Rabu, 13 Februari 2013

MENTOK DATANYA

MENTOK DI DATA

Hampir, bisa jadi lebih dari dua dekade saya melakukan pembinaan (kata kerennya) dan pengembangan pendidikan luar sekolah. Dari pengalaman tersebut ada peristiwa "jelek" yang selalu berulang. Yaitu saat awal menetapkan kebutuhan pembinaan atau kebutuhan pengembangan model dan program pendidikan luar sekolah selalu kesulitan pijakan datanya. Sepintas memang mudah men-judge seolah saya menjadi sangat bodoh, atau malas mencari dan menyediakan data untuk itu. Akan tetapi ketika hal "jelek" yang berulang itu dirujukkan kepada keberadaan organisasi atau lembaga tempat saya melakukan pekerjaan tersebut di atas, maka tidak segampang penilaian yang sepintas tadi.
Sebetulnya dimana letak 'tidak nyambungnya' koneksitas antar-unsur atau antar-unit organisasi tersebut, sehingga melanggengkan peristiwa "jelek" itu?. Mari kita runut mulai dari tingkat RT. Apakah data penduduk tingkat RT formulanya sudah matang sebagai data yang dibutuhkan program/kegiatan pembinaan atau pengembangan pendidikan luar sekolah?. Pertanyaan yang sama mari kita berlakukan untuk data tingkat RW, Dusun, Desa/Keluarahan, dan seterusnya sampai tingkat nasional. Pasti jawabannya, data tersebut adalah data mentah - bukan data matang- yang perlu dianalisis, diolah, dan diformulasikan sesuai kebutuhan pembinaan dan pengembangan pendidikan luar sekolah.
Celakanya, sering djumpai para petugas (termasuk pembina) pendidikan luar sekolah tidak mengetahui data mentah tadi. Boro-boro untuk menganalisis, mengolah dan menetapkan data itu menjadi sesuai formula kebutuhan pendidikan luar sekolah - wong data mentahnya saja tidak mengetahui. Ironis bukan?
Lebih celakanya, data yang ada (umumnya di tingkat desa, kecamatan, kabupaten, dan propinsi) adalah data yang "lentur". Data yang disesuaikan dengan kepentingan tertentu. Sehingga sering kita mendengar ungkapan : Perlu data seperti apa?. Data perencanaan yang ini. Data penilaian yang lain lagi. Jadi data bersifat fleksible sesuai kepentingannya.
Ada juga yang lebih parah, data yang dipunyai para perencana pendidikan luar sekolah (PLS) di tingkat tertentu (bisa jadi di semua tingkatan) seolah berjalan sendiri, tidak terkait dengan kecenderungan pembangunan daerah, baik itu pembangunan bidang ekonomi, sosial, politik, maupun lainnya. Saya ambil contoh, suatu daerah tertentu yang potensi alam kelautannya luas dan menomorsatukan pembangunan ekonomi bidang kelautan, tentu akan memiliki berbagai program yang pada pokoknya memanfaatkan keungulannya itu untuk memperoleh Pendapatan Asli Daerah yang tinggi, yang pada ujungnya untuk mensejahterakan masyarakat atau penduduk wilayah daerah itu. Pertanyaannya dalam konteks perencanaan pembinaan pendidikan luar sekolah, apa yang perlu dilakukan oleh perencana PLS?. Tentu yang sangat mendasar adalah menetapkan data kebutuhan pembinaan PLS. Bagaimana dengan keberadaan komponen-komponen penyelenggaraan PLS (minimal 8 komponen sesuai standar nasional pendidikan)?. Program layanan PLS apa yang perlu diselenggarakan agar potensi kelautan tersebut secara maksimal dinikmati oleh penduduk asli daerah tersebut? Daya dukung dan sinergi seperti apa yang harus dilakukan secara bersama antara pembinaan PLS dengan program sektor lain?.
Dalam hal pengembangan model dan program PLS juga terjadi hal yang sama. Data untuk dijadikan dasar perlunya suatu model atau program dikembangkan sangat 'langka'. Kalau sering terjadi seperti ini, maka sebenarnya kita sudah melayani kepentingan rakyat dengan benar atau belum?. Atau tak perlu bertanya seperti itu, wong rakyatnya aja tidak protes koq. Ya..... sudah, kita tunggu aja peristiwa apa yang terjadi berikutnya.

Tidak ada komentar: