Rabu, 27 Juli 2011

MEMBANGUN KEMANDIRIAN BANGSA MELALUI PNF


MEMBANGUN KEMANDIRIAN BANGSA MELALUI PENGUATAN PENDIDIKAN NON-FORMAL.
(Ditulis oleh : Prof. Dr. Mustafa Kamil (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar UPI Bandung, 18 Maret 2011)

Pendidikan non-formal sebagai bagian dari sistem pendidikan memiliki tugas sama dengan pendidikan lainnya (pendidikan formal) yakni memberikan pelayanan terbaik terhadap masyarakat. Layanan alternatif yang diprogramkan di luar sistem persekolahan tersebut bisa berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan atau pelengkap pendidikan formal sistem persekolahan. Sasaran pendidikan non-formal yang semakin beragam, tidak hanya sekedar melayani masyarakat miskin, masyarakat yang masih buta pendidikan dasar, masyarakat yang mengalami drop out dan putus pendidikan formal, masyarakat yang tidak terakses pendidikan formal seperti; suku terasing, masyarakat daerah pedalaman, daerah perbatasan, dan masyarakat pulau luar. Namun demikian masyarakat sasaran pendidikan non-formal terus meluas maju sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perkembangan lapangan kerja dan budaya masyarakat itu sendiri. Mengingat sasaran tersebut, maka program pendidikan non-formal harus terus diperluas sesuai dengan kebutuhan dan kondisi perkembangan masyarakat. Pada prinsipnya perluasan kegiatan/program pendidikan non-formal harus sejalan dengan pemikiran baru tentang konsep belajar (learning), di mana belajar yang terkesan hanya berlangsung di sekolah (formal) kurang tepat lagi dan mulai bergeser ke luar setting persekolahan. Belajar harus dipandang sama dengan “living, and living itself is a process of problem finding and problem solving”. We must learn from everything we do, we must exploit every experience as a learning experience. Every institution in our community—government on non-government agencies, stores, recreational places, organizations, churches, mosques, fields, factories, cooperatives, associations, and the like becomes resources for learning, as does every person we access to parent, child, friend, service, provider, docter, teacher, fellow worker, supervisor, minister, store clerk, and among ethars, Learning means making use of every resources-in or out of educational institutions-for our personal growth and development. Even the word is regarded as a classroom.(Knowles, 1975).
Perubahan, pengembangan dan perluasan pendidikan non-formal memberikan suatu apresiasi dan nuansa baru terhadap cara-cara pendidikan non-formal dalam menyediakan pendidikan bagi masyarakat, terutama orang dewasa, baik bagi mereka yang tidak memiliki akses kepada pendidikan formal maupun mereka yang pendidikan formalnya terbukti tidak memadai dan tidak relevan dengan kehidupan dan situasi yang berkembang di lingkungannya (masyarakat).
Proses pembangunan menuntut partisipasi jutaan orang dewasa yang terdidik, sementara lembaga pendidikan formal yang ada tidak mampu mengakses permasalahan- permasalahan pendidikan di tengah-tengah masyarakat. Di daerah-daerah tertentu sejumlah penduduk menemukan bahwa sistem pendidikan persekolahan tidak mampu membekali keterampilan-keterampilan yang mereka butuhkan untuk bersaing secara terbuka dan gamblang dalam masyarakat teknologis (Srinivasan, 1977).
Proses pendidikan itu mengembang ke luar dari sistem-sistem formal terstruktur, ke dalam suatu sistem konfigurasi baru dari suatu rangkaian pemikiran dan pengalaman yang terpisah secara melebar, dan jenis pertemuan lainnya dengan mendayagunakan fasilitas yang tersedia. Peran pendidikan non-formal sebagai komplemen, suplemen maupun substitusi pendidikan formal (persekolahan) merupakan suatu konfigurasi yang contextual based and life-relefant, sehingga mampu mewujudkan program/kegiatan pendidikan non-formal yang strategis dan fungsional bagi masyarakat.
Munculnya konsep masyarakat gemar belajar sepanjang hayat sebagai master concept, mendorong individu, lembaga, asosiasi, masyarakat peduli pendidikan atau badan usaha lain untuk ikut berpartisipasi dalam mengembangkan cara berpikir baru dalam merespon tantangan kebutuhan baru masyarakat tentang pendidikan dan belajar (learning). Sekolah sebagai satuan pendidikan formal tidak lagi menjadi satu-satunya wadah (wadah tunggal) dan memonopoli pendidikan (formal) persekolahan dan badan-badan bisnis tidak lagi mengurusi bisnis semata, akan tetapi sudah mulai bergeser ikut serta mengurusi pendidikan khususnya pendidikan non-formal. Lahirnya organisasi-organisasi baru berpenampilan pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan tanpa label sebagai tambahan, perluasan lanjutan dan lainnya memberi kesempatan dan kemudahan kepada masyarakat untuk belajar membelajarkan diri. Sehingga menjadi “self-supporting organizations” untuk ikut andil mengembangkan pendidikan non-formal.
Ada beberapa peran masyarakat tertentu dalam pendidikan non-formal di antaranya adalah: Masyarakat ikut membangun PKBM, sanggar-sanggar kegiatan belajar lain, magang, Kejar Usaha Produktif, Pendidikan keagamaan dalam bentuk pesantren memberikan bekal kepada santri tidak hanya dalam bentuk pendidikan agama akan tetapi sudah mulai bergeser pada pendidikan umum, dan keterampilan wirausaha sebagai bekal hidup dan kehidupannya di masyarakat. Sosialisasi usaha pendidikan secara luas melalui organisasi masyarakat dalam dunia pendidikan dikenal juga dengan sebutan “learning society”. Begitu pula bekal-bekal pendidikan dan keterampilan yang berhubungan dengan mata pencaharian lainnya. (pertanian, perikanan, industri rumah tangga).
Terciptanya masyarakat gemar belajar (learning society) memberikan nuansa baru dan ruh pendidikan di tengah-tengah masyarakat. Kondisi ini dicermati sebagai suatu wujud nyata model pendidikan sepanjang hayat. Iklim tersebut mendorong terbukanya kesempatan setiap orang, organisasi dan institusi sosial, industri dan masyarakat untuk belajar lebih luas; tumbuhnya semangat dan motivasi untuk belajar mandiri (independent learning) untuk memenuhi kebutuhan sepanjang hayat, dan memperkuat keberdaya-didikan (educability) masyarakat agar selalu mendidik diri dan masyarakat di lingkungannya, adalah merupakan sisi positif dari lahirnya konsep- konsep yang mendasari pendidikan non-formal dalam membangun kemandirian bangsa.
