Rabu, 13 Juli 2016

SEKILAS PENGARUSUTAMAAN GENDER



PERISTILAHAN SEKITAR GENDER
Dalam perbincangan, pembahasan, pekerjaan dan apapun tentang gender, kita akan menemukan -  bisa jadi - menghafalkan untuk selanjutnya memahami dan memahamkan kepada orang lain berbagai peristilahan seputar gender. Beberapa peristilahan tersebut terurai secara terbatas sebagai berikut :
1.       Sex berbeda dengan gender.Sex adalah perbedaan – perbedaan biologis antara lelaki dan perempuan. Sex bersifat universal. Contoh : Lelaki memproduksi sperma, perempuan dapat melahirkan.
2.      Gender adalah hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan. Gender merujuk pada hubungan antara laki-laki dan perempuan, anak laki-laki dan anak perempuan, dan bagaimana hubungan sosial ini dikonstruksikan. Peran gender bersifat dinamis dan berubah antar waktu.
3.   Kesetaraan Gender adalah hasil dari ketiadaan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin atas dasar kesempatan, alokasi sumber daya atau manfaat dan akses terhadap pelayanan.
4.      Pengarusutamaan Gender adalah proses untuk menjamin perempuan dan laki-laki mempunyai akses dan kontrol terhadap sumber daya, memperoleh manfaat  pembangunan dan pengambilan keputusan yang sama di semua tahapan proses pembangunan dan seluruh proyek, program dan kebijakan pemerintah.
5.    Kesadaran Gender adalah suatu pengertian bahwa ada faktor-faktor sosial yang menentukan antara laki-laki dan perempuan atas dasar tingkah laku, yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk mengakses dan mengontrol sumber daya. Kesadaran ini membutuhkan penerapan melalui analisa gender menjadi proyek, program dan kegiatan.
6.     Analisa Gender adalah metodologi untuk pengumpulan dan pengolahan informasi tentang gender. Analisa gender membutuhkan data terpilah berdasarkan jenis kelamin dan suatu pengertian dari konstruksi sosial dari peran gender, bagaimana pembagian kerja dan dinilai. Analisa gender adalah proses dari analisa informasi agar supaya menjamin manfaat dan sumberdaya pembangunan secara efektif dan adil ditujukan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Analisa Gender digunakan juga untuk mengantisipasi dan menolak akibat negatif dari pembangunan yang mungkin terjadi pada perempuan atau karena relasi gender. Analisa gender dilakukan menggunakan bermacam alat dan kerangka kerja.
7.   Perencanaan Gender (atau Perencanaan yang sensititif Gender) adalah  proses dari perencanaan program-program dan proyek-proyek pembangunan yang sensitif gender dan  mempertimbangkan impact dari peran gender dan kebutuhan gender dari laki-laki dan perempuan di dalam sasaran masyarakat atau sektor.
8. Peran Gender adalah perilaku yang dipelajari di dalam suatu masyarakat/komunitas yang dikondisikan bahwa kegiatan, tugas-tugas atau tanggung jawab patut diterima baik oleh laki-laki maupun perempuan. Peran gender dapat berubah, dan dipengaruhi oleh umur, kelas, ras, etnik, agama dan lingkungan geografi, ekonomi dan politik. Baik perempuan maupun laki-laki memiliki peran ganda di dalam masyarakat. Perempuan kerap mempunyai peran dalam mengatur reproduksi, produksi dan kemasyarakatan. Laki-laki lebih terfokus pada produksi dan politik kemasyarakatan.
9.  Pengarusutamaan gender, yang selanjutnya disebut PUG, adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan.
10.  Kelembagaan PUG adalah kelembagaan yang memenuhi unsur-unsur prasyarat PUG, yang berfungsi secara efektif dalam satu sistem berkelanjutan dengan norma yang disepakati dalam pemenuhan hak-hak asasi perempuan dan laki-laki secara adil untuk mencapai kesetaraan antara perempuan dan laki-laki di seluruh bidang pembangunan dan tingkatan pemerintahan.
11.  Lembaga masyarakat adalah lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warga Negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan visi, misi, profesi, fungsi dan kegiatan untuk berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, yang terdiri dari organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, organisasi swasta, organisasi sosial, organisasi politik, media massa, dan bentuk organisasi lainnya.
12.  Pemberdayaan lembaga masyarakat adalah upaya terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan untuk meningkatkan wawasan, kepedulian, perhatian, dan kapasitas lembaga masyarakat dalam berperan aktif di bidang pembangunan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
13.  Peran produksi adalah kegiatan yang dilakukan baik oleh laki-laki dan perempuan agar supaya menghasilkan barang dan layanan untuk diperdagangkan, dipertukarkan atau memenuhi nafkah bagi keluarga. Sebagai contoh di pertanian, kegiatan produksi termasuk penanaman, penyiangan, peternakan.
14.  Peran Reproduksi adalah aktivitas untuk menjamin reproduksi angkatan kerja. Hal ini termasuk pembatasan anak, penjarangan anak, perawatan terhadap anggota keluarga seperti orang tua, anak-anak dan pekerja. Tugas-tugas tersebut umumnya tidak mendapatkan upah dan kebanyakan dilakukan oleh perempuan.
15.  Peran masyarakat adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan di tingkat masyarakat untuk menjamin ketersediaan dan pengelolaan sumberdaya yang terbatas seperti air, perawatan kesehatan dan pendidikan. Pekerjaan ini biasanya tidak dibayar dan kebanyakan dilakukan oleh perempuan.
16. Peran politik perempuan adalah kegiatan-kegiatan di tingkat masyarakat, mengorganisir di tingkatan formal politik, sering kali dalam kerangka kerja politik nasional. Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh pria, dan biasanya dibayar secara langsung (uang) atau tidak langsung (meningkatnya kekuasaan dan status).
17.  Beban ganda  merujuk kepada kenyataan bahwa perempuan cenderung bekerja lebih lama dan lebih sedikit harinya dibandingkan laki-laki sebagaimana biasanya mereka terlibat dalam tiga peran gender yang berbeda-reproduksi, produksi dan dan peran di masyarakat.
 18.  Perlindungan perempuan adalah segala upaya yang ditujukan untuk melindungi perempuan dan memberikan rasa aman dalam pemenuhan hak-haknya dengan memberikan perhatian yang konsisten dan sistematis yang ditujukan untuk mencapai kesetaraan gender.
19. Diskriminasi terhadap perempuan adalah setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.
20. Segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan adalah segala bentuk diskriminasi , yang meliputi dimensi wilayah (daerah bencana, daerah konflik, daerah perbatasan, daerah tertinggal, daerah terpencil, dan lainnya), dimensi usia (usia produktif, usia lanjut, dan lainnya), dan dimensi khusus (penyandang cacat, tenaga kerja, dan lainnya).
21. Diskriminasi terhadap perempuan adalah setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.
22.  Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan yang selanjutnya disebut PKHP adalah upaya perbaikan kondisi fisik dan mental perempuan dalam pemenuhan hak dan kebutuhan hidupnya sebagai bagian hak asasi manusia dari berbagai bidang pembangunan, terutama pendidikan, kesehatan, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), sosial budaya, politik, hukum dan lingkungan hidup.
23.  Hak Reproduksi adalah hak-hak dasar setiap pasangan maupun individu untuk secara bebas dan bertanggung jawab memutuskan jumlah, jarak kelahiran, dan waktu untuk memiliki anak dan mendapatkan informasi serta cara melakukannya, termasuk hak untuk mendapatkan standar tertinggi kesehatan reproduksi dan juga kesehatan seksual (ICPD, Kairo 1994).
24. Gerakan Sayang Ibu yang selanjutnya disebut GSI adalah gerakan yang dilaksanakan oleh masyarakat dan pemerintah untuk peningkatan kualitas hidup perempuan melalui berbagai kegiatan yang mempunyai dampak terhadap upaya percepatan penurunan angka kematian ibu (AKI) karena hamil, bersalin dan nifas serta penurunan angka kematian bayi (AKB).
WUJUD KETIDAKADILAN GENDER
A.      Sterotype
Stereotype atau pelabelan berarti pemberian citra baku atau label/cap kepada seseorang atau kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah atau sesat.
Pelabelan pada umumnya dilakukan dalam dua hubungan atau lebih dan seringkali digunakan sebagai alasan untuk membenarkan suatu tindakan dari satu kelompok atas kelompok lainnya.
Stereotype dapat dikatakan sebagai sumber (pangkal) munculnya semua bentuk ketidakadilan gender. Karena pelabelan merupakan cara pandang seseorang atau sekelompok orang terhadap sesuatu yang kemudian dicapkannya atas sesuatu tersebut. Cara pandang inilah yang sangat berpengaruh terhadap sikap dan prilaku seseorang atau sekkelompok orang tersebut.
Pelabelan juga menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang timpang atau tidak seimbang  yang bertujuan untuk menaklukkan atau menguasai pihak lain.
Pelabelan negative juga dapat dilakukan atas dasar anggapan gender. Namun seringkali pelabelan negative ditimpakan kepada perempuan.
Contoh :
·                 Perempuan dianggap cengeng, suka digoda, cenderung manja.
·                 Perempuan tidak rasional, emosional, lebih banyak omong.
·                 Perempuan tidak bisa mengambil keputusan penting.
·                 Perempuan sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah tambahan.
·                 Laki-laki sebagai pencari nafkah utama.
·                 Laki-laki selalu lebih kuat daripada perempuan.
·                 Laki-laki berfikir dan bertindak rasional.


        B.   Kekerasan
Kekerasan (violence) artinya tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga, masyarakat atau negara terhadap jenis kelamin lainnya.
Peran gender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap feminin dan laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam ciri-ciri psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya perempuan dianggap lembut, lemah, penurut dan sebagainya.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembedaan itu. Namun ternyata pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan. Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan semena-mena, berupa tindakan kekerasan.
Contoh :
·          Kekerasan fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya di dalam rumah tangga, atau sebaliknya.
·          Pemukulan, penyiksaan dan perkosaan yang mengakibatkan perasaan tersiksa dan tertekan.
·          Pelecehan seksual.
·          Eksploitasi seks terhadap perempuan (atau lelaki) dan pornografi.




        C.    Beban ganda (double burden)
Beban ganda (double burden) artinya beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya.
Beban ganda pada umumnya cenderung terjadi terhadap jenis kelamin perempuan. Dalam suatu keluarga Indonesia pada umumnya, maka dilihat dari distribusi jam kerja dapat terlihat seorang ayah bekerja (di luar rumah) rata-rata 8 – 12 jam per hari. Sementara seorang istri bisa jadi bekerja 8-12 jam di luar rumah (bagi pegawai/pekerja) dan 2-8 jam bekerja di dalam rumah (domestic).
Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran yang statis dan permanen. Walaupun sudah ada peningkatan jumlah perempuan yang bekerja diwilayah public, namun tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka di wilayah domestic. Upaya maksimal yang dilakukan mereka adalah mensubstitusikan pekerjaan tersebut kepada perempuan lain, seperti pembantu rumah tangga atau anggota keluarga perempuan lainnya. Namun demikian, tanggung jawabnya masih tetap berada di pundak perempuan. Akibatnya mereka mengalami beban yang berlipat ganda.
        D.    Marjinalisasi (Peminggiran)
Marjinalisasi artinya : suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan.
Banyak cara yang dapat digunakan untuk memarjinalkan seseorang atau kelompok. Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi gender. Misalnya dengan anggapan bahwa perempuan berfungsi sebagai pencari nafkah tambahan, maka ketika mereka bekerja diluar rumah (sector public), seringkali dinilai dengan anggapan tersebut. Jika hal tersebut terjadi, maka sebenarnya telah berlangsung proses pemiskinan dengan alasan gender.
Contoh :
·     Guru Taman Kanak-Kanak, perawat, pekerja konveksi, buruh pabrik, pembantu rumah tangga dinilai sebagai pekerja rendah, sehingga berpengaruh pada tingkat gaji/upah yang diterima.
·    Masih banyaknya pekerja perempuan di pabrik yang rentan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dikarenakan tidak mempunyai ikatan formal dari perusahaan tempat bekerja karena alasan-alasan gender, seperti  sebagai pencari nafkah tambahan, pekerja sambilan dan juga alasan factor reproduksinya, seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui.
· Perubahan dari sistem pertanian tradisional kepada sistem pertanian modern dengan menggunakan mesin-mesin traktor telah memarjinalkan pekerja perempuan,

        E.     Subordinasi
Subordinasi berarti suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain.
Telah diketahui, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, telah memisahkan dan memilah-milah peran-peran gender, laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik atau reproduksi, sementara laki-laki dalam urusan public atau produksi.
Pertanyaannya adalah, apakah peran dan fungsi dalam urusan domestic dan reproduksi mendapat penghargaan yang sama dengan peran publik dan produksi? Jika jawabannya “tidak sama”, maka itu berarti peran dan fungsi public laki-laki. Sepanjang penghargaan social terhadap peran domestic dan reproduksi berbeda dengan peran publik dan reproduksi, sepanjang itu pula ketidakadilan masih berlangsung.
Contoh :
·   Masih sedikitnya jumlah perempuan yang bekerja pada posisi atau peran pengambil keputusan atau penentu kebijakan dibanding laki-laki.
·     Dalam pengupahan, perempuan yang menikah dianggap sebagai lajang, karena mendapat nafkah dari suami dan terkadang terkena potongan pajak.
·     Masih sedikitnya jumlah keterwakilan perempuan dalam dunia politik (anggota legislative dan eksekutif, mengapa hanya 30 persen?).

RENCANA AKSI DAERAH PENGARUSUTAMAAN GENDER (RAD-PUG)
A.   Landasan
Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 memerintahkan kepada seluruh Menteri, Kepala Lembaga, Gubernur dan Bupati/Walikota untuk mengintegrasikan pengarusutamaan gender (PUG) pada setiap tahapan proses pembangunan, mulai dari perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi seluruh kebijakan, program dan kegiatan baik yang berskala nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota pada semua bidang pembangunan.
Untuk  memedomani pengintegrasian pengaurusutamaan gender dalam proses perencanaan dan penganggaran, Menteri Dalam Negeri menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132 tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan di Daerah. 
Pada tahun 2008 Menteri Dalam Negeri menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah, yang kemudian diperbaharui dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomot 67 Tahun 2011. Peraturan tersebut menginstruksikan pada semua unit pemerintah di bawah koordinasi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), untuk mengintegrasikan pengarusutamaan gender ke dalam perencanaan dan penganggaran. Berdasarkan Permendagri tersebut juga, penyusunan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan berperspektif gender dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah atau RPJMD, Rencana Strategis SKPD, dan Rencana Kerja SKPD.  Melengkapi setiap dokumen perencanaan tersebut, sesuai Permendagri tersebut setiap Pemerintah Propinsi, Kabupaten/Kota diwajibkan menyusun Rencana Aksi Daerah PUG.
B. Penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) PUG.
Gerakan atau pembangunan apapun sangat membutuhkan perencanaan. Demikian pula halnya dengan pengarusutamaan gender.  Setiap pemerintah daerah sebagaimana pemerintah pusat perlu menyusun rencana aksi daerah sebagai panduan operasional tahunan bagi pelaksanaan pengarusutamaan gender. Melalui dokumen RAD PUG setiap komponen pelaksanaan PUG akan memperoleh panduan dan arahan di dalam menyusun kebijakan, program dan kegiatan dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan monitoring – evaluasi (monev) yang responsif gender pada setiap tahapan pembangunan, serta akan mampu mengefektifkan pelaksanaan strategi PUG secara lebih konkrit dan terarah untuk menjamin agar perempuan dan laki-laki memperoleh akses, partisipasi, mempunyai kontrol dan memperoleh manfaat yang adil dari pembangunan, dan  berkontribusi pada terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender.
Rencana Aksi Daerah Pengarusutamaan Gender diorientasikan untuk mengakselerasi  pencapaian millenium Development Goals (MDG’s) sebagai berikut :
1.    Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan,
2.    Mewujudkan Pendidikan Dasar Untuk Semua,
3.    Mendorong Kesetaraan Gender dan  Pemberdayaan Perempuan,
4.    Menurunkan Angka Kematian Anak,
5.    Meningkatkan Kesehatan Ibu,
6.    Memerangi HIV AIDS, Malaria dan penyakit menular lainnya, dan
7.    Melestarian Lingkungan,
8.    Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan  sesuai isu strategis di setiap tujuan.
Melalui Rencana Aksi Daerah Pengarusutamaan Gender juga dimaksudkan agar beberapa sasaran PUG dapat dicapai secara cepat, logis, dan sistematis. Sasaran tersebut adalah : 
1.       Mendorong implementasi perundang-undangan yang berperspektif gender;
2.       Memperkuat jaringan kelembagaan pengarustamaan gender termasuk keterpaduan program dan kegiatan;
3.        Memperkuat komitmen penganggaran yang responsif gender di SKPD;
4.       Meningkatan kemampuan mengintegrasikan isu gender dalam program/ kegiatan di SKPD;
5.       Melaksanaan PUG dalam pembangunan sesuai dengan perencanaan dan penganggaran yang responsif gender di SKPD.
Dokumen RAD-PUG perlu mengakomodasi setiap permasalahan yang diperkirakan akan muncul dan muncul saat kegiatan dan program pengarusutamaan gender berikut rencana-rencana kegiatan pemecahannya. Permasalahan tersebut paling tidak berkisar tentang :
1.       Pemahaman dan kesediaan semua personal (petugas dan masyarakat) terhadap konsep dan implementasi pengarusutamaan gender dalam pembangunan;
2.       Pemahaman dan kesediaan personal untuk melaksanakan pembangunan bidang yang diampunya secara terpadu (sinergi) dengan bidang lain dan berdasarkan prinsip keadilan gender.
3.       Pemastian atau penjaminan semua personal terhadap semua kegiatan atau program telah melalui perencanaan dan analisis keadilan gender.
4.       Penyelenggaraan kegiatan pengarusutamaan gender yang meningkat kualitasnya dan berkelanjutan.
Untuk mencapai proses penyusunan dan pencapaian dokumen RAD-PUG yang mengakomodasi hal-hal tersebut di atas, maka RAD-PUG perlu disusun secara kolaboratif dan integrative antar komponen dan antar lini. Tentu dengan coordinator Bappeda sesuai peraturan yang ada.
Secara sederhana mekanismenya dapat melalui kegiatan – kegiatan sebagai berikut :
1.       Inisiator melakukan sosialisasi dan pendekatan kepada semua elemen pembangunan daerah, terutama para penentu kebijakan di eksekutif, legeslatif, dan yudikatif serta tokoh masyarakat. Materi pokok yang dibangun inisiator adalah tentang pentingnya PUG dalam pembangunan daerah dan peran kunci masing-masing penentu kebijakan;
2.       Inisiator mempengaruhi penentu kebijakan agar menerbitkan peraturan daerah dan peraturan lainnya yang memperkuat posisi PUG dalam pembangunan daerah. Dalam hal ini, aspek yang terpenting diakomodasi dalam peraturan adalah tentang dasar legalitas, mekanisme (SOP) PUG dalam pembangunan daerah, tugas setiap komponen lembaga OPD, penganggaran dan akuntabilitasnya, dan penjaminan PUG yang berkelanjutan;
3.       Inisiator mempengaruhi penentu kebijakan agar terbit landasan kerja bagi Kelompok Kerja (Pokja) PUG daerah;
4.       Inisiator mempengaruhi Bappeda dan lembaga lainnya untuk membuat dan menyepakati indicator PUG dalam pengelolaan pembangunan daerah;
5.       Pokja PUG menyepakati iklim dan budaya kerja Pokja serta menyusun Renstra dan RAD PUG;
6.        Inisiator dan Pokja mempengaruhi setiap lembaga untuk melakukan sosialisasi terus menerus tentang PUG dan selalu meningkatkan mutu operasionalisasi PUG pada seluruh tahapan pembangunan daerah.
      7.      Pokja PUG daerah melaksanakan reviu dan evaluasi perkembangan dan hasil    RAD PUG secara periodic.

Tidak ada komentar: