Senin, 01 Oktober 2018

APA KIRANYA YANG HILANG?

Pendidikan zaman now. Demikian kiranya yang sering kita dengar dalam keseharian terkini.
Pendidikan di sekolah, mulai TK, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan sejenisnya hingga di satuan pendidikan yang non formal dan Perguruan Tinggi. Termasuk di pendidikan dalam format pelatihan, workshop, ceramah umum, penyuluhan, bahkan pengajian umum, dengan semakin "cerdas"nya media dan semakin terbukanya informasi publik sering kita memperoleh kabar tentang kejadian - kejadian "aneh" di tempat atau satuan - satuan pendidikan tersebut.
Apa yang dimaksud kejadian "aneh"?. Yaitu, kejadian yang bertolak belakang dengan nilai - nilai universal kependidikan. Misalnya, ada orang tua melaporkan guru ke pihak kepolisian, hanya gara - gara anaknya dijewer oleh guru tersebut saat belajar di kelas. Ada lagi yang aneh lainnya, seorang guru merasa bangga saat nilai ulangan para muridnya dibawah standar. Dia merasa menjadi guru yang pintar. Ada lagi, para murid berkelahi atau "tawuran" dengan murid dari sekolah lainnya.
Keanehan - keanehan itu menurut para senior saya tidak terjadi pada pendidikan zaman lama. Mengapa sekarang terjadi?. Nampaknya, ada sesuatu yang hilang dalam pendidikan zaman now.
Apa gerangan yang hilang atau paling tidak berkurang?.......
Belajar dari prilaku yang ada saat ini, baik dari guru maupun dari murid, dan berpedoman pada pandangan mendasar dari IMAM MALIK bin ANAS rahimahumallah, maka yang hilang atau berkurang itu adalah Ikhlash atau Nilai Ikhlash dari para guru dan para murid.
Menurut Imam Malik rahimahullah bahwa pendidikan bermutu yang menghasilkan lulusan berahlaq dan berprestasi unggul, bahkan berdampak pada terciptanya keunggulan berikutnya adalah pendidikan yang diproses oleh guru dan murid yang sama - sama ikhlash. Mereka melakukan pendidikan dengan semata - mata hanya karena pengabdian kepada Allah Dzat Pencipta dan Penggerak Pendidikan tersebut.
Benarkah keikhlasan telah hilang atau berkurang dari dalam proses pendidikan zaman now?.
Jawabannya.........masing - masing kita bisa mengamatinya di lapangan.

AM-3 dalam pendidikan anak

Tulisan ini didorong oleh kegelisahan dan kekhawatiran saya terhadap fenomena yang semakin meruah dalam praktek pendidikan di sekitar atau di seantero Nusantara tercinta.
Bagaimana tidak khawatir, ketika ada fakta beberapa orang guru dilaporkan oleh orangtua murid ke pihak kepolisian, karena guru yang bersangkutan memarahi murid yang sulit berdisiplin. Fakta lain mengemuka semakin banyak guru yang protes bahkan berdemonstrasi menuntut hak - haknya (honor) kepada pemerintah.
Setelah mengamati kemudian merenung dan menganalisis saya berkesimpulan bahwa semua itu terjadi akibat materi pendidikan kita pada saat ini  lebih menonjolkan materi yang bersifat pengetahuan (ilmu pengetahuan) daripada yang bersifat sikap dan kecakapan/keterampilan. Kondisi ini memang tengah diperbaiki oleh pemerintah dengan meluncurkan kurikulum 2013 (K-13) yang antara lain bercirikan kesatuan sikap, pengetahuan , dan keterampilan dalam setiap pembelajarannya. Ciri lainnya adalah setiap pembelajaran harus mengandung dan memacu K-4 (kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif) murid dan guru.
Selama 5 tahun (2014 - 2018) K-13 disosialisasikan dan diimplementasikan pada semua satuan dan kegiatan pendidikan, namun gejala ke arah meningkatnya sikap dan prilaku baik (minimal sopan santun) belum kelihatan massiv.
Belajar dari dakwah Muhammad Rasulullah SAW, maka saya memformulasikan bahwa pendidikan akan effektif dan menghasilkan murid berprilaku baik (positif), jika materi pendidikan dikemas dalam tiga tingkatan, yaitu Pertama, materi tentang Aqidah atau keimanan atau keyakinan akan kemampuan dan kelemahan dirinya yang bersumber dari Kekuasaan dan Kehendak (Qudrat - Iradat) Allah Dzat Maha Pencipta. Dengan demikian, materi awal pendidikan adalah tentang Aqidah, kekuatan mental spiritual untuk menghasilkan insan (murid) yang aqidahnya mantap. Inilah yang saya sebut AM-1 (aqidah mantap). Setelah aqidah para murid mantap, maka baru berlanjut pada tingkat materi kedua, yaitu materi tentang ahlaq mulia. Pada konteks tulisan ini saya sebut dengan AM-2 (ahlaq mulia). Materi yang berkisar ahlaq atau adab seorang manusia terhadap Allah, ahlaq manusia terhadap dirinya, ahlaq manusia terhadap sesama manusia, ahlaq manusia terhadap mahluq lainnya akan menjadi wahana implementatif dari aqidah yang telah dimilikinya. Selanjutnya, dengan landasan aqidah mantap dan ahlaq mulia, pendidikan selanjutnya memproses amal yang bermanfaat dan maqbul (diterima oleh Allah SWT). Materi tentang amal yang bermanfaat dan maqbul merupakan materi tingkat ketiga, olehnya saya sebut AM-3. Dengan amal yang bermanfaat (dan maqbul) sudah barang tentu didasari ilmu dan teladan mulia dari Muhammad SAW.
Akhirnya, pendidikan masa kini harus AM-3, yaitu AM-1 (aqidah mantap), AM-2 (ahlaq mulia), dan AM-3 (amal manfaat & maqbul).
Selorohnya...... Pendidikan cukup dengan AM, AM, AM.             

