Kamis, 11 September 2008

MENGAPA SELALU TERJADI?

Pertanyaan seperti di atas akan muncul, ketika suatu pekerjaan, peristiwa atau hal tertentu yang (relatif) tidak disukai oleh penanya terjadi berulang-ulang. Di lingkungan birokrasi/pegawai negeri - sebagaimana saya, dan kemungkinan besar banyak pegawai - mengalami peristiwa yang tak disukai itu. Apakah peristiwa itu?
Persepsi saya, peristiwa itu adalah pengeluaran/penggunaan anggaran "yang tak ada pos anggarannya". Awalnya saya bingung menterjemahkan istilah anggaran yang tak ada pos anggarannya. Secara sepintas, tidaklah mungkin anggaran digunakan untuk kegiatan yang tak ada perencanaannya atau tak ada posnya. Tetapi belajar dari pengalaman, ternyata peristiwa tersebut terjadi, terjadi lagi, dan tiap tahun anggaran terjadi lagi.
Di awal tahun anggaran, setelah program/kegiatan tahun yang bersangkutan ditetapkan "final", maka untuk konfirmasi detail kegiatan berikut detail pos-pos anggarannya dilakukan pembahasan oleh petugas instansi bersangkutan dengan pegawai instansi yang mengurusi keuangan negara (biasa disebut Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara=DJPb). Saya pernah terlibat dalam pembahasan tersebut. Saya dan tim mempersiapkan segala bahan dan informasi untuk menjelaskan tujuan dan kelompok sasaran serta detail anggaran sesuai patokan yang berlaku. Pada saat pembahasan, saya melihat ada sekitar 9 (sembilan) kelompok pembahasan-tentu dari berbagai instansi (satuan kerja). Dalam kelompok instansiku telah disiapkan tenaga pembahas, berkas program/kegiatan, dan minuman serta makanan kecil layaknya konsumsi pertemuan. Pembahasan saat itu berlangsung selama 2 (dua) hari, dan itupun tim masih membawa pekerjaan lanjutan (PR), yang secepatnya harus diselesaikan dan disetorkan ke DJPb. Setelah pembahasan selesai, anggota tim menjelaskan kepada saya, bahwa jamuan tadi disiapkan oleh tim dari instansi/satuan kerja. Dan satuan kerja inipun harus menyetorkan sejumlah uang untuk "biaya pembahasan" atau saya lebih senang menyebutkan sebagai biaya yang tak ada pos biayanya.
Peristiwa selanjutnya adalah penggunaan biaya untuk penambahan honor para inohong dari Jakarta, baik dalam konteks sengaja diundang ataupun datang karena agenda mereka sendiri. Ketika diundang, maka biaya yang disiapkan adalah biaya tambahan, karena plafon resmi dianggap tak sebanding penghargaannya. Ketika datang karena agenda mereka sendiri, maka biaya yang disiapkan penuh dari biaya yang tak ada pos biayanya. Saya pernah memperoleh penjelasan dari pegawai tertentu (yang memiliki akses thd keuangan) bahwa untuk kegiatan penandatanganan Surat Keputusan Menpan ttg penetapan lembaga sebagai lembaga eselon II, lembagaku perlu mengeluarkan biaya sekitar 70 juta. Dan ini tak ada pos anggarannya.
Peristiwa lainnya adalah biaya yang perlu dikeluarkan untuk melayani petugas pengawasan, baik dari internal departemen maupun yang dari luar departemen. Melayani baik dalam rangka pekerjaan pengawasan maupun dalam rangka di luar pekerjaan pengawasan.
Peristiwa terakhir dalam kurun tahun anggaran dan biaya yang tak ada pos anggarannya adalah biaya untuk para "preman".
Peristiwa-peristiwa "buruk" tersebut di atas selalu terjadi tiap tahun. Sehingga pada akhirnya melembaga penyediaan anggaran yang tak ada pos anggarannya. Kondisi ini adalah kondisi mismanagement yang harus dihindari. Beberapa pihak/teman yang terkait langsung dengan hal itu selalu berpandangan, bahwa hal itu sangat sulit dihindari. Saya menyadari akan kesulitan itu, karena jika mereka tak berlaku seperti itu, akan lebih sulit lagi bagi mereka dalam menyelenggarakan program dan menggunakan anggaran. Akan tetapi INI HARUS DIAKHIRI dengan cara kita bekerja sesuai aturan yang ada, dan yang lebih penting - siapapun kita - kita wajib bekerja secara JUJUR dan BERANI karena BENAR. Sikap dan mental inilah yang mampu mengakhiri itu semua. RAKYAT MERINDUKAN PEJABAT YANG JUJUR DAN BERANI KARENA BENAR.

Tidak ada komentar: