DASAR-DASAR PENDIDIKAN NONFORMAL DAN PENGEMBANGAN KURIKULUMNYA
(Mosyaara)
A.
Apakah Pendidikan Non-Formal (PNF) ?
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyatakan bahwa jalur
pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal dan informal yang dapat
saling melengkapi dan memperkaya. Pada Bab I Pasal 1 ayat (12), pendidikan
nonformal didefinisikan sebagai jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang
dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Selanjutnya, dalam pasal
26 ayat (1) dan (2), menyatakan bahwa pendidikan nonformal diselenggarakan bagi
warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai
pengganti, penambah atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung
pendidikan sepanjang hayat.
Philips H. Coombs dalam Djudju Sudjana (2001;22) memiliki pandangan terdapat persamaan antara pendidikan sekolah dengan pendidikan nonformal.
Menurutnya, pendidikan nonformal adalah setiap kegiatan terorganisasi dan
sistematis, di luar sistem persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri
atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja
dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan
belajarnya.
Selanjutnya Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 26 ayat (2) menegaskan pendidikan nonformal bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta
didik dengan menekankan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional
serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
Konsep pendidikan nonformal yang telah diuraikan di atas, mengisyaratkan
bahwa pendidikan nonformal hendaknya difokuskan pada pemberian kemampuan yang
dapat dimanfaatkan dalam waktu yang tidak lama untuk memecahkan permasalahan
yang dihadapi oleh peserta didik. Implementasinya dapat dilihat dari jenis
kegiatannya yang meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan
keaksaraan, pendidikan keterampilan kerja, pendidikan kesetaraan serta
pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan potensi peserta didik.
Keberadaan pendidikan nonformal sebagai subsistem pendidikan nasional, bisa
berfungsi menggantikan, melengkapi maupun menambah pendidikan formal. Sebagai
pengganti (substitutif) dimaksudkan bahwa layanan pendidikan yang diberikan kepada masyarakat berupa
kegiatan-kegiatan yang sifatnya menggantikan program pendidikan formal,
contohnya pendidikan kesetaraan meliputi program paket A setara SD/MI atau sederajat, program paket B setara SLTP/MTs
atau sederajat, dan program paket C
setara SMA/MA atau sederajat. Sebagai pelengkap (complement) artinya
bahwa materi pendidikan yang diberikan kepada masyarakat bertujuan melengkapi
apa yang telah diperoleh pada pendidikan formal, contoh kegiatannya antara lain
kursus, kelompok belajar dan sebagainya. Sebagai penambah (suplement),
artinya bahwa materi pendidikan nonformal yang disampaikan bertujuan memberikan
tambahan terhadap materi yang dipelajari di pendidikan formal, contohnya
bimbingan belajar, sanggar belajar, dan sebagainya.
Pendidikan luar sekolah atau pendidikan nonformal berlandaskan pada asas
kebutuhan, asas relevansi dengan pembangunan, dan asas wawasan ke masa depan.
Asas kebutuhan mengandung makna bahwa penyusunan program pendidikan nonformal
harus mempertimbangkan kebutuhan belajar masyarakat yang menjadi sasaran. Mengapa demikian?.
Operasionalisasi pendidikan nonformal sangat memerlukan dukungan dari peserta didik, oleh karenanya program-program PNF disusun berdasarkan kebutuhan mereka
dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan peserta didik. Pemenuhan kebutuhan ini pun sekaligus dapat meningkatkan motivasi belajar peserta
didik. Dengan kata lain, peserta didik akan tanggap dan berpartisipasi aktif
dalam program pendidikan andaikata program itu berorientasi pada upaya untuk
memenuhi kebutuhan mereka.
Asas relevansi dengan pembangunan artinya bahwa kehadiran pendidikan
nonformal harus didasarkan atas kebutuhan
pembangunan masyarakat atau daerah/wilayah. Program–program pendidikan nonformal berfungsi
menggarap pengembangan sumber daya
manusia yang menjadi pelaku utama dalam pembangunan masyarakat dan
sekaligus menerima dampak dari
pembangunan tersebut. Oleh karena itu, pendidikan nonformal dapat berperan
dalam tiga hal, yaitu;
a. Menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang
pentingnya upaya mereka dalam
membebaskan diri dari kebodohan, dari
imbalan atau upah yang rendah, dan adanya ketidakadilan dalam masyarakat, dan
perjuangan untuk memperoleh keadilan. Proses penyadaran ini bisa ditempuh
melalui pendidikan keaksaraan, latihan ketrampilan fungsional untuk
meningkatkan pendapatan, penyuluhan, atau bimbingan.
b. Membantu masyarakat untuk terbiasa
hidup berorganisasi sehingga secara bersama mereka dapat mempelajari kehidupannya
serta menjajagi berbagai kesempatan yang
berkaitan dengan pekerjaan, lapangan usaha,
dan kemudahan yang dapat diperoleh
seperti pemberian kredit modal,
bahan baku dan alat yang dibutuhkan, serta pemasaran dan informasi yang
diperlukan.
c. Para pendidik dan tutor pendidikan
luar sekolah bekerjasama dengan
masyarakat/organisasi masyarakat dalam upaya mengidentifikasi kebutuhan, sumber
dan kemungkinan hambatan serta
mendayagunakan prasarana sosial, politik dan lingkungan masyarakat untuk
membantu masyarakat agar mereka dapat
memecahkan masalah sosial ekonomi yang dihadapi dalam upaya meningkatkan taraf
hidup.
Asas wawasan ke masa depan mengandung makna bahwa pendidikan nonformal
perlu mengembangkan tugas pokoknya dalam
membelajarkan peserta didik agar
memiliki dan mengembangkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai serta
aspirasi guna mengantisipasi kemungkinan
perubahan di masa depan. Selain hal
tersebut, pendidikan nonformal juga harus mampu membelajarkan peserta didik
agar mampu melestarikan dan
memanfaatkan sumberdaya alam guna
meningkatkan taraf hidupnya dengan
berorientasi pada kemajuan masa depan. Dengan kata lain, pendidikan
nonformal harus dapat membantu peserta didik dalam menyiapkan diri menghadapi masa depan yang lebih baik.
Hasil pembelajaran program pendidikan nonformal antara lain dapat dilihat
dari unsur peserta didik yang ditunjukkan dengan dimilikinya kemampuan oleh
peserta didik sebagai akibat dari proses belajar yang mereka ikuti.
Kemampuan-kemampuan tersebut tidak terlepas dari jenis dan tujuan program yang
telah ditetapkan. Terkait dengan hasil belajar, Sudjana, D (2001:37),
menyatakan bahwa hasil belajar mencakup perubahan pengetahuan (knowledge),
sikap (attitude), keterampilan (skills),dan aspirasi (aspiration).
Luas dan banyaknya cakupan dan kemampuan yang diperoleh peserta didik
bergantung pada ruang lingkup tujuan yang terdapat pada program pembelajaran.
Perubahan pengetahuan (knowledge) merupakan perubahan kemampuan
peserta didik untuk dapat menyerap ilmu pengetahuan yang diajarkan. Hal ini
berhubungan dengan kemampuan intelektual dan taraf kecerdasan. Perubahan sikap
(attitude) adalah dimilikinya kemampuan untuk merasakan dan menghayati
apa-apa yang diajarkan, dan yang telah diperolehnya dari ranah kognitif, sehingga timbul motivasi
untuk mengamalkan atau melakukan sesuatu yang telah dimilikinya. Sedangkan
perubahan keterampilan (psikomotor) mencakup kemampuan peserta didik
untuk merubah sikap dan perilaku sesuai dengan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari
dan dihayatinya selama mengikuti pembelajaran.
Salah satu dampak yang seharusnya muncul sebagai akibat proses pembelajaran
pendidikan nonformal khususnya bagi orang dewasa adalah menguatnya konsep diri
atau kemampuan mengatur diri sendiri, dan salah satu komponen konsep diri yang
sangat penting dalam mewujudkan kepribadian yang mantap dan mandiri adalah
perasaan berdaya diri. Rasa berdaya diri merupakan terjemahan dari istilah
bahasa inggris self-efficacy. Self efficacy dimaknai sebagai
persepsi seseorang tentang kemampuan-kemampuan fisik dan psikis (intelektual)
yang dimiliki untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi sehubungan dengan
perbaikan kualitas hidupnya.
B.
Pendekatan Andragogi Dalam
Pembelajaran PNF
Andragogi berasal dari bahasa Yunani kuno
"aner", dengan akar kata andr- yang berarti laki-laki
dewasa atau orang dewasa, dan agogos yang berarti membimbing, membantu,
melayani atau membina. Andragogi secara
singkat dimaknai suatu seni atau cara membantu, melayani, dan/atau membimbing orang
dewasa dalam memenuhi kebutuhan belajarnya.
Malcolm Knowles berpandangan bahwa andragogi
melayani para orang dewasa berlandaskan empat asumsi dasar sebagai berikut:
a. Konsep Diri. Asumsinya bahwa kesungguhan dan kematangan diri seseorang bergerak dari
ketergantungan total (realita pada bayi) menuju ke arah pengembangan diri
sehingga mampu untuk mengarahkan dirinya sendiri dan mandiri. Dengan kata lain
dapat dikatakan bahwa secara umum konsep diri anak dan remaja masih tergantung
sedangkan pada orang dewasa konsep dirinya sudah mandiri. Karena kemandirian
inilah orang dewasa membutuhkan penghargaan orang lain sebagai manusia yang
mampu menentukan dirinya sendiri (Self Determination) dan mampu
mengarahkan dirinya sendiri (Self Direction). Apabila orang dewasa tidak
menemukan dan menghadapi situasi dan kondisi yang memungkinkan timbulnya
penentuan diri sendiri dalam suatu pembelajaran, maka akan menimbulkan
penolakan atau reaksi yang kurang menyenangkan. Orang dewasa juga mempunyai
kebutuhan psikologis yang berkontribusi kuat terhadap kemandiriannya, meskipun
dalam situasi tertentu boleh jadi ada ketergantungan yang sifatnya sementara.
Hal ini berimplikasi dalam pelaksanaan praktek pembelajaran, khususnya yang
berkaitan dengan iklim dan suasana pembelajaran dan diagnosa kebutuhan serta
proses perencanaan pembelajaran.
b. Pengalaman. Asumsinya bahwa sesuai dengan perjalanan
waktu, seorang individu tumbuh dan berkembang menuju ke arah kematangan. Dalam
perjalanannya, seorang individu mengalami dan mengumpulkan berbagai pengalaman
pahit-getirnya kehidupan, hal ini menjadikan seorang individu sebagai sumber
belajar yang begitu kaya, dan pada saat yang bersamaan individu tersebut
memberikan dasar yang luas untuk belajar dan memperoleh pengalaman baru. Oleh
sebab itu, dalam teknologi pembelajaran orang dewasa, terjadi penurunan
penggunaan teknik transmittal seperti yang dipergunakan dalam pembelajaran
konvensional dan menjadi lebih mengembangkan teknik yang bertumpu pada
pengalaman. Kondisi ini dikenal dengan "Experiential Learning Cycle"
(Proses Belajar Berdasarkan Pengalaman). Implikasinya terhadap pemilihan dan
penggunaan metoda dan teknik pembelajaran adalah bahwa praktek pembelajaran
lebih banyak menggunakan diskusi kelompok, curah pendapat, kerja laboratori,
studi lapangan, melakukan praktek dan lain sebagainya, yang pada dasarnya
berupaya untuk melibatkan peran serta atau partisipasi peserta.
c. Kesiapan Belajar . Asumsinya bahwa setiap individu semakin menjadi matang
sesuai dengan perjalanan waktu, maka kesiapan belajar orang dewasa bukan
ditentukan oleh kebutuhan atau paksaan akademik ataupun biologisnya (seperti
halnya pada warga belajar-warga belajar), tetapi lebih banyak ditentukan oleh
tuntutan perkembangan dan perubahan tugas dan peranan sosialnya. Orang dewasa
siap untuk mempelajari sesuatu karena tingkatan perkembangan mereka yang harus
menjalani perannya baik sebagai pekerja, orang tua atau pemimpin organisasi.
d. Orientasi Belajar. Asumsinya bahwa pada warga belajar orientasi belajarnya
seolah-olah sudah ditentukan dan dikondisikan untuk berpusat pada materi
pembelajaran (Subject Matter Centered Orientation). Sedangkan pada orang
dewasa mempunyai kecenderungan memiliki orientasi belajar yang berpusat pada
pemecahan masalah yang dihadapi (Problem Centered Orientation). Hal ini
dikarenakan belajar bagi orang dewasa merupakan kebutuhan untuk menghadapi
permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan keseharian, terutama dalam kaitannya
dengan fungsi dan peranan sosial orang dewasa.
Asumsi ini disebabkan juga karena adanya perbedaan
perspektif waktu. Bagi orang dewasa, hasil belajar mestinya dapat dipergunakan
atau dimanfaatkan dalam waktu segera, sementara bagi anak – remaja penerapan apa yang dipelajari masih menunggu
waktu hingga dia lulus dan sebagainya, sehingga ada kecenderungan pada anak -
remaja, bahwa belajar hanya sekedar
untuk dapat lulus ujian dan memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. Implikasi
asumsi ini terhadap sifat materi pembelajaran atau pelatihan bagi orang dewasa,
yaitu bahwa materi pembelajaran orang dewasa hendaknya bersifat praktis dan
dapat segera diterapkan di dalam kenyataan sehari-hari.
Dari penjelasan tersebut, kita dapat
menemukan beberapa unsur yang bisa dijadikan patokan dalam memahami pendidikan
orang dewasa. Unsur-unsur tersebut antara lain:
a. Pembelajaran
didominasi oleh aktivitas peserta
b.
Pendidik
berperan sebagai fasilitator yang memberikan kemudahan-kemudahan kepada peserta
dalam melakukan kegiatan belajar
c.
Materi
pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan peserta terutama dalam mendukung
kearah kemandirian.
Orang dewasa adalah orang yang dianggap telah dapat mengatur
dirinya, oleh karena itu mereka memerlukan perlakuan yang sifatnya menghargai, khususnya dalam pengambilan keputusan. Mereka akan menolak apabila diperlakukan
seperti warga belajar-warga belajar, sebaliknya apabila orang dewasa dibawa ke
dalam situasi belajar yang memperlakukan mereka dengan penuh penghargaan, maka
mereka akan melakukan proses belajar tersebut dengan penuh pelibatan dirinya
secara mendalam. Implikasi asumsi ini dalam proses pembelajaran antara lain:
a. Iklim belajar perlu diciptakan sesuai dengan keadaan
orang dewasa, (baik ruangan, maupun peralatan) sehingga memberikan kenyamanan
belajar. Selain itu perlu diciptakan kerjasama dan saling menghargai
diantara peserta maupun antara peserta
dengan fasilitator.
b. Peserta diikutkan dalam mendiagnosa kebutuhan belajarnya,
mereka akan termotivasi untuk belajar apabila apa yang dipelajarinya sesuai
dengan kebutuhan mereka.
c. Dalam proses pembelajaran, peran pendidik hendaknya lebih
banyak sebagai manusia sumber dan pembimbing.
d. Evaluasi tidak dilakukan oleh pihak luar atau oleh
fasilitator. Evaluasi dilakukan oleh dan terhadap peserta (Self Evaluation)
untuk menilai kemajuan dalam proses belajarnya. Evaluasi hendaknya berorientasi
kepada pengukuran perubahan perilaku setelah mengikuti suatu proses
pembelajaran tertentu, dan ruang lingkup materi evaluasi pembelajaran
ditetapkan secara partisipatif antara peserta dengan pihak yang terkait lainnya
berdasarkan kesepakatan.
Pelaksanaan pembelajaran bagi orang dewasa harus
mempertimbangkan beberapa prinsip berikut ini.
a.
Belajar
swa-arah. Orang dewasa memiliki konsep diri, sehingga dalam proses
pembelajaran, mereka-lah yang memutuskan apa yang akan dipelajari sesuai dengan
kebutuhan, keinginan dan minatnya.
b.
Belajar
mengetahui cara-cara belajar. Pembelajaran bagi orang dewasa akan bermakna
apabila mampu menumbuhkan keinginan dan hasrat untuk belajar secara berkesinambungan. Oleh
karena itu fasilitator harus lebih banyak memotivasi peserta untuk mempelajari
tugas-tugas belajar yang telah dirancang bersama, dan membantu peserta dalam
merancang pengalaman belajar.
c.
Belajar
mengevaluasi diri. Evaluasi diri merupakan prasyarat bagi perkembangan otonomi
peserta didik orang dewasa. Oleh karena itu penilaian kemajuan belajar lebih
banyak dilakukan oleh peserta.
d.
Pentingnya
perasaan. Karakter orang dewasa sebagai orang yang telah memiliki konsep diri
dan pengalaman, hendaknya dijadikan pegangan oleh fasilitator dalam melakukan
atau merancang interaksi pembelajaran. Interaksi yang terjadi harus
mencerminkan persaudaraan, saling menghargai, menghormati dan mendukung mereka
untuk aktif belajar.
e.
Bebas dari
ancaman. Aktivitas belajar bagi orang dewasa akan lebih bermakna apabila
terjadi dalam suasana yang menyenangkan dan bebas dari ancaman. Fasilitator
perlu mengembangkan suasana belajar yang saling mendukung diantara peserta,
bukan menyalahkan atau menekan.
Prinsip-prinsip pembelajaran tersebut
diterapkan dalam rangka menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif, yang
ditandai dengan munculnya kondisi-kondisi pembelajaran sebagai berikut antara
lain:
1.
Kumpulan
manusia aktif. Proses pembelajaran terjadi lebih cepat dan melekat pada ingatan
peserta (terutama orang dewasa), apabila tutor tidak mendominasi interaksi,
akan tetapi percaya bahwa mereka yang belajar mampu menemukan alternatif
pemecahan masalah yang memuaskan. Fasilitator lebih banyak mendengarkan, dan
bertindak sebagai sumber (recource). Orang dewasa pada dasarnya adalah
makhluk yang aktif dan kreatif yang memerlukan kesempatan untuk mendiskusikan
masalah-masalah yang dihadapinya. Orang dewasa
belajar lebih banyak apabila mereka merasa ikut mengambil bagian secara aktif
dalam menemukan jawaban dan pemecahan masalah.
2.
Suasana
saling menghormati. Orang dewasa belajar lebih banyak apabila pendapat
pribadinya dihormati. Ia lebih senang kalau ia boleh turut berpikir dan
mengemukakan pikirannya, daripada fasilitator menjejalinya dengan teori dan
gagasannya sendiri.
3.
Suasana
saling menghargai. Belajar bagi orang dewasa bersifat subyektif dan unik, maka
lepas dari benar atau salah, segala pendapat, perasaan, pikiran, dan gagasannya
perlu dihargai. Meremehkan dan mengesampingkan harga diri mereka, hanya akan
mematikan gairah belajar.
4.
Suasana percata.
Orang dewasa yang belajar perlu percaya kepada fasilitator, namun demikian
mereka juga perlu mendapat kepercayaan dari fasilitatornya. Tanpa kepercayaan,
situasi belajar tidak akan membawa hasil yang diharapkan.
5.
Suasana
penemuan diri. Orang dewasa akan belajar lebih banyak apabila kepadanya
diberikan kesempatan menemukan sendiri kebutuhannya, pemecahan masalahnya, dan
kesalahan-kesalahannya.
6.
Suasana tak
mengancam. Manusia mempunyai sistem nilai yang berbeda, mereka mempunyai
pendapat dan pendirian yang berbeda. Banyak yang akan dipelajari apabila
masing-masing dapat mengemukakan isi hati dan pikirannya tanpa rasa takut,
walaupun mengetahui ada perbedaan. Ia harus mempunyai keyakinan, bahwa dalam
situasi belajar ia boleh berbeda dan boleh berbuat salah tanpa dirinya
terancam.
7. Suasana keterbukaan. Seluruh anggota peserta didik maupun
fasilitator perlu memiliki sikap terbuka dalam mengungkapkan diri, dan
mendengarkan orang lain. Keterbukaan tidak boleh berakibat orang mendapat
ejekan, hinaan, atau dipermalukan. Hanya dalam suasana keterbukaan
segala alternatif dapat tergali.
8. Suasana
mengakui kekhasan pribadi. Manusia belajar secara khas atau unik, masing-masing
memiliki tingkat kecerdasan sendiri, kepercayaan sendiri, dan perasaan sendiri.
9.
Suasana
membenarkan perbedaan. Hal yang paling membosankan adalah suasana yang
seakan-akan hanya mengakui satu metode “yang benar” , satu sikap “yang patut”.
Padahal manusia dengan latar belakang pendidikan, kebudayaan dan pengalaman
masa lampau dapat memberi investasi berharga, justru karena perbedaannya.
Proses belajar akan meningkat efektivitasnya apabila perbedaan dianggap wajar,
bahkan dianggap bermanfaat, bukan merusak.
10.
Suasana
mengakui hak untuk berbuat salah. Suasana belajar yang baik adalah bila
orang-orang berani dan mau mencoba perilaku baru, sikap baru, dan pengetahuan
baru, walaupun mengandung resiko terjadinya kesalahan.
11.
Suasana
membolehkan keraguan. Orang dewasa yang berkumpul untuk belajar bersama, sering kali
menghasilkan beberapa alternatif atau teori. Pemaksaan untuk menerima salah satu sebagai yang paling
tepat, paling benar, dapat menghambat proses belajar. Keraguan harus
diperkenankan untuk waktu yang cukup, agar tercapai keputusan akhir yang
memuaskan.
12.
Evaluasi
bersama dan evaluasi diri. Pada akhirnya
orang ingin tahu apa arti dirinya dalam kelompok belajar. Orang ingin
mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya. Maka evaluasi bersama oleh seluruh
anggota kelompok dirasakan berharga untuk bahan renungan, sehingga pada
akhirnya ia lebih mengenal dirinya dari orang lain yang persepsinya bisa saja
kurang tepat.