BaCeM


Sebagaimana dilansir World Economic Forum (WEF) pada akhir September 2018 (26/09), sebanyak 137 negara masuk dalam daftar GCI (Global Competitiveness Index, index daya saing global) tahun ini dan Indonesia bertengger di peringkat 36. Peringkat ini merupakan peningkatan dari peringkat tahun sebelumnya yang menempatkan Indonesia di posisi 41. Apa ini maknanya?.
Sebelum memaknai lansiran itu, saya perlu menginformasikan apa yang dimaksud GCI?.

Global Competitiveness Index (GCI) merupakan laporan tahunan yang telah disusun oleh Executive Chairman WEF, Professor Klaus Schwab sejak tahun 1979. Metode tersebut kemudian dikembangkan di tahun 2005 oleh Xavier Salai Martin dan sejak saat itu metode dan berbagai hasil laporan GCI ditemukan dan diumumkan. 
Untuk laporan tahun 2017-2018 ini, WEF mengungkapkan bahwa pihaknya menggunakan 12 pilar untuk mengukur daya saing yang menjadi penentu dari pertumbuhan jangka panjang dan faktor esensial dalam pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. 12 pilar tersebut adalah Insitusi (Insitutions), Infrastruktur (Infrastructure), Lingkungan Makroekonomi (Macroeconomic Environment), Kesehatan dan Pendidikan Primer (Health and Primary Education), Pendidikan Tinggi dan Pelatihan Peterampilan (Higher Education and training), Efisiensi pasar barang (Goods Market Efficiency), Efisiensi pasar tenaga kerja (Labour Market Effiency), Pengembangan pasar Finansial (Financial market development), Kesiapan Teknologi (Techological readiness), Besaran pasar (Market Size), Kepuasan berbisnis (Business Sophistication) dan Inovasi (Innovations).
Indonesia meningkat tingkat/index daya saingnya, dari 41 di tahun 2016-2017 menjadi 36 pada 2017-2018 berkat kerja keras semua pihak yang dikomandoi oleh pemerintah. 
Dalam suatu wawancara, Jusuf Kalla mengungkapkan bahwa daya saing itu sebenarnya mudah meningkatkannya, yaitu kita harus menjamin kepastian bahwa produk atau jasa Indonesia adalah lebih baik, lebih cepat, dan lebih murah. Secara mutu harus lebih baik dari produk/jasa lainnya. Secara pelayanan harus lebih cepat, dan secara harga harus lebih murah.
Ketiga indikator persaingan (daya saing) tersebut, kemudian saya singkat dengan kata BaCeM (bacem adalah jenis pengolahan kuliner tertentu di Jawa Barat, seperti Tempe bacem, tahu bacem).
Jadi saat kita berfikir dan bekerja berdaya saing tinggi harus menghasilkan produk/jasa yang mutunya lebih baik, pelayanannya lebih cepat, dan harganya lebih murah daripada produk/jasa pihak lain.