda, agar mereka mengenali, berminat dan mampu menjadi wirausahawan tangguh.

B. PENJENJANGAN PELATIHAN KEWIRAUSAHAAN PEMUDA
Penjenjangan dalam pelatihan kewirausahaan pemuda, dilakukan supaya pelaksanaan pelatihan dapat mencapai tujuan yang diharapkan dan sesuai dengan karakter kelompok sasaran serta keluaran yang akan dihasilkan. Terdapat tiga jenjang pelatihan, yaitu 1) Pelatihan Kewirausahaan Pemuda Tingkat Dasar (PKP-TD), 2) Pelatihan Kewirausahaan Pemuda Tingkat Lanjutan (PKP-TL), 3) Pelatihan Kewirausahaan Pemuda Tingkat Pengembangan (PKP-TP). Secara lebih jelas penjenjangan dalam pelatihan kewirausahaan pemuda, dapat dilihat pada table yang terdapat di bawah ini.

Jenjang

Kom
ponen
PKP-TD
PKP- TL
PKP-TP
Kelom­pok Sasaran
PKP-TD ditujukan bagi para pemuda yang memiliki minat berwira­usaha atau pemuda yang baru memulai berusaha dengan skala modal 1 (satu) juta sampai dengan 10 (sepuluh) juta.
PKP-TD ditujukan bagi para pemuda yang memiliki minat berwirausaha dan telah melakukan bis­nis dengan skala modal 11 juta sampai dengan 30 juta.
PKP-TD ditujukan bagi para pemuda yang memiliki minat berwirausaha dan telah memiliki usaha/ bisnis dengan skala modal 31 juta ke atas
Tujuan
Peserta pelatihan memahami tentang hakekat dan makna wirausaha, memiliki kemampuan untuk mengenali potensi diri dan lingkungannya, mampu merancang tujuan dan proses optimalisasi potensi diri dan lingkungannya bagi peningkatan taraf hidupnya, mampu mene­tap­kan jenis usaha yang sustainable dan profitable melalui analisis yang rasional dan berdasar kelayakan usaha tertentu
§ Peserta pelatihan memahami tentang hakekat dan makna wirausaha, memiliki kemampuan untuk mengenali potensi diri dan lingkungannya, mampu merancang tujuan dan proses optimalisasi potensi diri dan lingkungannya bagi peningkatan taraf hidupnya, mampu menetapkan jenis usaha yang sustainable dan profitable melalui analisis yang rasional dan berdasar kelayakan usaha tertentu
§ Peserta Pelatihan dapat mengenal pola berpikir wirausaha serta meningkatkan pemahaman manajemen (organisasi, produksi, keuangan dan pemasaran)
§ Peserta pelatihan memahami tentang hakekat dan makna wirausaha, memiliki kemampuan untuk mengenali potensi diri dan lingkungannya, mampu merancang tujuan dan proses optimalisasi potensi diri dan lingkungannya bagi peningkatan taraf hidupnya, mampu menetapkan jenis usaha yang sustainable dan profitable melalui analisis yang rasional dan berdasar kelayakan usaha tertentu
§ Peserta Pelatihan Menguasai cara melakukan akses informasi dan pasar serta teknologi, cara pembentukan kemitraan usaha, strategi dan etika bisnis, serta pembuatan rencana bisnis atau studi kelayakan yang diperlukan pemuda agar lebih siap dalam pengelolaan usaha yang sedang akan dilaksanakan
Materi (minimal)
§ Undang-undang dan Peraturan yang berhubungan dengan dunia usaha di Indonesia
§ Mengenal kemampuan dan kelemahan diri
§ Dasar-dasar kewirausahaan;
§ Konsep diri pemuda;
§ Pengenalan dan cara pengembangan potensi diri;
§ Pengenalan dan cara pengembangan potensi lingkungan;
§ Membangun sikap&mental wirausaha;
§ Analisis dan cara menetapkan jenis usaha
§ cara merancang tujuan dan rencana peningkatan taraf hidup
§ Pola berpikir wirausaha
§ Pemahaman manajemen (organisasi, produksi, keuangan dan pemasaran)
§ Mengenal kemampuan dan kelemahan diri
§ Dasar-dasar kewira­usahaan;
§ Konsep diri pemuda;
§ Pengenalan dan cara pengembangan potensi diri;
§ Pengenalan dan cara pengembangan potensi lingkungan;
§ Membangun sikap&mental wirausaha;
§ Analisis dan cara menetapkan jenis usaha
§ cara merancang tujuan dan rencana peningkatan taraf hidup
§ Konsep dasar AMT (Achievement Motivation Training)
§ Semangat jiwa kewirausahaan (the spirit of entrepre­neurshp)
§ Undang-undang dan Peraturan yang berhubungan dengan dunia usaha di Indonesia
§ Melakukan akses informasi dan pasar serta teknologi
§ Pembentukan kemitraan usaha, strategi dan etika bisnis, serta pembuatan rencana bisnis atau studi kelayakan yang
diperlukan untuk berwirausaha
§ Teknik-teknik Business Forecasting merupakan suatu usaha untuk mendapatkan informasi bisnis di masa depan
§ Penggunaan perangkat dalam bentuk software yang modern sekaligus mudah digunakan
Metode
§ Ceramah..
§ Bermain peran/simulasi.
§ Diskusi.
§ Penugasan/Projeck work..
§ Pemecahan Masalah/Studi Kasus.
§ Observasi/Pengamatan.
§ Presentasi.