KURIKULUM PENDIDIKAN NON-FORMAL
A.
Apakah Yang Dimaksud Dengan Kurikulum
Kurikulum merupakan inti dari bidang
pendidikan dan memiliki pengaruh terhadap seluruh kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya kurikulum dalam pendidikan dan
kehidupan manusia, maka penyusunan kurikulum tidak dapat dilakukan secara
sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang
didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Penyusunan
kurikulum yang tidak didasarkan pada landasan yang kuat dapat berakibat fatal
terhadap kegagalan pendidikan itu sendiri. Dengan sendirinya, akan berkibat
pula terhadap kegagalan proses pengembangan manusia.
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu
rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan
dan hasil pendidikan. Kita maklumi bahwa pendidikan merupakan usaha
mempersiapkan peserta didik untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan
bukan hanya untuk pendidikan semata, namun memberikan bekal pengetahuan,
keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan
lebih lanjut di masyarakat.
Konsep kurikulum berkembang sesuai
perkembangan teori dan praktek pendidikan, juga bervariasi menurut aliran yang
dianutnya. Menurut pandangan lama, kurikulum merupakan kumpulan mata-mata
pelajaran yang harus disampaikan guru dan dipelajari oleh siswa. Pada
perkembangan selanjutnya, kurikulum tidak dimaknai sekedar sejumlah mata
pelajaran yang harus dikuasai peserta didik, tetapi diartikan sebagai tujuan
pengajaran, pengalaman-pengalaman belajar, alat-alat pelajaran dan cara-cara penilaian
yang direncwarga belajaran dan digunakan dalam pendidikan. (Hendiyat Sutopo
dkk, 1986 : 15).
Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan
pengaturan tentang kompetensi yang dibakukan dan cara pencapaiannya disesuaikan
dengan keadaan dan kemampuan daerah. Kurikulum disusun dalam rangka membantu warga
belajar didik mengembangkan berbagai potensi baik psikis dan fisik yang
meliputi moral dan nilai-nilai agama, sosialemosional, kognitif, bahasa,
fisik/motorik, kemandirian dan seni. Sebagaimana dikatakan Mulyasa (2006 : ) sebagai berikut:
Kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, kompetensi dasar,
materi standard, dan hasil belajar, serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar dan
tujuan pendidikan.
Dalam Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan, dijelaskan bahwa Kurikulum adalah seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara
yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu. Komponen-komponen kurikulum yang terdiri
dari tujuan, isi dan struktur program, organisasi, dan proses belajar mengajar
dan diakhiri dengan evaluasi dalam sebuah sistem harus bersifat harmonis, dan
tidak saling bertentangan.
Dilihat dari posisinya dalam pendidikan, kurikulum
dapat disimpulkan menempati tiga posisi, yaitu: (1) kurikulum adalah
"construct", (2) kurikulum berposisi sebagai jawaban untuk
menyelesaikan berbagai masalah sosial yang berkenaan dengan pendidikan, (3)
kurikulum untuk membangun kehidupan masa depan dimana kehidupan masa lalu, masa
sekarang, dan berbagai rencana pengembangan dan pembangunan bangsa dijadikan
dasar untuk mengembangkan kehidupan masa depan.
Ditinjau dari konsep dan pelaksanaannya, kita
mengenal beberapa istilah kurikulum sebagai berikut:
1.
Kurikulum
ideal, yaitu kurikulum yang berisi sesuatu yang ideal, sesuatu yang
dicita-citakan sebagaimana yang tertuang di dalam dokumen kurikulum
2.
Kurikulum
aktual, yaitu kurikulum yang dilakswarga belajaran dalam proses pengajaran dan
pembelajaran. Kenyataan pada umumnya memang jauh berbeda dengan harapan. Namun
demikian, kurikulum aktual seharusnya mendekati dengan kurikulum ideal.
Kurikulum dan pengajaran merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan.
Kurikulum merujuk kepada bahan ajar yang telah direncwarga belajaran yang akan
dilakswarga belajaran dalam jangka panjang. Sedang pengajaran merujuk kepada
pelaksanaan kurikulum tersebut secara bertahap dalam belajar mengajar.
3.
Kurikulum
tersembunyi (hidden curriculum),
yaitu segala sesuatu yang terjadi pada saat pelaksanaan kurikulum ideal menjadi
kurikulum faktual. Segala sesuatu itu bisa berupa pengaruh guru, kepala
sekolah, tenaga administrasi, atau bahkan dari peserta didik itu sendiri.
Kebiasaan guru datang tepat waktu ketika mengajar di kelas, sebagai contoh,
akan menjadi kurikulum tersembunyi yang akan berpengaruh kepada pembentukan
kepribadian peserta didik.
Berdasarkan struktur dan materi mata
pelajaran yang diajarkan, kita dapat membedakan:
1.
Kurikulum
terpisah-pisah (separated curriculum),
kurikulum yang mata pelajarannya dirancang untuk diberikan secara
terpisah-pisah. Misalnya, mata pelajaran sejarah diberikan terpisah dengan mata
pelajaran geografi, dan seterusnya.
2.
Kurikulum
terpadu (integrated curriculum),
kurikulum yang bahan ajarnya diberikan secara terpadu. Misalnya Ilmu
Pengetahuan Sosial merupakan fusi dari beberapa mata pelajaran sejarah,
geografi, ekonomi, sosiologi, dan sebagainya. Dalam proses pembelajaran dikenal
dengan pembelajaran tematik yang diberikan di kelas rendah Sekolah Dasar. Mata
pelajaran matematika, sains, bahasa Indonesia, dan beberapa mata pelajaran lain
diberikan dalam satu tema tertentu.
3.
Kurikulum
terkorelasi (corelated curriculum),
kurikulum yang bahan ajarnya dirancang dan disajikan secara terkorelasi dengan bahan
ajar yang lain.
Berdasarkan pengembangnya dan penggunaannya,
kurikulum dapat dibedakan menjadi:
1.
Kurikulum
nasional (national curriculum), yakni
kurikulum yang disusun oleh tim pengembang tingkat nasional dan digunakan
secara nasional.
2.
Kurikulum negara
bagian (state curriculum), yakni
kurikulum yang disusun oleh masing-masing negara bagian, misalnya di
masing-masing negara bagian di Amerika Serikat.
3.
Kurikulum
sekolah (school curriculum), yakni
kurikulum yang disusun oleh satuan pendidikan sekolah. Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum sekolah. Kurikulum sekolah lahir dari
keinginan untuk melakukan diferensiasi dalam kurikulum
Sebagai perangkat penting penyelenggaraan
pendidikan, kurikulum, memiliki fungsi
sebagai berikut :
1.
Merupakan
suatu alat atau jembatan untuk mencapai tujuan.
2.
Bagi peserta
didik, kurikulum disiapkan agar mereka mendapat sejumlah pengalaman baru yang
kelak dapat dikembangkan seirama dengan perkembangan peserta didik guna
melengkapi bekal hidupnya.
3.
Bagi pendidik
a.
Pedoman kerja
dalam menyusun dan mengorganisir pengalaman belajar para peserta didik
b.
Pedoman untuk
mengadakan evaluasi terhadap perkembangan warga belajar dalam rangka menyerap
sejumlah pengalaman yang diberikan
4.
Bagi pimpinan lembaga
pendidikan
a.
Sebagai
pedoman dalam mengadakan fungsi supervisi yaitu memperbaiki situasi belajar
b.
Sebagai
pedoman untuk mengembangkan kurikulum lebih lanjut
c.
Sebagai
pedoman untuk mengadakan evaluasi kemajuan belajar mengajar
5.
Bagi orang
tua peserta didik
a.
dapat mengetahui
pengalaman belajar apa yang diperlukan putra/ putrinya.
b.
berpartisipasi
untuk membantu membimbing putra/ putrinya dalam mencapai tujuan pendidikan
(kurikulum)
6.
Bagi masyarakat dan pemakai
lulusan
a.
Ikut
memberikan bantuan guna memperlancar pelaksanaan program pendidikan yang
membutuhkan kerjasama dengan pihak orang tua/ masyarakat
b.
Ikut
memberikan kritik/ saran yang membangun dalam rangka penyempurnaan pendidikan
di lembaga pendidikan yang bersangkutan sehingga lebih serasi dengan kebutuhan
masyarakat dan lapangan kerja.
Selain fungsi –fungsi di atas kurikulum memiliki fungsi lain, yaitu:
1.
penyesuaian (the adjustive
of adaptive function) yaitu kemampuan individu menyesuaikan diri terhadap
lingkungan secara keseluruhan.
2.
pengintegrasian (the integratif function) yaitu mendidik
pribadi yang terintegrasi dengan masyarakat.
3.
deferensiasi
(the defferensiating function) yaitu
memberikan pelayanan terhadap perbedaan-perbedaan perorangan dalam masyarakat.
4.
persiapan (the prepaedeutic function) yaitu
mempersiapkan peserta belajar utuk dapat melanjutkan pendidikannya kejenjang
yang lebih tinggi.
5.
pemilihan (the selective function) yaitu memberikan kesempatan pada seseorang
untuk memilih apa yang diinginkan dan dimnatinya.
6.
diagnostic (the diagnostic
function) yaitu, membantu peserta belajar memahami dan menerima dirinya
sehingga dapat mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya
B.
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
KBK dapat dimaknai sebagai
kurikulum yang dikembangkan untuk mencapai kompetensi yang dinginkan. Dengan
perkataan lain, kompetensi yang ingin dicapai dinyatakan secara eksplisit dan
dijadikan dasar dalam pengembangan kurikulum. Dari pengertian ini tentu dapat
dipahami bahwa kompetensi yang dinginkan seyogyanya ditetapkan terlebih dahulu,
sebelum kurikulum dikembangkan. Atau penetapan kompetensi merupakan langkah
pertama dalam pengembangan kurikulum.
Dalam usaha pengembangan
kurikulum, ada beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan agar kurikulum
yang kita hasilkan benar-benar sesuai dengan apa yang kita harapkan oleh semua
pihak. Macam prinsip dalam pengembangan kurikulum, antara lain: Prinsip
Berorientasi Tujuan, Prinsip Relevansi, Prinsip
Efisiensi dan efektivitas, Prinsip Mutu, Prinsip Fleksibilitas (Keluwesan, Prinsip
Berkesinambungan (kontinuitas, Prinsip Keseimbangan dan Prinsip Keterpaduan
Pada pengembangan kurikulum
berbasis kompetensi (KBK), ada beberapa prinsip tambahan yang perlu dilakukan,
antara lain :
a.
Kesamaan
memperoleh kesempatan; seluruh warga belajar dari berbagai kelompok, seperti
kelompok yang kurang beruntung secara ekonomi dan sosial, yang memerlukan
bantuan khusus , berbakat dan unggul berhak menerima pendidikan yang sesuai
dengan kemampuan dan kecepatannya.
b.
Berpusat
pada warga belajar; artinya mengupayakan unruk memandirikan warga belajar untuk
belajar, bekerjasama, menilai diri sendiri , mampu membangun kemampuan,
pemahaman dan pengetahuannya. Pengembangan
kurikulum KBK ini tidak mudah, karena harus pula meningkatkan potensi,
kecerdasan, dan minat secara terus menerus pada warga belajar. Dengan demikian
penilaian berkelanjutan dan komprehensif menjadi sangat penting. Penyajian
kurikulum KBK ini perlu melihat perkembangan warga belajar secara psikologis,
agar terjadi proses pembejaran yang
aktif, kreatif dan efektif serta menyenangkan.
c.
Pendekatan
menyeluruh dan Kemitraan; semua pengalaman belajar dirancang secara
berkesinambungan mulai jenjang yang paling dasar sampai pada jenjang atas.
Begitu pula dengan keberhasilan pembelajaraan perlu dilakukan dengan menjalin kemitraan
semua komponen yang terlibat pada pembelajaran tersebut, mulai dari warga
belajar, tutor, orang tua, pengelola kelompok belajar, dunia usaha, industri
dan masyarakat sekitarnya.
d.
Kesatuan
dalam kebijakan dan keragaman dalam pelaksanaan; Standar kompetensi isi perlu disusun pusat
dan cara pelaksanaannya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing daerah atau
kelompok belajar dan sekolah.Standar kompetensi ini dapat dijadikan acuan dalam
penyususna kurikulum berdiversifikasi berdasarkan pada satuan
pendidikan, potensi daerah dan warga belajar .
Pada pengembangan kurikulum
berbasis kompetensi, ada tiga landasan pokok, yaitu asas filosofis, asas
psikologis dan asas sosiologis teknologis.
a.
Asas
Filosofis, berkenaan dengan sistem nilai (value system) yang berlaku
dimasyarakat, dan erat kaitannya dengan arah dan tujuan yang harus dicapai.
b.
Asas
psikologis, berhubungan dengan aspek kejiwaan dan perkembangan warga belajar.
Hal ini perlu dilakukan pada sasaran pendidikan atau warga belajar, karena
warga belajar secara psikologis memiliki perbedaan minat, bakat dan potensi
yang berbeda. Selain itu warga belajar adalah organisme yang sedang berkembang.
Kesalahan persepsi atau kedangkalan pemahaman tentang warga belajar, dapat
menyebabkan kesalahan arah dan kesalahan dalam praktek pembelajaran.
c.
Asas
sosiologis dan teknologis didasarkan pada asumsi bahwa warga belajar perlu
dipersiapkan di kelompok belajar atau sekolah, agar dapat berperan aktif di
masyarakat. Oleh karena itu pengembangan kurikulum sebagai alat dan pedoman
dalam proses pembelajaran di kelompok belajar harus relevan dengan kebutuhan
dan situasi di masyarakat.
Ketiga asas seperti yang
diuraikan diatas, merupakan landasan pokok dalam pengembangan kurikulum
berbasis kompetensi (KBK), artinya pengembangan KBK dalam perencanaan dan
pedoman serta dalam implementasi pembelajarannya
C.
Langkah-Langkah Pengembangan
Kurikulum
Pengembangan kurikulum merupakan suatu proses
yang dimulai dari berpikir mengenai ide kurikulum sampai bagaimana
pelaksanaannya di sekolah. Hasan (1988) mengungkapkan bahwa, aspek-aspek dalam
prosedur pengembangan kurikulum merupakan aspek-aspek kegiatan kurikulum yang
terdiri atas empat dimensi yang saling berhubungan satu terhadap yang
lain, yaitu : (1) Kurikulum sebagai
suatu ide atau konsepsi, (2) Kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, (3)
Kurikulum sebagai suatu kegiatan (proses) dan (4) Kurikulum sebagai suatu hasil
belajar
Pengembangan kurikulum dapat dilakukan untuk memperoleh mutu dan
kualitas dari setiap satuan pendidikan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Dengan demikian
setiap satuan pendidikan dapat menjabarkan dan menambah bahan kajian dari
pelajaran sesuai dengan kebuthan dan potensi lokal setempat.
Sejalan dengan tujuan pendidikan nasional,
langkah pengembangan kurikulum menurut Tyler (1949) meliputi aspek : (1) Tujuan
kelompok belajar (sekolah), (2) Pengalaman belajar sesuai dengan tujuan, (3)
Pengelolaan pengalaman belajar dan penilaian tujuan belajar sebagai komponen
yang dijadikan perhatian utama. Pada perkembangan selanjutnya Taba (1962)
mengembangkan model pengembangan kurikulum
yang dapat dikatakan sebagai refleksi
dari tradisi pengembanan kurikulum modern. Lain lagi dengan apa yang
dikembangkan oleh Haskins and Hammil (1995: 19) bahwa pengembangan kurikulum
akan banyak bergantung pada peranan tutor(guru) sebagai pengembang kurikulum.
Lebih lanjut pengembangan kurikulum dapat dilakukan melalui langkah-langkah
sebagai berikut :
1. Mengembangkan langkah diagnosa kebutuhan (diagnosis of needs)
Kebutuhan belajar suatu komunitas/masyarakat terdiri dari
kebutuhan-kebutuhan individu yang sangat variatif. Pengembangan kurikulum harus
melibatkan pendiagnosaan kebutuhan belajar tersebut, yang dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu pendiagnosaan melalui asumsi keilmuan, dan/atau
pendiagnosaan langsung melalui wawancara/survey. Pendiagnosaan asumsi keilmuan
berkenaan dengan kepentingan-kepentingan dan kebijakan-kebijakan nasional,
kecenderungan perkembangan isu-isu internasional, kepentingan-kepentingan dan kebijakan
pembangunan daerah, kecenderungan-kecenderungan perkembangan kejiwaan-sosial
budaya-sosial politik. Sedangkan pendiagnosaan langsung berkenaan dengan
aspirasi kebutuhan nyata calon peserta didik atau peserta didik.
Kepentingan dan kebijakan nasional dapat ditelaah dari
dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Di dalam dokumen tersebut akan
dapat dilihat minimal tentang kebijakan pengembangan sumber daya manusia,
pengembangan ekonomi dan pengembangan/pembangunan kesehatan masyarakat.
Kebijakan-kebijakan tersebut sangat berkontribusi terhadap indeks pembangunan
manusia. Demikian juga pendiagnosaan terhadap kebijakan daerah, hal-hal yang
diutamakan untuk ditelaah adalah bidang-bidang yang terkait langsung dengan
indeks pembangunan manusia (IPM).
Telaahan akan menghasilkan jenis program apa yang secara
effektif dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang muncul, dan dari program
tersebut dapat dirancang materi-materi belajar apa yang harus
diproses-belajarkan sehingga kompetensi lulusan dapat tercapai.
2. Merumuskan
tujuan (formulation of objectives).
Formulasi tujuan dirancang dalam format kompetensi
lulusan program pendidikan nonformal, dan kompetensi lulusan mata pelajaran.
3.
Menyeleksi konten (Organisation of content).
Isi pembelajaran harus menjurus pada tujuan-tujuan yang
dibuat dan dapat diformulasikan dalam format standar kompentensi, dan
kompetensi dasar.
4. Mengorganisasikan
conten (organization of content)
Materi/isi
pembelajaran disusun secara sistematis, sistemik dan komprehensif serta selalu
berorientasi pada pendidikan kecakapan hidup, pengembangan potensi dan
kebijakan local (local wisdom)
5. Menyeleksi
pengalaman belajar (Selection of larning
experiences)
Pengalaman
belajar adalah sesuatu rangkaian belajar yang harus dilakoni atau dialami oleh
peserta didik dengan bantuan sekecil-kecilnya dari fasilitator atau pendidik. Dari sekumpulan pengalaman yang dapat diidentifikasi
perancang kurikulum, kemudian pengallaman-pengalaman itu dipilih disesuaikan
dengan tujuan-tujuan program dan tujuan pendidikan.
6. Mengorganisasikan pengalaman belajar (Organization of lerarning experiences).
Pengalaman belajar didesain dengan mengedepankan pengalaman
hidup peserta didik sebagai titik masuk pembelajaran. Pengalaman belajar dapat
dimulai dari hal yang sangat sederhana menuju hal yang kompleks, dari hal yang
mudah menuju hal yang sulit, dari hal yang sempit menuju hal yang luas.
- Mengevaluasi dan makna evaluasi (evaluation and means of evaluation).
Pendekatan yang digunakan pada pengembangan
kurikulum dapat dilakukan dengan dua
cara, yaitu pendekatan teknik scientific dan non teknik/ non scientific.
Pada pendekatan scientific pengembangan kurikulum
mencakup langkah dalam penyusunan peencanaan, menyususn struktur lingkungan
belajar, mengkoordinasikan sumberdaya manusia, bahan dan peralatan sehingga
memiliki objekifitas, universalitas dan logika yang tinggi , dapat menjelaskan
kenyataan secara simbolis, percaya pada efisiensi dan efektivitas sistem. Pada
pendekatan non teknis/non scientific, pengembangan kurikulum diorientasikan
pada hal yang subjektif, pribadi, penalaran, keindahan, dan diorientasikan pada
peserta belajar secara aktif.
Pada dasarnya pengembangan kurikulum yang
berorientasi pada kemampuan dasar, hakekatnya
adalah upaya memberdayakan
peserta belajar pada kedudukannya sebagai subjek belajar agar siap menghadapi
tantangan kehidupan saat ini dan masa yang akan datang. Oleh karena itu hasil
belajar yang diharapkan pada proses pembelajaran harus termuat dalam
pengembangan kurikulum. Begitu pula
dengan arah pada pengembangan kurikulum dimasa yang akan datang, harus
memudahkan dan memberikan keleluasaan pada tenaga pendidik dan peserta belajar dalam menyesuaikan dengan
kondisi lingkungan belajarnya. Oleh
karena itu kepentingan dan kebutuhan
peserta belajar untuk memperoleh mutu layanan belajar menjadi dasar
pertimbangan utama dalam pengembangan kurikulum.
D.
Implikasi Pengembangan Kurikulum terhadap Pembelajaran
Implikasi pengembangan kurikulum terhadap
pembelajaran dapat berimplikasi pada Pengembangan rancangan pembelajaran,
pengembangan proses pembelajaran,dan pengembangan evaluasi. Secara
jelasnya seperti dibawah ini :
1. Pengembangan
Rancangan Pembelajaran.
Dengan adanya
aturan otonomi daerah ini maka setiap daerah memiliki kewenangan untuk
mengembangkan kurikulum dalam bentuk rancangan pembelajaran, seperti silabus
sesuai dengan tujuan dan kondisi daerah. Implikasi Pengembangan kurikulum
diarahkan untuk menggali dan mengembangkan potensi yang dimiliki oleh setiap
warga belajar, sehingga harus berorientasi pada warga belajar. Dengan kata lain
tutor perlu menempatkan warga belajar sebagai subjek belajar, sehingga ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain :
a.
Rancangan
kegiatan pembelajaran memberikan peluang bagi warga belajar untuk mencari,
mengolah, dan menemukan sendiri pengetahuan. Kegiatan warga belajar dirancang
untuk dapat mengembangkan keterampilan dasar mata pelajaran dengan cara
mengobservasi lingkungan, mengeksperimen, pemecahan masalah,
simulasi,wawancara, pengembangan teknologi, penggunaan foto dan peta.
b.