Ciri masyarakat mandiri dapat dipahami dari tumbuhnya masyarakat gemar belajar, dan masyarakat yang mampu menciptakan berbagai peluang (pendidikan non-formal) di tempat yang mudah dijangkau dengan cara-cara yang sesuai potensi, keterampilan dan kecakapannya. Meta konsep educability memungkinkan masyarakat (warga belajar) “fully able to take advantage of any available educational opportunities” (Saraka, 2000), lebih giat belajar dan mencari informasi baru yang berkaitan dengan kepentingan hidupnya.
Masalah dan Tantangan Pendidikan NonFormal
Permasalahan pendidikan nonformal bukan hanya sekedar persoalan masyarakat yang buta aksara, angka dan buta Bahasa Indonesia. Akan tetapi permasalahan pendidikan nonformal semakin meluas seperti: ketidak jelasan penyelenggaraan pendidikan noformal (standar-standar penjaminan mutu pendidikan nonformal), ketidak jelasan sistem insentif bagi pendidik dan tenaga kependidikan nonformal, masih banyaknya lembaga penyelenggara pendidikan nonformal yang belum profesional, kurangnya lembaga penjaminan mutu penyelenggaraan pendidikan nonformal. Permasalahan lain yang berkaitan dengan program-program pendidikan nonformal adalah masalah sasaran didik (warga belajar) yang selalu bergulat dengan: masyarakat miskin, terdiskriminasi, penganggur, masyarakat yang kurang beruntung, anak jalanan, daerah konflik, traffiking, penganggur, masyarakat pedalaman, daerah perbatasan dll. Di samping itu pula persoalan pendidikan nonformal juga terletak pada tidak adanya kepedulian kita sebagai masyarakat yang melek pendidikan terhadap keberadaan pendidikan nonformal dan kondisi masyarakat sekitar.
Mentri Sosial Bachtiar Chamsyaah menyebutkan, bahwa jumlah masyarakat miskin di Indonesia mencapai 36,1 % dari 220 juta jiwa penduduk Indonesia, termasuk di dalamnya penduduk fakir miskin sebanyak 14,8 juta jiwa. bonnieleonard.multiply.com/journal/item/5, rata-rata masyarakat miskin tersebut tidak memperoleh pendidikan yang layak bagi anak-anaknya dan dalam kondisi yang buta huruf (Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat menyebutnya dengan buta akasara, angka latin dan Bahas Indonesia atau berkeaksaraan rendah/buta aksara parsial), pengangguran, tinggal dipemukiman kumuh, daerah perbatasan, daerah pedalaman, pulau terluar, tidak terakses sekolah dll. Jumlah penduduk dunia yang butu huruf mencapai 771 juta jiwa. Pada hari anak nasional Komisi nasional perlindungan anak 11 juta Anak Indonesia buta aksara. (data 23 Juli 2009) www.vhamedia.com. Permasalahan lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah tingginya angka pengangguran baik penganggur terdidik maupun penganggur yang betul-betul tidak memiliki pendidikan pada tahun 2010 angka pengangguran terdidik bertambah 1,1 juta jiwa. Angka pengangguran di Indonesia berada pada kisaran 10 %, angka ini akan bertambah menjadi 16, 92 % apabila pemerintah jadi menaikkan BBM. www.detikfinance.com. Menarik untuk disimak bahwa struktur pengangguran terbuka angka tertinggi dihuni oleh penduduk yang tidak tamat SD, tamat SD, DO SMTP dan tamat SMTP.
Pada kondisi lain menunjukkan, bahwa terdapat kurang lebih 36.000 anak Indonesia usia Pendidikan Dasar 7-15 tahun yang orang tuanya bekerja di perkebunan kelapa sawit, ladang, dan kilang-kilang di Sabah Malaysia yang belum tersentuh Pendidikan Dasar. Dimana mereka tinggal di kantung-kantung pemukiman yang tersebar di beberapa lokasi yang terpisah satu dengan lainnya dengan jarak tempuh mulai 3 sampai dengan 12 jam perjalanan. Faktor lain yang menyebabkan mereka belum tersentuh pendidikan diakibatkan oleh kondisi keimigrasian,, demografis, geografis, sosial-budaya, ekonomi dan politik (Hasil penelitian, Kemendiknas, 2008). Di Hongkong ada + 120.000 TKI dimana sebagian besar dari mereka tidak tamat SMP. (Kamil, 2010).
Dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan pendidikan itu Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Infromal telah menyusun kebijakan strategis terutma dalam menyelesaikan sasaran prioritas, program strategis itu meliputi:
1) Memperluas aksess anak usia 0-6 tahun, dengan perluasan akses PAUD; diharapkan APK PAUD mencapai 35% pada tahun 2009.
2) Memperluas kesempatan bagi anak usia sekolah 7-15 tahun yg tak terlayani melalui jalur pendidikan formal; dengan pengembangan pendidikan layanan khusus untuk daerah terpencil, berpenduduk terpencar, bencana, konflik, dan anak jalanan melalu kejar Paket-A/B; ditargetkan pada tahun 2009 bahwa Paket-A menangani 25% putus sekolah SD; Paket-B menangani 50% lulusan SD yang tak melanjutkan dan 50% anak putus sekolah SD; sedangkan Paket-C menangani 50% lulusan SMP/MTs yang tak melanjutkan dan 25% anak putus sekolah SMA/MA.
3) Memperluas kesempatan akses bagi penduduk butaaksara usia 15 tahun ke atas; dengan perluasan akses pendidikan keaksaraan; diharapkan angka buta aksara tingal 5% pada tahun 2009.
4) Memperluas kesempatan belajar sepanjang hayat; di antaranya dengan pendidikan kecakapan hidup bagi anak dari keluarga miskin atau orang dewasa miskin atau pengangguran; ditargetkan pada tahun 2009 mencapai 15% anak usia >15 tahun mengikuti pendidikan kecakapan hidup.
5) Memanfaatkan secara optimal teknologi komunikasi dan informasi, termasuk untuk pendidikan nonformal.
Tantangan pendidikan nonformal bukan hanya sekedar menyelesaikan masalah-masalah tersebut di atas, akan tetapi tantangan utama Pendidikan Nonforamal adalah masih banyaknya masyarakat yang belum mengerti dan mengenal secara jelas tentang keberadaan dan peran pendidikan nonformal di tengah-tengah mereka. Seringkali masyarakat bertanya tentang apa itu PLS (pendidikan luar sekolah), apa itu PKBM, apalagi tentang PNF (pendidikan nonformal) sebagai istilah baru (sebutan lain bagi PLS). Berdasar pada Undang Undang sistem pendidikan nasional, PLS merupakan sub sistem dari pendidikan nasional. Dengan rendahnya pemahaman dan partisipasi masyarakat terhadap program-program PLS, maka kondisi itu memunculkan masalah baru yaitu; sulitnya mempertahankan lembaga-lembaga penyelenggara satuan pendidikan nonformal agar tetap eksis dan profesional dalam menyediakan layanan pendidikan alternatif bagi masyarakat yang membutuhkan, banyak sekali PKBM dan penyelenggaraan satuan PNF lainnya yang bubar, karena didirikan seadanya dan menunggu bantuan dari pemerintah. Padahal kita sangat hawatir kalau PKBM, dan lembaga sejenis lainnya bubar, sehingga tidak ada lagi lembaga penyelenggara pendidikan nonformal yang dapat melayani kebutuhan pendidikan masyarakat di luar pendidikan formal. Kekahwatiran itu muncul dikarenakan masih tidak jelasnya standar-standar yang dapat dijadikan patokan bagi penyelenggaraan satuan pendidikan nonformal, sulitnya dan tidak adanya pendidik yang mau membelajarkan masyarakat dan masih sedikitnya lembaga pendidikan tinggi (jurusan PLS) yang tetap eksis mengkaji keilmuan, praktik dan menciptakan model-model pembelajaran pendidikan nonformal.
Mengapa Pendidikan NonFormal Penting?
Seperti diketahui, bahwa Pendidikan Nonformal bertujuan untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan individual itulah yang dominan menjadi karakteristik pendidikan nonformal di negara-negara maju Barat. Sedangkan di negara-negara sedang berkembang (Dunia Ketiga), pendidikan nonformal tidak sekedar bertujuan untuk melayani kebutuhan individual seperti di negara-negara maju Barat, tetapi juga untuk memenuhi tujuan-tujuan sosial (social goals) sesuai dengan misi pembangunan nasional masing-masing negara, termasuk di dalamnya misi pemberantasan buta aksara, pemberdayaan kaum perempuan, pemberdayaan masyarakat daerah-daerah tertinggal, daerah pedalaman, suku trasing, daerah perbatasan dan dipulau-pulau luar. Kesertaan menjadi warga belajar pada pendidikan nonformal yang dimaksudkan untuk memenuhi tujuan individual lazimnya atas pilihan sukarela, yaitu mengikuti suatu program atas kehendak dan pilihannya sendiri. Sedangkan kesertaan sebagai warga belajar pada program pendidikan nonformal yang tergolong bertujuan sosial (untuk memenuhi social goals) umumnya atas dasar suatu kewajiban sosial guna menyukseskan cita-cita bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Rogers, 1993: 1-2).
Berdasar pada tujuan pendidikan nonformal yang dikembangkan Rogers tersebut, maka membicarakan pendidikan nonformal bukan berarti hanya membahas pendidikan nonformal sebagai sebuah pendidikan alternatif bagi masyarakat, akan tetapi berbicara pendidikan nonformal adalah berbicara tentang konsep, teori dan kaidah-kaidah pendidikan yang utuh yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan kehidupan masyarakat. Karena pendidikan nonformal sebuah layanan pendidikan yang tidak dibatasi dengan waktu, usia, jenis kelamin, ras (suku, keturunan), kondisi sosial budaya, ekonomi, agama, dan lain-lain. Meskipun pendidikan formal merupakan komponen penting dalam pendidikan sepanjang hayat. Akan tetapi, peran pendidikan nonformal dalam rangka pelayanan pendidikan sepanjang hayat bagi masyarakat tertentu sangat dibutuhkan saat ini dan kedepan. Pendidikan nonformal menjadi bagian dari pembicaraan internasional terutama berkaitan dengan berbagai kebijakan tentang pendidikan pada era sebelum tahun 1960 dan akhir tahun 1970-an. Hal tersebut dapat dilihat bagaimana kaitan antara konsep pendidikan berkelanjutan dengan konsep pendidikan sepanjang hayat. Tight (1996:68) mengajukan konsep tentang penyatuan pendidikan extention dan belajar sepanjang hayat secara utuh dan menyeluruh, sehingga untuk menyatukan itu pendidikan nonformal dianggap memiliki peran dalam ‘acknowledging the importance of education, learning and training which takes place outside recognized educational institutions‘. Begitu pula dengan yang diungkapkan Fordham (1993), menyatakan bahwa sejak tahun 1970-an, ada empat karakteristik dasar yang berkaitan dengan peran strategik pendidikan nonformal di masyarakat: a) relevan dengan kebutuhan kelompok masyarakat (orang-orang) yang tidak beruntung, b) ditujukan dan memiliki perhatian khusus pada kategori sasaran-sasaran tertentu, c) terfokus pada program yang sesuai dengan kebutuhan, d) fleksibel dalam pengorganisasian dan dalam metoda pembelajaran.
Dalam banyak negarapun pembicaraan masalah pendidikan nonformal menjadi topik-topik khusus, serta dianggap sebagai pendidikan yang mampu memberikan jalan serta pemecahan bagi persoalan-persoalan layanan pendidikan masyarakat, terutama masyarakat yang tidak terlayani pendidikan formal. Alan Rogers dalam satu bukunya menyatakan bahwa: There is a renewed interest in non-formal education (NFE) today. And it is significant that this interest comes not so much from the so-called ‘Third World‘ (I use this term to refer to poor countries in receipt of aid from rich countries, because many other persons use it as a short-hand). The assembly recognizes that formal educational systems alone cannot respond to chalange of modern society and therefore welcomes to reinforcement by nonformal education. (Alan Rogers, 2004).
Namun demikian dalam membahas pendidikan nonformal selayaknya tidak terlepas dari konsep yang mendasari bagaimana pendidikan nonformal berkembang dengan utuh sesuai dengan prinsip-prinsip dasarnya, oleh karena itu keterkaitan analisis antara pendidikan nonformal dengan community learning, informal education, dan social pedagogi merupakan sesuatu hal yang tetap harus manjadi acuan.
Pembahasan secara original tentang konsep pendidikan nonformal muncul pada tahun 1968 (Coombs 1968), perkembangan pendidikan nonforml begitu pesat terutama ketika pendidikan dirasakan masih banyak kekurangan (Illich 1973), hal tersebut dirasakan tidak hanya di Negara-negara berkembang tetapi merambah sampai ke belahan dunia barat (western) juga sampai ke belahan dunia utara (northern). (Bowles dan Gintis 1976 dan kawan-kawan). Di belahan dunia barat reformasi pendidikan bergerak melalui berbagai perbedaan format, akan tetapi dalam semua perencanaan dan kebijakan-kebijakan yang diambil sangat berkaitan erat dengan pendidikan yang diperlukan bagi negara-negara berkembang mulai tahun 1968 sampai tahun 1986, pada saat itu pendidikan nonformal dirasakan sebagai obat mujarab untuk semua penyakit pendidikan yang dirasakan di tengah-tengah masyarakat (Freire 1972 dan kawan-kawan). Berbagai lembaga pendidikan nonformal dan lembaga lain dibidang pendidikan melakukan intervensi kuat serta mendorong terjadinya perubahan di bidang pendidikan khususnya di negara-negara barat termasuk Amerika Serikat. Di Amerika Serikat perubahan pendidikan dilakukan pada hal-hal yang berkaitan dengan masalah akademik, seperti yang dilakukan di pusat-pusat penelitian, tempat konsultasi, publikasi dan laporan-laporan lainnya.
Pada banyak hal pendidikan nonformal dirasakan sebagai sebuah formula yang sangat ideal serta lebih resfect dibandingkan dengan pendidikan formal. Namun demikian kita tetap harus merasa bahwa pendidikan nonformal tetap merupakan bagian dari sistem pendidikan yang keberadaannya tidak dapat terpisahkan dengan pendidikan formal apalagi dalam konteks pendidikan sepanjang hayat. Sehingga tidak dirasakan, bahwa pendidikan nonformal lebih hebat dari pendidikan formal, atau pendidikan nonformal lebih rendah dari pendidikan formal. Namun itu harus tetap menjadi catatan penting agar pendidikan formal tidak dirasakan sebagai sesuatu yang menakutkan bagi masyarakat Pigozzi, menyebutkan bahwa: It could even be described as a temporary ‘necessary evil’ in situations of crisis until formal schooling could be restored (Pigozzi, 1999).
Membicarakan pendidikan nonformal seperti halnya dengan membicarakan salah satu bagian dunia yang terbagi dua secara dikotomis. Salah satu bagian tentang pendidikan formal dan pada bagian lainnya adalah pendidikan nonformal. Namun ketika membicarakan pendidikan nonformal harus sangat hati-hati, karena ada sebagian Negara yang menerjemahkan pendidikan nonformal sesuai dengan kebijakannya masing-masing. Seperti halnya di Jepang secara implementatif pendidikan nonformal tidak terlalu dikenal secara utuh, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Masyarakat dan pemerintah Jepang menganggap bahwa pendidikan sosial (social education) itu adalah pendidikan nonformal, karena program-program yang dikembangkan social education sama dengan program-program yang dikembangkan pendidikan nonformal, seperti pendidikan untuk orang dewasa, pendidikan keterampilan dan pendidikan untuk masyarakat pada umumnya melalui Citizens’ public halls atau dikenal dengan Kominkan (community cultural learning centre).
Pada negara-negara lainpun program-program pendidikan, seperti halnya pengembangan sekolah dan perguruan tinggi, dilakukan oleh menteri pendidikan termasuk di dalamnya program (kelas) pendidikan keaksaraan bagi orang dewasa. Ada negara yang mengembangkan pendidikan nonformal oleh lembaga non pemerintah (NGOs), ada yang mengembangkan pendidikan nonformal melalui penyatuan antara pendidikan sekolah dan kegiatan-kegiatan pelatihan di masyarakat yang secara langsung dibina oleh kementrian (pemberdayaan perempuan, kesehatan, tenaga kerja, pemuda dan olah raga serta kebudayaan).
Ada juga sebagian negara yang mengembangkan pendidikan nonformal, dalam bentuk pembelajaran individual, kelompok belajar, kelompok belajar khusus perempuan, dan kelompok-kelompok bimbingan khusus, dimana kegiatan-kegiatan tersebut dikembangkan oleh lembaga-lembaga swasta, LSM, lembaga komersial, serta berbagai lembaga sosial lainnya seperti (keagamaan, organisasi kemasyarakatan, dan gerakan sosial lainnya).
Sejak tahun 1986 diskusi dan debat tentang masalah pendidikan nonformal dikategorikan sebagai bagian dari sejarah panjang tentang pendidikan. Akan tetapi mulai penghujung abad 20 pembicaraan tentang dikotomi pendidikan nonformal sudah mulai berkurang baik dalam jurnal-jurnal, surat kabar maupun majalah pendidikan lainnya, sejalan dengan sudah meningkatnya pemahaman dan kebutuhan akan pendidikan nonformal di tengah-tengah masyarakat. Terutama sejak pesatnya penyelenggaraan program pendidikan nonformal bagi Negara-negara berkembang.
Sejak Jumtien Conference tahun 1990 diskusi tentang pendidikan nonformal lebih diarahkan pada masalah pendidikan untuk semua (education for all), terutama menyangkut kebijakan dan rencana pengembangan education for all bagi negara-negara berkembang, khususnya mengenai pelayanan pendidikan bagi anak-anak. Melalui konsep education for all pendidikan nonformal diharapkan mampu melayani pendidikan mulai tingkat dasar termasuk pendidikan untuk anak-anak usia sekolah sampai pada program-program alternatif untuk melayani pendidikan para pemuda, terutama dikonsentrasikan bagi para pemuda yang tidak sekolah (drop out/putus sekolah) dan tidak berada pada usia sekolah formal. Dengan digulirkannya education for all pendidikan nonformal memiliki program yang sangat luas, tidak hanya melayani pendidikan orang dewasa akan tetapi juga pemuda dan anak-anak yang tidak terlayani pendidikan formal.
Pendidikan nonformal lahir dari pemikiran tentang konsep learning society dan konsep lifelong learning. Learning society lahir dan berkembang sejalan dengan lahirnya peradaban dan pemahaman tentang nilai-nilai pengalaman (pendidikan), nilai-nilai pengetahuan, dan nilai-nilai kehidupan sebagai landasan hidup dan kehidupan individu, keluarga dan masyarakat. Pada proses itulah masyarakat saling mengenal saling belajar saling berkomunikasi dan saling menghargai diantara sesamanya. Djudju Sudjana menjelaskan dalam bukunya Pendidikan Luar Sekolah: ”….istilah pendidikan luar sekolah” telah hadir di dunia ini sama tuanya dengan kehadiran manusia yang berinteraksi dengan lingkungan di muka bumi ini. Setelah jumlah manusia makin berkembang, situasi pendidikan ini muncul dalam kehidupan kelompok dan masyarakat. Kegiatan pendidikan dalam kelompok dan masyarakat telah dilakukan oleh umat manusia jauh sebelum pendidikan sekolah lahir di dalam kehidupan masyarakat. (Djudju Sudjana (2000:63).
Pada konteks pemikiran bagaiman pengorganisasian dan pengelolaan pengetahuan, pengalaman sebagai sebuah standar kehidupan bermasyarakat yang lebih indigenous dan dapat diikuti serta menjadi nilai dan norma seluruh lapisan masyarakat, maka disitulah pendidikan nonformal diperlukan. Karena pendidikan nonformal mampu menyatukan proses learning society dan lifelong learning kedalam sebuah sistem yang terstruktur terorganisir dan menjadi standar dalam pemahaman dan penyampaian pengetahuan, keterampilan atau pengalaman dari individu yang satu ke individu yang lain atau dari masyarakat yang satu ke masyarakat lainnya di luar konteks pendidikan formal. Sehingga learning society dan lifelong learning dalam konsep sejarah pendidikan nonformal dijadikan prinsip dasar dan landasan dalam proses pembelajaran dan pengembangannya. Sebagai sebuah contoh tentang lahirnya pondok pesantren, sebagai sebuah lembaga yang berdasar kepada pemikiran regenerasi Islam, bagaimana pengetahuan tentang keIslaman diturunkan dan disebarluaskan ke seluruh lapisan masyarakat melalui media da’wah atau media lainnya. Begitu pula dengan lahirnya konsep social education atau lahirnya Kominkan di masyarakat Jepang.
Dengan melebarnya pelaksanaan pendidikan non-formal sesuai dengan kondisi dan konsep pendidikan sepanjang hayat, serta menjaga mutu dan sensitivitas pendidikan non-formal di tengah-tengah masyarakat, maka lima strategi dasar yang perlu dikembangkan melalui pendidikan nonformal adalah :
1) Pendekatan kemanusiaan (humanistic approach), masyarakat dipandang sebagai subjek pembangunan. Masyarakat diakui memiliki potensi untuk berkembang dan sedemikian rupa ditumbuhkan agar mampu membangun dirinya.
2) Pendekatan partisipatif (participatory approach), mengandung arti, bahwa masyarakat, lembaga-lembaga terkait, dan atau komunitas dilibatkan dalam pengelolaan dan pelaksanaan pembangunan masyarakat.
3) Pendekatan kolaboratif (collaborative approach), dalam pembangunan masyarakat perlu adanya kerjasama dengan pihak lain (terintegrasi) dan terkoordinasi dan sinergi.
4) Pendekatan berkelanjutan (continuation approach) pembangunan masyarakat dilakukan secara berkesinambungan, untuk itulah pembinaan kader yang berasal dari masyarakat adalah hal yang paling pokok.
5) Pendekatan budaya (cultural approach) penghargaan budaya dan kebiasaan, adat istiadat yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat dalam pembangunan masyarakat adalah hal yang perlu diperhatikan. (Djudju Sudjana, 2000)
Dengan kelima strategi tersebut, maka pendidikan non-formal seperti apa yang dibutuhkan masyarakat dalam arti program pendidikan non-formal yang mampu menyentuh dan mengangkat masyarakat menjadi lebih baik dalam kehidupannya (better living) yang ditandai dengan meningkatnya pendapatan (ekonomi), kesadaran akan lingkungan sosialnya, atau masyarakat yang mengerti dan memahami bagaimana membangun dirinya.
Mengacu pada prinsip dan strategi dasar yang perlu diperhatikan pendidikan non-formal dalam rangka perannya di masyarakat adalah:
1) Mengembangkan program-program pendidikan non-formal yang mampu mengembangkan masyarakat, sehingga mereka memilki daya suai (adaptability), daya lentur (flexibility), inovatif dan entrepreneurial attitudes and aptitudes.
2) Mengembangkan program-program pendidikan yang mampu mengangkat kemiskinan masyarakat pedesaan dan perkotaan (rural and urban community development), baik melalui program pendidikan keterampilan maupun jenis program pendidikan lain yang mampu menyentuh kebutuhan nyata dalam kehidupan masyarakat (felt needs).
3) Menemukenali permasalahan-permasalahan masyarakat yang dapat dijadikan atau disentuh melalui peran-peran dan tugas-tugas pendidikan non-formal secara nyata dengan tetap menjaga orisinalitas asas pembangunan masyarakat oleh dan untuk masyarakat itu sendiri (community itself).
4) Mengembangkan program-program pendidikan non-formal dengan tetap mengacu pada teknologi pendidikan non-formal yang serba baru dan inovatif serta berbiaya murah.
Penguatan Pendidikan Non-Formal dalam Membangun Kemandirian
1. Membangun Citra Lembaga Penyelenggara Pendidikan Nonformal (PKBM dan Model Lembaga Layanan Pendidikan Nonformal lainnya)
Salah satu lembaga satuan pendidikan nonformal yang saat ini memberikan layanan pendidikan nonformal kepada masyarakat adalah PKBM (Cummnunity Learning Center). Jumlah PKBM di Indonesia sampai tahun 2006 mencapai 3.064, pada tahun 2010 PKBM meningkat jumlahnya mencapai 4014, dari jumlah tersebut PKBM yang terakreditasi baru sekitar 93 (2,32%) lembaga, PKBM negeri sekitar 95 (2,37%)
Jepang memiliki Kominkan (PKBM) mandiri (independent) atau autonomous Kominkan (Kominkan yang didirikan masyarakat) mencapai 76.883, sedangkan jumlah legal kominkan atau kominkan yang dibayai pemerintah atau didirikan pemerintah kota mencapai 18.000. Kondisi ini sangat jauh berbeda dengan jumlah PKBM yang ada di Indonesia, begitu pula dengan fasilitas yang dimiliki di dalamnya. Kenyataan ini menunjukkan betapa kurangnya jumlah dan kualitas PKBM dibandingkan dengan jumlah masyarakat yang perlu dilayani dan membutuhkan program pendidikan nonformal. Oleh Karena itu perlu terobosan baru bagi peningkatan jumlah dan kualitas PKBM ke depan, baik itu pendataan jumlah PKBM, mendorong masyarakat untuk mendirikan PKBM, melakukan akreditasi lembaga dan akreditasi program-program yang dikembangkan PKBM. Akreditasi dilakukan agar reputasi dan pencitraan PKBM ke depan lebih baik lagi. Di samping itu pula perlu adanya keseriusan pemerintah dalam mengembangkan dan membina PKBM serta lembaga satuan penyelenggaran pendidikan nonformal lainnya, terutama melalui penetepan peraturan khusus (perundangan) dalam rangka memberikan penguatan kepada lembaga-lembaga tersebut. Hal itu seperti telah dilakukan Pemerintah Jepang terhadap Kominkan melalui shakai kyoiku atau aturan tentang life long learning promotion low tahun 1990.
Hal lain yang perlu dilakukan pemerintah adalah melakukan kerjasama dengan pengelola PKBM untuk menata ulang struktur dan organisasi PKBM agar kekuatan lembaga dan kapabilatas manejemen PKBM lebih profesional.
Disamping penguatan PKBM, pemerintah juga perlu memberikan penguatan kepada lembaga lain non PKBM serta mendorong masyarakat agar ikut berpartisipasi dalam pengembangan model-model lembaga layanan program pendidikan nonformal lainnya bagi masyarakat yang membutuhkan. Namun demikian model layanan pendidikan nonformal seperti ini perlu adanya peraturan khusus (standarisasi), agar pengembangannya sesuai dengan aturan yang berlaku.
Lembaga-lembaga yang secara khusus mengembangan layanan program pendidikan nonformal baik itu PKBM maupun lembaga lainnya harus diorganisasikan dalam cara-cara yang dapat menjamin keberlanjutan program, juga pengembangan program yang diversifikasi ke arah penguatan kelembagaan ekonomi sehingga program-program yang dikembangkan mampu membangun kemandirian masyarakat.
2. Meningkatkan Kualitas dan Kuntitas Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Nonformal (Kualifikasi, Kompetensi dan Sertifikasi).
Seperti dijelaskan pada bagian awal tulisan ini, bahwa kehadiran pendidikan nonformal (pendidikan luar sekolah), tentu saja dimaksudkan dan diharapkan untuk dapat memberikan layanan terbaik yang bermutu sehingga benar-benar bisa menjawab kebutuhan belajar masyarakat (peserta didik) yang menghajatkannya (Sanafiah Faisal, 2007). Untuk itu, diperlukan kualifikasi akademik dan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan yang dapat diandalkan. Karena, keberlangsungan beserta kinerja bermutu pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan nonformal akan sangat bergantung pada kemampuan dan profesionalisme mereka, lebih-lebih dalam pengorganisasian program pembelajaran di luar sistem persekolahan yang menuntut lebih banyak terobosan dan keluwesan di dalam memenuhi kebutuhan, kesempatan, dan aspirasi masyarakat sebagai peserta didik (Smith dan Offerman, 1989, 249-257; Elting, 1975: 21-22).
Tuntutan kualifikasi akademik dan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan dalam membina dan mengembangkan pembelajaran di luar sistem persekolahan juga dimaksudkan untuk mengoptimalkan pendayagunaan sumber-sumber dan peluang belajar yang memungkinkan, tentu saja disesuaikan dengan kebutuhan, kesempatan, dan aspirasi peserta didik (warga belajar). Hal demikian itu mengharuskan (standar) kemampuan pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan nonformal (tutor, pamong, trainers, laboran, pengelola program, penilik dikmas) yang memiliki extraordinary knowledge atau bertingkat tenaga profesional (Wilson dan Hayes, 2000: 18). Itu menunjukkan betapa pentingnya standar kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan nonformal yang sejalan dengan tuntutan profesionalisasi program layanan pendidikan di luar sistem persekolahan. Hal tersebut sesuai dengan gagasan utama yang melahirkan ”spesialisasi pendidikan di luar sistem persekolahan” sebagai suatu bidang kajian ilmiah (field of study) dan bidang profesi (field of practice) tersendiri; kehadiran bidang spesialisasi ini semenjak awal memang dimaksudkan untuk memperbaiki praktik pendidikan yang berlangsung di luar sistem persekolahan, apa pun tujuannya, serta siapapun penyelenggara dan peserta didiknya (Wilson dan Hayes, 2000: 6; Courtney, 1989: 18-19).
Merujuk ke arah pemikiran tadi, peningkatan kualifikasi akademik dan pendidikan profesi pendidik dan tenaga kependidikan nonformal dihadapakan kedalam berbagai tantangan dan perkembangan mutakhir pendidikan (pendidikan nonformal), yang menyangkut keragaman peserta didik/warga belajar keragaman program dan perkembangan mutakhir model-model pembelajaran (Alan Rogers 2004). Di samping itu pula dampak pasar dan kebutuhan akan program-program pendidikan nonformal yang berkesinambungan dimana peran pendidikan nonformal sebagai jembatan antara pendidikan formal dengan dunia kerja (bridging gap) akan semakin jelas manakala didukung oleh pendidik dan tenaga-tenaga kependidikan nonformal yang profesional dan memiliki kompetensi tinggi. Khusus untuk pendidikan profesi bagi pendidik pendidikan nonformal perlu ditata ulang terutama rancang bangun sistem manajemen pendidikan pendidik di lingkungan pendidikan nonformal, model kurikumunya serta penguatan LPTK/perguruan tinggi yang membidanginya dan tidak hanya sekedar ikut-ikutan (follower) kepada apa yang telah dilakukan oleh pendidikan profesi guru formal, oleh karena itu penetapan payung hukum, penetapan LPTK dan standar pengelolaannya harus terintegrasi dan mulai dikembangkan. Hal itu akan menentukan sistem (standar) kualifikasi pendidik pendidikan nonformal, pengelolaan sumberdaya pendidik pendidikan nonformal, juga model insentif yang diterapkan terutama menyangkut reputasi dan finansial. Sebagai sebuah ilustrasi tunjangan bagi pendidik pendidikan nonformal (tutor kesetaraan) hanya Rp.125,000/bulan bandingkan dengan tujangan profesi guru hampir mencapai 100% gaji pokok. Padahal keduanya memiliki peran dan tugas yang sama mencerdaskan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. (Standar Pendidikan Nasional No. 19 tahun 2005.)
3. Standarisasi Program Pendidikan Nonformal
Standar nasional pendidikan berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Standar pendidikan nasional bertujuan untuk menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. (Standar Pendidikan Nasional No.19 tahun 2005).
Atas dasar itulah semua penyelenggaraan pendidikan nonformal seperti; program (isi dan proses), pendidik dan tenaga kependidikan, penyelenggara (pengelola), sarana prasarana yang dibutuhkan, kompetensi lulusan, pembiayaan dan penilaiaan pendidikan, harus mengacu ke dalam standar-standar yang telah ditetapkan. Namun demikian saat ini dirasakan sangat sulit sekali bagi sebuah penyelenggaraan pendidikan nonformal untuk ikut standar minimal sekalipun. Karena masih banyak sekali penyelenggaraan satuan pendidikan nonformal yang tertatih-tatih jangankan tersentuh teknologi informasi yang semakin canggih, atau ikut berlomba menjadi penyelenggara pendidikan nonformal bertaraf internasional (PKBM bertaraf internasional) seperti halnya sekolah (RSBI), untuk sekedar mendapatkan bahan ajar yang representative saja menjadi sebuah barang langka (impian). Banyak sekali tutor/pendidik dan warga belajar (peserta didik) di kundasang, sandakan, daerah perbatasan dengan Negara Malaysia, atau di daerah pedalaman yang harus berjalan belasan kilometer menuju tempat belajar namun setelah datang ke tempat belajar ternyata kelasnya hanya cocok untuk dihuni kerbau. Bagaimana kondisi ini apabila dikaitkan dengan standar pendidikan nonformal yang sudah dilahirkan (dipermenkan), kapan akan diperoleh PKBM dan penyelenggara satuan pendidikan nonformal lainnya yang bermutu, proses pembelajaran tertatih tatih (gasps) lulusan yang memiliki kompetensi tinggi dan siap menatap masa depan apabila kondisi seperti itu tetap dibiarkan. Untuk itulah sentuhan para pemikir, praktisi pendidikan nonformal dan agen pembaharu pendidikan sangat dibutuhkan, sehingga mampu mendorong masyarakat, dunia swata, dan lembaga-lembaga lainnya agar berpartisipasi secara penuh dalam membangun dan mengembangkan penyelenggaraan satuan-stauan pendidikan nonformal yang lebih representative, dan sesuai standar pendidikan nasional yang telah ditetapkan.
Disamping itu pula penguatan peran-peran penjamin mutu pendidikan non formal, BPPNFI, BPKB, SKB sebagai pengembang model program, model pembelajaran dan peran-peran lainnya untuk terus giat dan melakukan kerjasama dengan masyarakat, perguruan tinggi/LPTK dan lembaga lain yang memiliki kepedulian tinggi terhadap pendidikan nonformal untuk tidak henti-hentinya membantu masyarakat membantu para penyelengara pendidikan nonformal, membantu dan meningkatkan kemampuan dan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan. Yang pada akhirnya mutu pendidikan nonformal bukan merupakan isapan jempol belaka akan tetapi betul-betul dapat terwujud sesuai dengan tuntutan standar pendidikan nasional, yakni mampu melahirkan lulusan (warga belajar/peserta didik) yang mandiri dan bermartabat.
4. Meningkatkan Reputasi Akademik bagi Jurusan PLS
Modal utama tenaga profesional pendidikan nonformal untuk dapat mengembangkan program, mengembangkan pembelajaran, membangun jejaring, meningkatkan partisipasi masyarakat dan mengelola program pendidikan nonformal secara efektif dan menjanjikan, adalah dihasilkan melalui Perguruan Tinggi/LPTK yang juga bermutu tinggi dan unggul. Karena Perguruan Tinggi/LPTK itulah yang selama ini membina dan mengembangkan konsep pengembangan pendidikan nonformal (PNF) secara utuh sesui dengan tuntutan lapangan (pendidikan masyarakat).
Meningkatnya teknologi pembelejaran pendidikan nonformal, beragamnya satuan penyelenggara pendidikan nonformal, beragamnya jenis program yang dikembangkan, permasalahan-permasalahan pendidikan nonformal, semakin tingginya tuntutan akan layanan pendidikan nonformal serta tuntutan pemerintah dan masyarakat akan mutu profesi pendidikan nonformal, maka seyogyanya perguruan tinggi/LPTK yang memiliki jurusan PLS perlu melakukan berbagai pembaharuan. Salah satu pembaharuan yang harus dilakukan adalah merumuskan kembali visi, misi dan tujuan yang selaras dengan perkembangan pendidikan nonformal saat ini. Untuk menjawab hal itu diperlukan rencana aksi (action plan), berbagai terobosan, riset (penelitian lapangan), pengkajian berbagai ilmu, teori dan model-model praktik yang selama ini telah dikembangkan di dunia pendidikan nonformal. Oleh karena itu beberapa kegiatan yang sekiranya dapat dilakukan adalah:
a. Mengembangkan visi masa depan pendidikan luar sekolah sebagai satu-satunya jurusan yang membidangi dan menghasilkan lulusan yang secara profesioanl dan kompeten dalam bidang pendidikan nonformal.
b. Mengkaji kembali struktur dan isi kurikulum jurusan pendidikan luar sekolah yang sesuai dengan tuntutan profesi pendidikan nonformal dan perkembangan mutakhir keilmuan dan teori-teori pendidikan terutama keilmuan dan teori pendidikan nonformal.
c. Meningkatkan reputasi akademik jurusan melalui berbagai kegiatan; penelitian, penerbitan jurnal terakreditasi, penulisan buku-buku Pendidikan Nonformal (PLS), mengembangkan model-model pembelajaran yang berdasar pada prinsip andragogi sehingga model-model tersebut dapat diakses secara luas oleh berbagai lapisan masyarakat, melakukan seminar-seminar nasional dan internasional, melakukan kerjasama nasional dan internasional (Univesitas/PT dan lembaga PNF lainnya), mengembangkan manajemen profesional untuk mencapai standar nasional pendidikan (SNP), sertifikasi organisasi internasional (Internasional Organiztion for standardization atau ISO), akreditasi BAN dan akreditasi badan atau asosiasi profesi nasional dan internasional, haki, dan standar internasional lainnya.
d. Menguatkan kembali laboratorium belajar masyarakat, sebagai tempat program latihan profesi mahasiswa, baik melalui desa PLS, kampung PLS maupun bentuk lain yang serupa.
e. Menggairahkan kembali asosiasi-asosiasi profesi pendidikan nonformal, APPNFI, ISPPSI, IKAPNFI, sebagai wadah mpenyalur aspirasi profesi pendidikan nonformal dan penjaminan mutu melalui asosiasi profesi.
f. Melakukan pertemuan berkala antar taman sejawat dilingkungan Jurusan PLS (temu colegial), untuk membahas berbagai permasalahan pendidikan nonformal terutama penguatan profesi pendidikan nonformal, melalui berbagai kajian ilmiah, kompetensi
g. Dengan beragamnya jenis dan bentuk layanan pendidikan nonformal, dirasa perlu Jurusan Pendidikan Luar Sekolah dikembangkan menjadi sebuah Fakultas PLS, namun demikian untuk menuju kearah itu perlu pengkajian (penelitian) yang mendalam dan strategis agar keberadaan Fakultas PLS betul betul dibutuhkan dan mampu menjawab tuntutan dan tantangan pembangunan pendidikan nonformal ke depan.
Daftar Bacaan
Brembeck dan T.J. Thomson (1973). New Strategies for Educational Development, Toronto, Heath Company,
Connors, D.M., (1968), Strategies for Development, Ottawa: Development Press.
Daoed Yusuf, (1976). Ketenaga kerjaan dan Entrepreneurship, Makalah, Seminar, Jakarta Universitas Indonesia.
Don Martindale, (1975), Hondbook of contemporary development in world sociology, Greenwoo Press.
Durkheim, E. (1961). Moral education: A study in the theory & aplication of the sociology of education. New York. The Free Press.
Elting, AW (1975). Characteritic of facilitator: The Ecuador project and beyond. Amherst, MA. Center for International Education University of Massachusetts.
Faisal, S., (2006). Mengokohkan program layanan PLS: Hajatkan profesionalisme dan pembangunan sistem. Presentasi pada seminar nasional PLS di Universitas Gorontalo.
Gouldner and Poloma, (1973) For Sociology, New York; Basic Books
James W. Botskin, (1984) No limits to learning: Bridging the human gap, Oxford. Pergamon Press.
Illich, I. (1973), De-Schooling Society, Hardmonsworth:Penguin
Jarvis, P., (1983), Professional Education, London: Croom Helm, Ltd.,
Knowless, M., S., (1975), Self Directed Learning, A Guide for Learners and Teachers, Chicago: Association Press and Follet Publishing Company.
……………, (1980), The Modern Practice of Adult Education, Andragogy versus Pedagogy, New York: Association Press.
Kurt Lewin (1947), Feedback problems of social diagnosis and action, Human relation, United States, Longman
McCleland, D., dan Winter, D., (1969), Motivating Economic Achievement, New York: The Free Press.
Rogers,A. (2003), What is the difference? a new critique of adult learning and teaching , Leicester: NIACE
………………(1993), Adult Learning for Development. London. Cassel.
Sagir, S., (1992), Peran Pendidikan Nonformal Dalam Meningkatkan Keterampilan Tenaga Kerja, Bandung: IKIP, PLS.
…………,(1986) Pendidikan Luar Sekolah dan Entrepreneurship, PLS, IKIP, Bandung,
Shihab, Q., (2000), Secercah Cahaya Ilahi, Bandung: Mizan
Smith, D. Dan M.J. Offerman (1989), “The management of Adult and Continuing Education”. Handbook of Adult and Continuing Education. Jossey-Bass Publishers, San Francisco.
Srinivasan, L., (1990), Tools for Community Participation, New York: PROWWSS/UNDP.
Sudjana, Dj., (2000), Pendidikan Luar Sekolah, Wawasan Sejarah Perkembangan Falsafah dan Teori Pendukung Asas, Bandung: Nusantara Press.
Toffler, Hedi and Gibson, R., (1998), Rethinking the Future, Jakarta: Gramedia
Wilson, A.1. dan E-R. Hayes (2000), “On Thought and Action in Adult and Continuing Education”, Handbook of Adult and Continuing Education. Jossey-Bass Publishers, San Francisco.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan
UNESCO, (1993), Learning to be (Prepared by Faure, E. Et all) Paris; UNESCO.
Undang-Undang No.20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional.
Kominkan, (2006). History of Education, establishment and operation of the Kominkan (Community cultural of Learning Centres). www. oise.utoronto.ca/…/assignment1/1949kominkan.html
Wasty Soemanto, (1976). Sekuncup ide operasional Pendidikan Wiraswasta, Jakarta, Bina Aksara
(UN. (1956). Social Progress through Community Development, New York, United Nations
Smith, D. Dan M.J. Offerman (1989), “The management of Adult and Continuing Education”. Handbook of Adult and Continuing Education. Jossey-Bass Publishers, San Francisco.
Wilson, A.1. dan E-R. Hayes (2000), “On Thought and Action in Adult and Continuing Education”, Handbook of Adult and Continuing Education. Jossey-Bass Publishers, San Francisco.
*)beberapa data tidak ditampilkan,krn keterbatasan blog.