§ Permainan bisnis (business game
§ Penanaman Sikap dilakukan melalui pembiasaan dan pemberanian melakukan sesuatu.
§ Pembekalan Teknis
§ Pembekalan pengalaman awal.
§ Pengamatan langsung melalui pemagangan atau studi banding
§ Praktik kerja lapangan
§ Praktikum dan Simulasi wirausaha Pengembangan jaringan usaha
§ Penanaman Sikap,
§ Pembukaan Wawasan,
§ Pembekalan Teknis. pemuda.
§ Pembekalan pengalaman awal.
§ Pengamatan langsung melalui pemagangan atau studi banding
§ Praktik kerja lapangan
Keluaran
Daftar potensi diri masing-masing peserta, daftar potensi lingkungan/tempat tinggal masing-masing peserta, naskah rancangan tujuan dan proses peningkatan income, dan focus jenis usaha peningkatan income.

Daftar potensi diri dan lingkungan, naskah rancangan tujuan dan proses peningkatan income, focus jenis usaha, naskah analisis usaha, naskah perencanaan usaha, pelaksanaan usaha dan pengadministrasian usaha, prosedur teknis produksi komoditas usaha.
Daftar lembaga dan cara melakukan akses informasi dan pasar serta teknologi, naskah cara pembentukan kemitraan usaha, strategi dan etika bisnis, serta naskah rencana bisnis atau studi kelayakan, naskah pengelolaan dan pengembangan usaha.
Waktu
6 (enam) hari atau 60 JP (jam pelajaran)
10 (sepuluh) hari atau 100 JP
15 (lima belas) hari atau 150 JP


C. PERLENGKAPAN DAN BAHAN
Sarana belajar yang digunakan dalam pelatihan kewirausahaan pemuda ini, adalah :
1. Paket alat tulis kesekretariatan.
2. Paket perlengkapan peserta
3. Modul pelatihan
4. Perlengkapan pelatihan antara lain: OHP, papan tulis, pengeras suara, clip board. spidol, kertas lebar, 40 kursi.
5. Ruang belajar
6. Instrumen/ format: biodata, daftar penerimaan peserta, format penerimaan perlengkapan peserta, daftar hadir (peserta, fasilitator, panitia), format penilaian kinerja fasilitator dan peyelenggaraan pelatihan .
7. Tempat praktik/sumber belajar pengelolaan bisnis (inkubasi bisnis).
D. TEMPAT DAN WAKTU
Pelatihan Kewirausahaan Pemuda diselenggarakan di lokasi/ di daerah di mana terdapat komoditas yang akan dikembangkan, dan di lokasi tersebut terdapat kelompok-kelompok wirausaha pemuda (misalnya, kelompok usaha pemuda produktif/ KUPP).
Sedangkan waktunya disesuaikan dengan perputaran musim (jika terkait dengan pengembangan komoditas) dan operasi­onalisasi program Sarjana Penggerak Pembangunan di Perdesaan (SP-3) serta jenjang pelatihan yang akan dilaksanakan.

E. PENYELENGGARA, PELATIH (FASILITATOR),
DAN PESERTA

1. Penyelenggara
Penyelenggara pelatihan terdiri atas pegawai dinas pendidikan/ pemuda provinsi dan kabupaten/ kota yang ditetapkan oleh kepala dinas pendidikan/ pemuda provinsi.
Susunan organisasi penyelenggara disarankan sebagai berikut :
a. Ketua, yang memiliki lingkup tugas antara lain : 1) merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan pelatihan; 2) mengkoor­dinasikan kegiatan persiapan, pelaksanaan dan pelaporan; 3) memimpin dan mengawasi pelaksanaan pelatihan; dan 4) memimpin kegiatan-kegiatan kesekre­tariatan.
b. Sekretaris, yang bertugas antara lain : 1) membantu ketua dalam perencanaan dan pelaksanaan pelatihan; 2) menyelesaikan tugas administrasi dan persuratan dalam hubungannya dengan penyelenggaraan pelatihan; 3) mendoku­mentasikan proses penyelenggaraan pelatihan; 4) menyusun laporan.
c. Bendahara, yang bertugas: 1) membantu ketua untuk melaksanakan pembiayaan pelatihan; 2) menyusun anggaran dan mengajukan kepada ketua untuk diambil keputusan; 3) menyusun pertanggung­jawaban penggunaan anggaran.
d. Bagian Pengajaran&Penilaian, yang bertugas antara lain : 1) bersama pelatih mengembangkan modul/ bahan ajar pelatihan; 2) memantau, mengendalikan dan menilai proses dan hasil pelatihan; 3) menyiapkan sarana dan prasarana di kelas dan tempat praktik; 4) mencatat berbagai kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelatihan.
2. Pelatih
a. Pelatih ditetapkan oleh Kepala Dinas Pendidikan/Pemuda sejumlah sesuai kebutuhan, dengan kualifikasi minimal : 1) berpengalaman melatih secara andragogis; 2) menguasai materi yang akan dilatihkannya; 3) menguasai dasar-dasar kewirausahaan, psikologi pemuda dan pembangunan perdesaan.
b. Pelatih bertugas antara lain bekerjasama di antara sesama pelatih, bekerjasama dengan penyelenggara dan peserta, menyusun modul pelatihan, mengelola pembelajaran, menilai proses dan hasil pembelajaran.
c. Pelatih diusahakan dari lembaga pemerintah, lembaga keuangan dan lembaga usaha dan industri guna memperlancar proses tindak lanjut pelatihan berupa pembinaan implementasi hasil pelatihan oleh peserta di lapangan.

3. Peserta
Peserta pelatihan terdiri atas peserta program/ kegiatan kewirausahaan pemuda atau kelompok usaha pemuda produktif dan sejenisnya, diutamakan yang dibina/ didampingi oleh peserta program Sarjana Penggerak Pembangunan di Perdesaan (SP-3). Setiap kelas/ angkatan tidak lebih dari 40 (empat puluh) peserta. Peserta harus memiliki minat berwirausaha dan telah memulai melakukan usaha.

F. LANGKAH-LANGKAH PENYELENGGARAAN
Pelatihan Kewirausahaan Pemuda diselenggarakan melalui beberapa langkah kegiatan sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi Kebutuhan Pelatihan
Sebelum pelatihan diselenggarakan, dinas pengelola program peningkatan partisipasi pemuda perlu melakukan identifikasi terhadap kebutuhan dan potensi-potensi penyeleng­garaan pelatihan.
Identifikasi kebutuhan pelatihan dimak­sudkan untuk mencari dan menetapkan jenis-jenis kemampuan wirausaha yang harus dimiliki pemuda peserta pelatihan, yang selanjutnya diterjemahkan kedalam materi-materi pela­tihan. Secara umum perkiraan materi pelatihan kewirausahaan pemuda sesuai penjenja­ngannya dijelaskan pada bagian terdahulu. Fungsi identifikasi dalam hal ini adalah mengklarifikasi, memverifikasi dan mendeta­ilkan materi-materi tersebut.
Identifikasi secara khusus dan utama ditujukan untuk menetapkan jenis komoditas usaha yang menguntungkan dilihat dari berbagai aspek, terutama aspek pengembangan kepemudaan dan ekonomi masyarakat desa. Oleh karena itu, identifikasi perlu diawali dengan menelaah rencana pengembangan perekonomian daerah yang tercakup dalam dokumen rencana strategis pembangunan daerah. Dokumen tersebut menggambarkan paling tidak tentang kluster-kluster pengembangan ekonomi produktif berikut jenis-jenis komoditasnya.
Setelah jelas lokasi pengembangan ekonomi produktif yang ditetapkan, maka selanjutnya Dinas perlu merancang program Sarjana Penggerak Pembangunan di Perdesaan (SP-3) ditugaskan pada lokasi tersebut. Juga program-program lainnya yang memiliki mainstream pengembangan kewira­usahaan seperti KUPP perlu dialokasikan untuk memperkuat pengembangan ekonomi produktif di lokasi tersebut.
Hal lain yang perlu diidentifikasi adalah potensi-potensi penyelenggaraan pelatihan kewirausahaan, baik yang positif maupun negative, yang meliputi tenaga ahli (pelatih dan narasumber), permodalan, bantuan sarana, teknologi dan pemasaran. Potensi-potensi tersebut dapat dari perseorangan maupun kelompok dan kelembagaan.
2. Menyusun Desain Pelatihan
Desain pelatihan merupakan bagian dari gran desain (Grand Design) pengembangan kewirausahaan pemuda yang dijabarkan dari rencana pengembangan ekonomi daerah. Oleh karenanya, penyusunan desain pelatihan perlu memperhatikan tujuan dan target yang terdapat pada gran desain di atas.
Desain pelatihan mencakup gagasan dan rencana kerja pelatihan yang berorientasi pada pengembangan kewirausahaan pemuda. Dalam konteks ini, pelatihan diartikan bukan hanya pembelajaran dalam kelas, tetapi termasuk juga pembimbingan dan pendampingan di alam kerja/lapangan. Juga mencakup tiga tahap (level) pelatihan seperti tersebut di atas.
Desain pelatihan paling tidak menguraikan aspek-aspek sebagai berikut :
a. Latar belakang, yang menguraikan data dan alasan mengapa diperlukan pelatihan kewirausahaan pemuda, termasuk di dalamnya alasan tentang pengembangan ekonomi produktif melalui budi daya komoditas tertentu.
b. Dasar pelaksanaan; menguraikan dasar yuridis pelaksanaan pelatihan, meliputi peraturan-peraturan daerah, keputusan-keputusan pejabat daerah.
c. Tujuan pelatihan; menjelaskan tentang kompetensi lulusan/peserta pelatihan, baik berkenaan dengan penguasaan dan pembiasaan sikap/mental kewirausahaan, pengelolaan usaha maupun teknis usaha.
d. Tujuan pelatihan dirumuskan sesuai penjenjangan pelatihan kewirausahaan pemuda.
e. Materi pelatihan; menguraikan tentang materi atau substansi yang akan dilatihkan kepada peserta pelatihan, sehingga mereka menguasai kompetensi-kompetensi lulusan yang telah dirancang dalam tujuan pelatihan. Materi pelatihan berkisar pada kebijakan-kebijakan pemerintah tentang kewirausahaan pemuda, teori dan aplikasi/ pengalaman wirausaha dan teknik atau kiat-kiat sukses berwirausaha.
f. Materi pelatihan disusun dalam sesi-sesi yang sikuentif dan sistematis dengan alokasi waktu tiap sesi 45 sampai dengan 90 menit.
g. Metode dan teknik pelatihan; menguraikan tentang metode pelatihan yang akan digunakan berikut teknik-teknik pembelajarannya. Metode pelatihan yang disarankan adalah pembelajaran di kelas, pembiasaan dan pelatihan di lapangan melalui belajar dari pengalaman dan pemecahan masalah.
h. Pemilihan metode dan teknik pembelajaran perlu memperhatikan penjenjangan pelatihan kewirausahaan pemuda, agar proses pelatihan menjadi segar dan menyenangkan bagi peserta.
i. Sarana dan prasarana pelatihan; menguraikan tentang gedung tempat latihan dan alat-alat, perlengkapan serta media-media belajar yang akan digunakan dalam pelatihan. Untuk sarana perlu mempertimbangkan setiap peserta pelatihan menggunakannya dengan leluasa dan aman, terutaama pada penetapan alat-alat praktik.
j. Pelatih dan Panitia; menguraikan tentang kualifikasi dan tugas pelatih serta panitia. Pelatih dipilih dari lembaga atau individu yang kompeten di bidangnya serta memiliki jaringan yang kuat dan luas tentang permodalan, pemasaran dan bantuan teknis usaha.
k. Peserta pelatihan; menguraikan tentang profil, kualitikasi dan tugas peserta pelatihan. Juga mencakup jumlah dan asal daerah/ lembaga peserta. Dirancang pula pengelompokkan peserta dalam pembelajaran dan penerapan hasil belajarnya di lapangan.
l. Waktu dan Tempat pelatihan; menjelaskan tentang lokasi pelatihan berikut nama tempat dan alamatnya, lama waktu pelatihan, mulai tanggal berapa, bulan apa sampai dengan tanggal dan bulan berapa.
m. Prosedur dan jadwal pelatihan; mendeskripsikan tentang langkah-langkah sekwentif yang akan dilakukan, mulai tahap perencanaan, pelaksanaan dan penilaian serta tindak lanjut. Tahap-tahap kegiatan tersebut diuraikan dalam jadwal kerja pelatihan. Jadwal kerja menginformasikan tentang kegiatan, waktu, tempat dan petugas yang melaksanakan kegiatan tersebut.
n. Biaya; menguraikan tentang pos-pos pembiayaan dan jumlah biaya serta sumber pembiayaan.
3. Menyusun Kurikulum Pelatihan
Kurikulum pelatihan disusun sebagai penjabaran tujuan dan materi pelatihan yang tercantum dalam desain.
Kurikulum disusun dalam bentuk matrik Garis Besar Program Pelatihan (GBPP) yang mencakup : a. Pokok bahasan/ sub pokok bahasan; b. Tujuan pembelajaran; c. Sillabi (pokok-pokok materi); d. Metode belajar; e. Media belajar; f. Teknik evaluasi; dan g. Waktu.
Kurikulum pelatihan pada dasarnya merupakan skenario penyajian materi dalam pelatihan, yang berfungsi memandu pelatih dan panitia dalam memproses pembelajaran dalam pelatihan. Kurikulum akan menjelaskan tentang urutan materi-materi, apa yang harus dilakukan pelatih, apa isi bahan belajar yang harus disiapkan pelatih, dan rangkaian antarkeluaran dari setiap pembelajaran sehingga mewujudkan keluaran akhir pelatihan.
4. Menyusun Bahan Belajar
Bahan belajar perlu disiapkan oleh panitia penyelenggara pelatihan, dengan cara pertama menetapkan nama-nama pelatih yang dilibatkan dalam pelatihan; kedua melakukan diskusi dengan seluruh pelatih untuk mengorientasi mereka tentang pelatihan kewirausahaan pemuda yang akan dilaksanakan dan peran mereka dalam pelatihan tersebut; ketiga meminta tiap pelatih bertanggung jawab terhadap materi yang ditugaskan kepadanya, termasuk menyiapkan bahan belajar dan alat evaluasi. Dalam hal pembuatan bahan belajar perlu disepakati format dan sistematika penulisan, agar mengesankan keseragaman.
5. Mengadakan persiapan pelatihan.
Hal – hal yang perlu dipersiapkan berkenaan dengan pelatihan, setelah desain, kurikulum dan bahan belajar ada adalah yang terkait dengan akomodasi, logistik dan persuratan. Paling tidak kegiatan-kegiatan berikut perlu dilakukan dalam rangka persiapan pelatihan kewirausahaan pemuda :
a. penyiapan tempat pelatihan, termasuk tempat menginap (jika dirancang untuk menginap), tempat praktik dan tempat/ gedung untuk kegiatan belajar dalam kelas.
b. penyiapan surat-surat dan administrasi lainnya, antara lain:
1) surat panggilan untuk peserta pelatihan. Dalam surat ini minimal harus tercakup tentang nama pelatihan, waktu dan tempat pelatihan, jadwal pelatihan, persyaratan atau bahan-bahan yang harus dipersiapkan/dibawa oleh peserta.
2) surat undangan pembukaan pelatihan untuk pejabat dan mitra serta pelatih dan narasumber;
3) surat permohonan tenaga pelatih/ narasumber pelatihan;
4) surat-surat keputusan pejabat (kepala dinas) tentang susunan kepanitiaan, pelatih dan peserta pelatihan;
5) daftar hadir, blanko data pribadi peserta dan pelatih;
6) blanko pemantauan proses pelatihan;
7) blanko pendaftaran.
c. pengadaan alat tulis kantor (ATK) pelatihan dan perlengkapan keperluan peserta dan pelatih (training kit).
d. Perbanyakan bahan-bahan belajar dan alat evaluasi.
e. Mengadakan rapat akhir persiapan pelatihan.
f. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengecek dan memeriksa segala kelengkapan peralatan dan bahan serta kesiapan tenaga pelatih, panitia dan narasumber. Melalui kegiatan ini dapat diketahui dan diambil tindakan untuk hal-hal yang diketahui masih belum optimal disiapkan.
6. Melaksanakan Pelatihan
Pelaksanaan pelatihan kewirausahaan pemuda dimulai dengan pendaftaran peserta dan pelatih/ narasumber, menempatkan mereka di penginapan yang disiapkan, membagikan training kit, mengondisikan pelatih, mengadakan upacara pembukaan, menjelaskan proses dan hasil pelatihan kepada peserta, mengadakan test awal, mengolah dan menginformasikan hasil test awal kepada pelatih, mengatur pelatih sesuai jadwal, memantau proses pembelajaran yang dikreasikan pelatih, mengondisikan review harian untuk menilai kemajuan pembelajaran, menilai proses dan hasil pelatihan, merancang kegiatan tindak lanjut, dan diakhiri dengan upacara penutupan serta penjelasan kegiatan tindak lanjut pelatihan.
7. Menyusun Laporan
Laporan penyelenggaraan pelatihan kewira­usahaan pemuda perlu disusun sebagai pertanggungjawaban penyelenggara dan untuk memberikan informasi menyeluruh tentang proses dan hasil penyelenggaraan pelatihan kepada pihak-pihak yang berkompeten. Laporan seyogyanya disusun bersamaan pada saat pelaksanaan pelatihan, sehingga diharapkan pada saat upacara penutupan draft laporan sudah berwujud.
Sistematika laporan disarankan sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, menguraikan latar belakang, tujuan, dasar dan ruang lingkup laporan;
Bab II Pelatihan Kewirausahaan Pemuda, menguraikan tentang komponen-komponen pelatihan seperti tujuan, sarana, peserta, pelatih, waktu, tempat, biaya dan sebagainya.
Bab III Proses dan Hasil Pelatihan, menguraikan tahapan-tahapan penyelengga­raan pelatihan berikut hasil yang diperolehnya, baik hasil per tahapan maupun hasil akhir pelatihan.
Bab IV Kesimpulan dan Saran, menguraikan masalah-masalah yang muncul dan usaha-usaha pemecahannya, kesimpulan pelatihan dan saran-saran yang diajukan untuk memperbaiki hasil pelatihan di lapangan dan penyelenggaraan pelatihan serupa di masa yang akan datang.
Laporan juga perlu menampilkan profil peserta, pelatih dan panitia serta gambaran kurikulum dan bahan belajar yang diberikan dalam pelatihan. Hal-hal tersebut ditampilkan dalam lampiran.
8. Menyusun Rencana Tindak Lanjut
Rencana tindak lanjut berisi kegiatan–kegiatan untuk memperkuat implementasi hasil pelatihan oleh peserta di lapangan. Kegiatannya berupa pembimbingan dan pendampingan terhadap peserta dengan area dampingan meliputi pembiasaan prilaku wirausaha, perencanaan usaha, pembukuan usaha, membangun dan menjalin kemitraan usaha, pemupukan modal usaha, kerjasama teknis usaha dan pemasaran hasil usaha.
Tindak lanjut pada kenyataannya dilaksanakan secara kerjasama dengan instansi pemerintah dan lembaga usaha dan industri serta lembaga keuangan. Oleh karena itu, dalam rancangan tindak lanjut perlu dibangun kerjasama dan sinergi program dengan mereka sejak awal.

G. BIAYA
Sumber biaya berasal dari anggaran pemerintah pusat dan daerah serta anggaran swasta yang tidak mengikat. Jumlahnya disesuaikan dengan standar harga satuan setempat. Pos-pos pembiayaan dan besarannya mengacu pada peraturan dan petunjuk teknis yang dikeluarkan pemerintah.

H. PEMANTAUAN, PENILAIAN, PEMBINAAN DAN PELAPORAN
1. Pemantauan
Pemantauan pelatihan merupakan kegiatan yang melekat dengan pelaksanaan proses pelatihan. Pemantauan adalah kegiatan untuk melihat/ mengamati proses pelatihan, terutama interaksi peserta dengan peserta, peserta dengan pelatih, pelatih dengan pelatih dalam pembelajaran dan pengaktualisasian sikap dan perilaku wirausaha.
Pemantauan dilaksanakan oleh petugas khusus dari kepanitiaan dengan menggunakan alat/ instrument yang telah disiapkan sebelumnya. Instrumen pemantauan harus dapat merekam/ mencatat semua kegiatan yang dilakukan pelatih dan peserta dalam pembelajaran. Rekaman/catatan hasil pemantauan merupakan masukan utama bagi kegiatan penilaian proses pelatihan.
2. Penilaian
Penilaian secara sederhana dapat dimaknai suatu usaha membandingkan antara kenyataan yang terjadi dengan proses atau tujuan pelatihan yang telah dicanangkan. Dalam pelatihan kewirausahaan pemuda penilaian dilakukan terhadap pencapaian tujuan-tujuan tiap mata latih dan tujuan akhir pelatihan. Untuk menilai kemampuan/ pemahaman awal peserta terhadap materi-materi pelatihan dapat dilakukan dengan pre test .
Penilaian perlu dirancang dengan menggunakan instrument dan petugas yang adil. Oleh karena itu, penilaian perlu menggunakan indicator dan ukuran yang tegas dan jelas.
Teknik-teknik penilaian yang digunakan meliputi test dan portopolio. Secara urutan penilaian dilakukan setelah hasil pemantauan diperoleh.
3. Pembinaan
Pembinaan adalah usaha untuk memperbaiki proses pelatihan dan pencapaian tujuan pelatihan yang tidak sesuai dengan scenario pelatihan yang dirancang. Pembinaan dilakukan secara rutin harian atau insidental. Pembinaan harian berupa pertemuan panitia, pelatih untuk mereview hasil dan proses pelatihan untuk kemudian memperbaikinya dengan rencana-rencana perbaikan yang disepakati.
Pembinaan pelatihan kewirausahaan pemuda juga dilakukan dalam implementasi hasil pelatihan oleh peserta di lapangan nyata dalam bentuk pendampingan.
4. Pelaporan
Mengelola data dan melaporkan hasil pemantauan, penilaian dan pembinaan selama proses pelaksanaan pelatihan kewirausahaan pemuda dan hasil nyata yang dinikmati oleh peserta pelatihan merupakan inti kegiatan pelaporan.
Pelaporan dilakukan secara berjenjang dari tingkat kabupaten/ kota ke tingkat provinsi dan selanjutnya ke tingkat pusat.

I. TINDAK LANJUT
Setelah laporan selesai disusun, maka kegiatan berikutnya adalah merencanakan dan melaksanakan tindak lanjut pelatihan. Bentuk kegiatannya minimal mencakup 4 (empat) kegiatan sebagai berikut.
1. Evaluasi dampak dari pelatihan.
Kegiatan ini dilakukan minimal 4 (empat) bulan setelah pelatihan dilaksanakan, bertujuan untuk mengukur dan menilai apakah pelatihan yang telah dilakukan mempunyai dampak terhadap penguasaan kewirausahaan pemuda dan terhadap pendapatan pemuda dan masyarakat sekitarnya. Dampak ini bisa bersifat negatif dan positif. Evaluasi dampak dilakukan oleh tim independen untuk menjamin obyek­tivitas.
2. Penguatan implementasi hasil pelatihan berupa bimbingan teknis.
Sejak penilaian akhir pelatihan, tingkat penguasaan materi pelatihan oleh masing-masing peserta telah diketahui. Bahkan setelah dilakukan evaluasi dampak makin jelas siapa-siapa yang harus dibina lebih lanjut pasca pelatihan dan siapa-siapa yang harus diberikan perlakuan khusus. Oleh karena itu, bimbingan teknis kepada setiap peserta menjadi mutlak dilakukan, agar terjamin proses implementasi hasil peltihan oleh peserta, yang pada akhirnya terjamin pula terciptanya wirausahawan-wirausahawan yang tangguh.
3. Pemberian bantuan modal
Salah satu pembinaan pasca pelatihan kewirausahaan adalah pemberian bantuan modal, karena wirausahawan pemula sangat membutuhkannya. Oleh karena itu, skema pembantuan modal perlu dirancang sebagai bagian tidak terpisahkan dalam sistem penyelenggaraan pelatihan kewira­usahaan pemuda.
4. Penguatan jaringan pemasaran
Hal penting lainnya untuk pembinaan paska pelatihan terhadap alumnus pelatihan kewirausahaan pemuda adalah menciptakan iklim kondusif bagi penguatan jaringan pema­saran yang lebih luas yang dilakukan oleh alumnus.






PENUTUP

Pedoman penyelenggaraan pelatihan kewira­usahaan pemuda merupakan salah satu acuan dalam penyelenggaraan pelatihan kewirausahaan pemuda. Harapan yang muncul semoga pedoman ini benar-benar memberikan petunjuk atau acuan bagi para penye­lenggara pelatihan di daerah, sehingga tujuan menggerakkan GNKP yang salah satunya melalui pelatihan dapat dicapai lebih cepat.
Dalam menerapkan pedoman ini, pihak penye­lenggara di daerah dapat melakukan penye­suaian dan modifikasi sesuai dengan situasi dan kondisi daerah yang menyelenggarakan, dengan tidak mengurangi sedikit pun tujuan pelatihan yang tercantum di dalam pedoman.

DAFTAR PUSTAKA
BPKB Jayagiri, Depdikbud. (1999). Pelatihan Tutor Bidang Studi Paket B Terpadu Dengan Pendidikan Mata Pencaharian. Bandung: BPKB Jayagiri.

BP-PLSP Regional II Jayagiri. (2005). Panduan Pengelolaan Program Pemberdayaan Pemuda Melalui Manajemen PKBM. Ditjen PLS, Depdiknas. Bandung.

Eddie Davies. (2005). The Art of Training and Development, The Training Manager’s a Handbook (terjemahan). P.T. Gramedia: Jakarta.

Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga RI. (2005). Rencana strategis tahun 2005-2009. Jakarta.

Malcolm Tight. (2002). Key Concept in Adult education and training 2nd Edition, Routledge Falmer. London.

Manzoor Ahmed, Philips H. Coombs. (1973). Memerangi kemiskinan di Pedesaan Melalui Pendidikan Nonformal. Publikasi Bank Dunia.

Moch. Syamsuddin, dkk. (2000). Mengenal dasar-dasar Wirausaha. Bandung: BPKB Jayagiri.

________________, (2000). Mengenali Potensi Wirausaha. Bandung: BPKB Jayagiri.

Kamis, 04 September 2008

PENGALAMANKU TENTANG “UPETI” DAN SEJENISNYA

Upeti, tanda terima kasih, atau bahkan sogokan pernah penulis alami, yaitu sebagai berikut:
1. Saat penulis lulus SD untuk masuk ke SMP. Setelah mendaftar ikut ujian saringan pada salah satu SMP terdekat, selang beberapa hari seorang guru SMP tersebut mendatangi orangtua saya dan menginformasikan pemastian kelulusan saya, bisa diterima di SMP tersebut asal bersedia membayar beberapa puluh ribu rupiah. Dia berdalih karena banyaknya peminat, walau nilai ijazah saya bagus. Setelah saya mendengar hal itu dari ibu saya, saya langsung memutuskan agar ibu saya tidak mengikuti keinginan orang tadi, dan memohon kepada kepala SD untuk membantu saya mendaftarkan ke Sekolah Teknik Negeri (STN). Dengan bantuan kepala sekolah dan seorang guru STN yang juga tetangga, saya didaftarkan di STN tersebut. Akhirnya setelah ujian saringan, saya dinyatakan lulus dengan nilai terbaik pertama untuk tingkat kabupaten.
2. Saat penulis lulus STN untuk melanjutkan ke STM. Hampir sama kasusnya dengan pengalaman masuk SMP. Orang tua saya harus menyediakan sekian ratus ribu rupiah untuk menjamin kelulusanku pada ujian saringan masuk STM Negeri. Akhirnya saya memindahkan tujuan lanjutan studi saya, dari STM Negeri ke STM Pelayaran/Perikanan (kemudian berganti nama menjadi SMT-Pertanian Jurusan Perikanan Laut), karena saat itu walau banyak pesaing-saya yakin mampu menang dalam persaingan masuk SMT-Pertanian tersebut. Nilai raport dan STTB saya saat itu siap bersaing dengan yang lain. Dan yang lebih penting tidak pakai uang sogokan/pelicin.
3. Saat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Saat saya lepas/lulus SMTP, saya melanjutkan ke perguruan tinggi perikanan di Jakarta, tetapi karena tidak ’mood’, perkuliahan hanya berlangsung 5 (lima) bulan saja-kemudian drop out. Selanjutnya pada tahun ajaran berikutnya saya mendaftar ke IKIP dengan 2 (dua) pilihan jurusan, yaitu Jurusan Bahasa Inggris dan Jurusan Pendidikan Luar Sekolah. Pada saat mendaftar saya tak paham apa itu pendidikan luar sekolah. Saya hanya mengikuti saran petugas penerima pendaftaran saat itu. Akhirnya saya diterima sebagai mahasiswa IKIP Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, program satu tahun (Diploma).
Karena program diploma itulah saya langsung menjadi CPNS. Saya memahami program tersebut sebagai penyiap tenaga PLS setelah menjalani kuliah bebrapa bulan. Setelah manjadi CPNS, sekira 8 bulan saya dipanggil juru bayar gaji kantor saya. Juru bayar memberikan rapel gaji CPNS saya selama 8 bulan sembari mengatakan bahwa jumlah uang gaji saya sudah dipotong sekian rupiah untuk keperluan pengurusan rapel. Belum sempat saya tandatangani bukti pengambilan gaji, demi mendengar penjelasan Juru Bayar tadi, saya urungkan menerima gaji ”hak” saya itu. Saya katakan,”Mohon maaf, saya tidak bisa dan tidak biasa menerima hak saya dengan cara seperti ini. Jika pun mau berikan kepada saya seutuhnya hak saya, insyaAllah saya pun akan berterima kasih dengan memberikan sebagiannya kepada pihak-pihak yang telah mengusahakan sampainya hak saya tersebut, termasuk kepada bapak”. Tanpa menunggu jawaban, saya keluar dari ruangan Juru Bayar Gaji. Sejak saat itu sampai kira-kira tiga bulan kemudian saya tidak menerima gaji/hak saya. Akhirnya dengan kebijakan Kepala kantor, pada bulan kedua belas saya menerima rapel gaji utuh. Sesuai niat awal, saya keluarkan sebagian dari rapel itu dan diberikan kepada Juru Bayar untuk disampaikan kepada mereka yang ”berjasa”. Tak lupa 2,5 % untuk zakat tetap saya keluarkan.
4. Suatu ketika, karena lupa pakai sabuk pengaman, mobil yang saya kendarai diberhentikan polisi yang sedang ’razia’. Saya berhentikan mobil, kemudian seorang polisi menghampiri dan menunjukkan kelalaian istri saya-yang duduk di sebelah saya, dan saat itu baru memasangkan/menggunakan sabuk pengaman. Polisi menyatakan, bahwa saya harus ”ditilang”, tetapi ia pun menawarkan opsi lain, yaitu ”perdamaian”. Secara manusiawi saya ikuti opsi perdamaian itu, dan membayar duapuluh ribu rupiah. Karena saya memerlukan secepatnya saya lepas berurusan dengan polisi dan seterusnya.
5. Pengalaman yang sangat segar adalah pada tahun 2008, lembagaku ditugaskan untuk menyalurkan bockgrant tentang pendidikan kecakapan hidup dan kursus para profesi. Saya dipercaya sebagai salah seorang anggota tim penilai proposal yang dibuat para pengusul. Dalam proses penilaian itu, saya dan teman-teman sekelompok memberikan juga pembimbingan agar proposal menggambarkan kegiatn pembelajaran yang semestinya dan mengikuti sistematika dan prosedur kerja yang dituntut pedoman penyaluran blockgrant. Dalam proses pembimbingan itulah terjadi dialog-dialog nakal yang sering dilontarkan para pengusul,
misalnya :
- ”Baiklah pak, saya akan ikuti pedoman, tapi bagaimana kalau bapak dan teman- teman bapak saja yang memperbaiki proposal, nanti kami paham konsekwensinya”;
- ”Bapak tenang saja, nanti kalau bapak ke lapangan kami akan service bapak”.
- ”Bapak, nanti kalau proposal saya lolos, biasanya berapa persen yang harus saya siapkan untuk bapak dan kawan-kawan?”.
Dalam proses pembimbingan saya dan kawan-kawan sering juga menggunakan telepon. Dan kami menangkap suara-suara aneh, seperti : ”Dia sedang melakukan ’deal-deal’ dengan para pengusul proposal”.
Saya memahami kondisi munculnya dialog nakal dan suara aneh itu, karena selama ini iklim yang sering terbangun adalah seperti itu. Pejabat (penilai, pemberi blockgrant) merasa berjasa telah ”meloloskan” dan mengucurkan blockgrant kepada pengusul. Sementara para pengusul yang proposalnya lolos merasa perlu berterimakasih atas keberhasilannya kepada mereka (pejabat) yang dipersepsikan membantu keberhasilan itu. Bahkan yang lebih parah daripada kodisi di atas pernah penulis baca, yaitu kolusi negatif antara pejabat pemberi blockgrant dengan pengusul, sedangkan programnya sendiri fiktif. Secara administratif nampak ada, kenyataannya tak ada.
Demi menjawab dan mengantisipasi kondisi buruk tersebut, saya mengajak teman-teman penilai dan para pengusul di tengah-tengah bimbingan atau di awal pembimbingan proposal membuat 3 (tiga) komitmen, yaitu :
a. Apa-apa yang kita fikirkan, rasakan dan lakukan terkait dengan program kerjasama antara pengusul dengan kami selalu diawasi Allah SWT, Dzat yang maha melihat;
b. Anggaran program blockgrant dan digunakan untuk mereka yang berhak, yaitu kelompok sasaran sesuai pedoman.
c. Program diselenggarakan berdasar aturan dan pedoman penyaluran blockgrant.
Kendati telah diusahakan untuk tidak terjadinya kondisi buruk tersebut, pada kenyataannya masih terjadi beberapa pernyataan dan kejadian berikut:
- ”Maaf ya untuk teman-teman Bidang Kajian (NB. Penilai proposal) kami (paguyuban penerima blockgrant) tidak mengalokasikan ”tanda terima kasih” secara khusus seperti alokasi untuk ”pejabat”.
- Seorang anggota (pembantu) tim penilai menerima ”titipan uang” untuk saya, dari salah satu penerima blockgrant. Saya katakan kepada pemberi melalui anggota itu, bahwa saya/kami tak menerima uang itu, kami membimbing perbaikan proposal semata-mata untuk melayani rakyat, dan tidak mengharapkan terima kasih dalam bentuk uang atau pemberian lainnya. Kami akan sangat senang jika program berjalan mencapai tujuan dan target sesuai proposal. Karena memaksa, dengan menginformasikan kepada pemberi uang itu akhirnya disalurkan kepada lembaga amil zakat dan infaq terdekat.
- Beberapa penerima blockgrant menghadiahkan makanan khas daerahnya.

Belajar dan mengacu pada pengalaman – pengalaman di atas, sikap diri yang harus dimiliki, dikembangkan dan dipegang teguh adalah kita mulai dari diri kita sendiri untuk menolak dan tidak melakukan kegiatan yang menjurus Upeti, gratifikasi, ssogok-menyogok dan sejenisnya, apalagi korupsi dan manipulasi.