Rancangan
belajar perlu disesuaikan dengan jenis sumber belajar dan sarana belajar yang dimiliki
kelompok belajar tersebut.
c.
Pembelajaran
dapat dirancang dan dilakukan dengan mengkombinasikan berbagai macam pendekatan belajar.
d.
Pembelajaran
dirancang untuk dapat memberikan pelayanan terhadap perbedaan yang ada pada
warga belajar.
Silabus adalah seperangkat rencana dan
pengaturan tentang kegiatan pembelajaran, pengelolaan kelas dan penilaian hasil belajar. Ada
tiga hal yang perlu tercakup dalam
silabus, antara lain: (1) Kompetensi yang perlu dimiliki oleh warga belajar,
(2) Strategi pencapaiannya dan (3) Cara untuk mengetahui ketercapaian
kompetensi yang telah ditentukan. Silabus merupakan sebuah sistem yang saling
berkaitan, terdiri dari beberapa komponen. Adapun komponen-komponen yang perlu
ada dalam silabus adalah:
1)
Kompetensi
dasar ; target pembelajaran yang harus dicapai.
2)
Hasil belajar
; gambaran kemampuan warga be;ajar dalam memenuhi tahapan pencapaian
pembelajaran pada satu kompetensi dasar.
3)
Indikator ;
kriteria dari kompetensi dasar warga belajar yang dapat terukur pencapaiannya.
4)
Langkah
pembelajaran ; rangkaian kegiatan yang harus
dilakukan tutor secara berurutan dan sistematis untuk mencapai target
kompetensi warga belajar.
5)
Alokasi waktu
; penetuan waktu yang diperlukan untuk setiap pokok bahasan dengan melihat pada
keluasan materi serta tingkat
kepentingan dan kebutuhan setempat.
6)
Sarana dan
Sumber belajar ; Penetuan sarana/media belajar dan sumber belajar yang
diperlukan dan dianggap relevan untuk mencapai kompetensi yang diharapkan.
7)
Penilaian ;
serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh, menganalisis, dan
menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar yang dilakukan secara
sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam
pengambilan keputusan.
Bentuk Format silabus
sampai saat ini tidak ada aturan yang baku, namun demikian ada
kriteria-kriteria tertentu dalam membuat format untuk silabus, antara lain :
1)
keterkaitan
antar komponen,artinya kmponen yang satu berkaitan dengan komponen lainnya,
misal komponen langkah belajar berkaitan
dengan kompetensi yang harus dicapai, demikian pula komnen media dan sumber
belajar terkait dengan langkah pembelajaran.
2)
Keterbacaan,
artinya sebagai sebuah program pembelajaran, silabus harus mudah dicerna dan
dipahami. Oleh karena itu silabus harus dibuat dengan ringkas sederhana dan
tidak menimbulkan persepsi baru, tanpa mengurangi bobot dan nilainya.
3)
Kepraktisan,
artinya silabus harus dapat dipergunakan oleh semua pihak
2. Pengembangan
Proses pembelajaran
Implikasi
dari perbahan pembelajaran yang dicapai warga belajar sangat penting artinya,
karena akan berpengaruh pada berbagai tindakan tutor dalam pengelolaan belajar,
pengembangan strategi belajar termasuk dalam penggunaan metode pembelajaran dan
penggunaan berbagai sumber belajar. Sesuai dengan
prinsip-prinsip belajar, terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam
proses pembelajaran agar berlangsung secara efektif,antara lain:
a.
Proses
pembelajaran harus memberikan peluang pada warga belajar agar dapat
berpartisipasi dalam proses pebelajaran. Dengan demikian tutor bertindak
sebagai pengelola proses pembelajaran, bukan bertindak sebagai sumber belajar.
b.
Tutor perlu
memberikan kesempatan pada warga belajar untuk merefleksikan apa yang telah
dilakukannya. Dengan demikian warga belajar tidak hanya melakukan tindakan saja
tetapi ikut menghayati apa yang telah dilakukannya, sehingga sangat baik pada
pembentukan sikap maupun melihat kekurangan dan kelebihan dalam dirinya.
c. Proses
pembelajaran perlu mempertimbangkan perbedaan individual diantara warga
belajar.
d.
Proses
pembelajaran perlu memupuk kemandirian warga belajar dan kerjasama diantara
mereka. Sehingga tutor perlu memberikan pengalaman belajar agar warga belajar
mandiri dan bekerjasama.
e.
Proses
pembelajaran harus terjadi pada iklim yang kondusif baik iklim sosial maupun
iklim sosiologisnya.
f.
Proses
pembelajaran yang dikondisikan tutor harus dapat mengembangkan kreativitas,
rasa ingin tahu melalui prose observasi dan proses mencari.
3. Pengembangan
Evaluasi
Perubahan kurikulum harus mengacu peningkatan kualitas
dan kuantitas dari hasil belajar warga belajar. Dengan demikian perubahan pada
proses pembelajaran akan diikuti oleh perubahan pola evaluasinya. Evaluasi merupakan proses memberikan
pertimbangan mengenai nilai dan arti sesuatu yang dipertimbangkan (evaluand). Sesuatu yang dipertimbangkan
dapat berupa uang, orang, benda , kegiatan atau keadaan dan satu kesatuan
tertentu. Ada dua hal yang menjadi karakteristik evaluasi. Pertama evaluasi
sebagai suatu proses dan tindakan. Kedua, Proses tersebut dilakukan untuk
memberi makna atau nilai.
Sebagai suatu proses evaluasi terdiri
dari dua langkah pokok :
a.
Pengumpulan
informasi tentang pencapaian hasil belajar warga belajar.
b.
Pembuatan
keputusan tentang hasil belajar warga belajar berdasarkan informasi yang
diperoleh.
Teknik apapun dalam evaluasi dapat dilakukan, yang penting proses
evaluasi tersebut dapat mengumpilkan data tentang keberhasilan warga belajar
mencapai kompetensi tertentu. Pada saat pengumpulan data telah dilakukan
selanjutnya dibuat keputusan tentang keberhasilan warga belajar :
a. Apakah
warga belajar telah mencapai tujuan pembelajaran, berupa penguasaan kompetensi
yang telah ditetapkan.
b. Apakah
warga belajar telah memenuhi syarat untuk mengikuti pada jenjang lebih lanjut.
c.
Apakah ada
bagian-bagian pokok bahasa yang perlu pengulangan dalam rangka pencapaian
kompetensi.
d.
Apakah warga
belajar memerlukan pengayaan.
Aspek-aspek yang perlu dievaluasi meliputi tiga aspek, yaitu aspek
kognitif, aspek afektif dan aspek Psikomotor.
Aspek Pengetahuan (Kognitif)
berkaitan dengan kemampuan intelektual warga belajar, yang meliputi :
a.
Tingkatan
menghafal secara verbal seperti fakta, konsep dan prinsip serta prosedur.
b.
Tingkatan
pemahaman meliputi kemampuan membandingkan , kemampuan menunjukan persamaan dan
perbedaan, mengidentifikasi karakteristik, menggeeralisasikan dan menyimpulkan.
c.
Tingkatan
aplikasi, kemampuan menerapkan rumus, prinsip terhadap kasus-kasus nyata yang
terjadi dilapangan.
d.
Tingkatan
analisis, meliputi kemampuan mengklasifikasikan, menggolongkan, memerinci,
mengurai suatu objek.
e.
Tingkatan
sintesi, meliputi kemampuan memadukan berbagai unsur atau komponen, menyususn,
membentuk bangunan , mengarang dan melukis.
f.
Tingkatan
evaluasi/penilaian, meliputi kemampuan menilai terhadap objek studi dengan
menggunakan kriteria-tertentu
Aspek Sikap (Afekif).berhubungan dengan penilaian terhadap sikap, minat warga
belajar terhadap mata pelajaran dan proses pembelajaran. Evaluasi
pada aspek ini meliputi :
a.
Memberikan
reaksi dan respon terhadap nilai-nilai yang dihadapkan pada warga belajar.
b. Menikmati
dan menerima nilai-nilai, norma, serta objek yang memiliki nilai etika dan
estetika.
c. Menilaiditinjau
dari segi baik, buruk , adl – tidak adil, indah – tidak indah.
d. Mempraktekan
nilai, norma, etika dan estetika dalam
kehidupan sehari-hari.
Aspek Keterampilan (Psikomotor).berhubungan
dengan kompetensi atau kecakapan yang perlu dicapai, yaitu :
a.
Tingkatan
warga belajar dalampenguasaan gerakan awal.
b. Tingkatan
gerakan rutin meliputi kemampuan
mengikuti/meniru gerakan yang
melibatkan semua anggota badan.
c. Tingkatan
gerakan rutin berupa kemampuan melakukan gerakan secara menyeluruh dengan
sempurna dan sampai pada tingkatan otomatis.
Evaluasi harus dilakukan seimbang dan mengacu
pada dua Fungsi evaluasi , yakni fungsi formatif dan fungsi sumatif . Evaluasi
sebagai fungsi formatif digunakan untuk memperbaiki kinerja tutor, artinya
hasil evaluasi ini digunakan sebagai umpan balik untuk memperbaiki proses
pembelajaran yang dilakukan tutor. Evaluasi fungsi sumatif digunakan untuk
mengukur keberhasilan warga belajar setelah melakukan pembelajaran . dengan
demikian evaluasi dilakukan untuk mengukur keberhasilan proses dan hasil
belajar. Kedua fungsi evaluasi ini
sangat penting artinya sebagai implikasi dari pengembangan kurikulum yang
diterapkan.
E.
Prinsip Pengembangan Kurikulum
Pengembangan kurikulum adalah istilah yang
komprehensif, didalamnya mencakup: perencanaan, penerapan dan evaluasi.
Perencanaan kurikulum adalah langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja
kurikulum membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan
perencanaan yang akan digunakan oleh guru dan peserta didik. Penerapan Kurikulum atau biasa disebut
juga implementasi kurikulum berusaha mentransfer perencanaan kurikulum ke dalam
tindakan operasional. Evaluasi kurikulum merupakan tahap akhir dari
pengembangan kurikulum untuk menentukan seberapa besar hasil-hasil
pembelajaran, tingkat ketercapaian program-program yang telah direncwarga
belajaran, dan hasil-hasil kurikulum itu sendiri. Dalam pengembangan kurikulum,
tidak hanya melibatkan orang yang terkait langsung dengan dunia pendidikan
saja, namun di dalamnya melibatkan banyak orang, seperti : politikus,
pengusaha, orang tua peserta didik, serta unsur – unsur masyarakat lainnya yang
merasa berkepentingan dengan pendidikan.
Prinsip-prinsip yang akan digunakan dalam
kegiatan pengembangan kurikulum pada dasarnya merupakan kaidah-kaidah atau
hukum yang akan menjiwai suatu kurikulum. Dalam pengembangan kurikulum, dapat
menggunakan prinsip-prinsip yang telah berkembang dalam kehidupan sehari-hari
atau justru menciptakan sendiri prinsip-prinsip baru. Oleh karena itu, dalam
implementasi kurikulum di suatu lembaga pendidikan sangat mungkin terjadi
penggunaan prinsip-prinsip yang berbeda dengan kurikulum yang digunakan di
lembaga pendidikan lainnya, sehingga akan ditemukan banyak sekali
prinsip-prinsip yang digunakan dalam suatu pengembangan kurikulum. Dalam hal
ini, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengetengahkan prinsip-prinsip
pengembangan kurikulum yang dibagi ke dalam dua kelompok : (1) prinsip -
prinsip umum : relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektivitas;
(2) prinsip-prinsip khusus : prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan,
prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan, prinsip berkenaan dengan
pemilihan proses belajar mengajar, prinsip berkenaan dengan pemilihan media dan
alat pelajaran, dan prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian.
Sedangkan Asep Herry Hernawan dkk (2002)
mengemukakan lima prinsip dalam pengembangan kurikulum, yaitu :
- Prinsip relevansi; secara internal bahwa
kurikulum memiliki relevansi di antara komponen-komponen kurikulum
(tujuan, bahan, strategi, organisasi dan evaluasi). Sedangkan secara
eksternal bahwa komponen-komponen tersebutmemiliki relevansi dengan
tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi (relevansi epistomologis),
tuntutan dan potensi peserta didik (relevansi psikologis) serta tuntutan
dan kebutuhan perkembangan masyarakat (relevansi sosilogis).
- Prinsip fleksibilitas; dalam pengembangan
kurikulum mengusahakan agar yang dihasilkan memiliki sifat luwes, lentur
dan fleksibel dalam pelaksanaannya, memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian
berdasarkan situasi dan kondisi tempat dan waktu yang selalu berkembang,
serta kemampuan dan latar bekang peserta didik.
- Prinsip kontinuitas; yakni adanya
kesinambungandalam kurikulum, baik secara vertikal, maupun secara
horizontal. Pengalaman-pengalaman belajar yang disediakan kurikulum harus
memperhatikan kesinambungan, baik yang di dalam tingkat kelas, antar
jenjang pendidikan, maupun antara jenjang pendidikan dengan jenis
pekerjaan.
- Prinsip efisiensi; yakni mengusahakan agar dalam
pengembangan kurikulum dapat mendayagunakan waktu, biaya, dan
sumber-sumber lain yang ada secara optimal, cermat dan tepat sehingga
hasilnya memadai.
- Prinsip efektivitas; yakni mengusahakan agar
kegiatan pengembangan kurikulum mencapai tujuan tanpa kegiatan yang
mubazir, baik secara kualitas maupun kuantitas.
DAFTAR PUSTAKA
Dalik.(2004).”Perencanaan
dan Pengembangan kurikulum.Yogyakarta:Rineka Cipta
Hamalik Oemar
(t,tahun).” Manajemen Pengembangan Kurikulum “. Bandung:PT Remaja Rosdakarya
Nasution, S. (2003). Azas-azas Kurikulum. Edisi kedua.
Jakarta : Penerbit Bumi aksara.
Nata Abudin, (2001). Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Grasindo. Jakarta.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 tahun 2006
tentang standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 tahun 2006
tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 dan 23 tahun
2006.
Syaodih Sukmadinata Nana.(1997),”Pengembangan Kurikulum
Teori dan Praktek”. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
.............................................(2001).Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek.
Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
............................................ (2004). Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
............................................ (2004). Kurikulum dan Pembelajaran Kompetensi.
Bandung: Kesuma Karya.
Sudjana Djudju, (2000), Strategi Pembelajaran Pendidikan Luar Sekolah, Falah Production,
Bandung
...................................., Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif,
Falah Production, Bandung
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta:
Sinar Grafika