PERISTILAHAN
SEKITAR GENDER
Dalam perbincangan, pembahasan, pekerjaan dan apapun
tentang gender, kita akan menemukan - bisa jadi - menghafalkan untuk selanjutnya
memahami dan memahamkan kepada orang lain berbagai peristilahan seputar gender.
Beberapa peristilahan tersebut terurai secara terbatas sebagai berikut :
1. Sex
berbeda dengan gender.Sex adalah perbedaan – perbedaan biologis antara lelaki
dan perempuan. Sex bersifat universal. Contoh : Lelaki memproduksi sperma,
perempuan dapat melahirkan.
2. Gender adalah hubungan sosial antara
laki-laki dan perempuan. Gender merujuk pada hubungan antara laki-laki dan
perempuan, anak laki-laki dan anak perempuan, dan bagaimana hubungan sosial ini
dikonstruksikan. Peran gender bersifat dinamis dan berubah antar waktu.
3. Kesetaraan Gender adalah hasil dari
ketiadaan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin atas dasar kesempatan, alokasi
sumber daya atau manfaat dan akses terhadap pelayanan.
4. Pengarusutamaan Gender adalah proses
untuk menjamin perempuan dan laki-laki mempunyai akses dan kontrol terhadap
sumber daya, memperoleh manfaat pembangunan dan pengambilan keputusan
yang sama di semua tahapan proses pembangunan dan seluruh proyek, program dan
kebijakan pemerintah.
5. Kesadaran Gender adalah suatu
pengertian bahwa ada faktor-faktor sosial yang menentukan antara laki-laki dan
perempuan atas dasar tingkah laku, yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk
mengakses dan mengontrol sumber daya. Kesadaran ini membutuhkan penerapan
melalui analisa gender menjadi proyek, program dan kegiatan.
6. Analisa Gender adalah metodologi
untuk pengumpulan dan pengolahan informasi tentang gender. Analisa gender
membutuhkan data terpilah berdasarkan jenis kelamin dan suatu pengertian dari
konstruksi sosial dari peran gender, bagaimana pembagian kerja dan dinilai.
Analisa gender adalah proses dari analisa informasi agar supaya menjamin
manfaat dan sumberdaya pembangunan secara efektif dan adil ditujukan baik bagi
laki-laki maupun perempuan. Analisa Gender digunakan juga untuk mengantisipasi
dan menolak akibat negatif dari pembangunan yang mungkin terjadi pada perempuan
atau karena relasi gender. Analisa gender dilakukan menggunakan bermacam alat
dan kerangka kerja.
7. Perencanaan Gender (atau Perencanaan
yang sensititif Gender) adalah proses dari perencanaan program-program
dan proyek-proyek pembangunan yang sensitif gender dan mempertimbangkan impact dari peran gender dan
kebutuhan gender dari laki-laki dan perempuan di dalam sasaran masyarakat atau
sektor.
8. Peran Gender adalah perilaku yang
dipelajari di dalam suatu masyarakat/komunitas yang dikondisikan bahwa
kegiatan, tugas-tugas atau tanggung jawab patut diterima baik oleh laki-laki maupun
perempuan. Peran gender dapat berubah, dan dipengaruhi oleh umur, kelas, ras,
etnik, agama dan lingkungan geografi, ekonomi dan politik. Baik perempuan
maupun laki-laki memiliki peran ganda di dalam masyarakat. Perempuan kerap
mempunyai peran dalam mengatur reproduksi, produksi dan kemasyarakatan.
Laki-laki lebih terfokus pada produksi dan politik kemasyarakatan.
9. Pengarusutamaan gender, yang
selanjutnya disebut PUG, adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan
gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan
pembangunan.
10. Kelembagaan PUG adalah kelembagaan yang memenuhi unsur-unsur prasyarat
PUG, yang berfungsi secara efektif dalam satu sistem berkelanjutan dengan norma
yang disepakati dalam pemenuhan hak-hak asasi perempuan dan laki-laki secara
adil untuk mencapai kesetaraan antara perempuan dan laki-laki di seluruh bidang
pembangunan dan tingkatan pemerintahan.
11. Lembaga masyarakat adalah lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat
Warga Negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan visi, misi, profesi,
fungsi dan kegiatan untuk berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai
tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila, yang terdiri dari organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat,
organisasi profesi, organisasi swasta, organisasi sosial, organisasi politik,
media massa, dan bentuk organisasi lainnya.
12. Pemberdayaan lembaga masyarakat
adalah upaya terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan untuk meningkatkan
wawasan, kepedulian, perhatian, dan kapasitas lembaga masyarakat dalam berperan
aktif di bidang pembangunan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
13. Peran produksi adalah kegiatan yang
dilakukan baik oleh laki-laki dan perempuan agar supaya menghasilkan barang dan
layanan untuk diperdagangkan, dipertukarkan atau memenuhi nafkah bagi keluarga.
Sebagai contoh di pertanian, kegiatan produksi termasuk penanaman, penyiangan,
peternakan.
14. Peran Reproduksi adalah aktivitas
untuk menjamin reproduksi angkatan kerja. Hal ini termasuk pembatasan anak,
penjarangan anak, perawatan terhadap anggota keluarga seperti orang tua,
anak-anak dan pekerja. Tugas-tugas tersebut umumnya tidak mendapatkan upah dan
kebanyakan dilakukan oleh perempuan.
15. Peran masyarakat adalah
kegiatan-kegiatan yang dilakukan di tingkat masyarakat untuk menjamin
ketersediaan dan pengelolaan sumberdaya yang terbatas seperti air, perawatan
kesehatan dan pendidikan. Pekerjaan ini biasanya tidak dibayar dan kebanyakan
dilakukan oleh perempuan.
16. Peran politik perempuan adalah
kegiatan-kegiatan di tingkat masyarakat, mengorganisir di tingkatan formal
politik, sering kali dalam kerangka kerja politik nasional. Pekerjaan ini
biasanya dilakukan oleh pria, dan biasanya dibayar secara langsung (uang) atau
tidak langsung (meningkatnya kekuasaan dan status).
17. Beban ganda merujuk kepada
kenyataan bahwa perempuan cenderung bekerja lebih lama dan lebih sedikit
harinya dibandingkan laki-laki sebagaimana biasanya mereka terlibat dalam tiga
peran gender yang berbeda-reproduksi, produksi dan dan peran di masyarakat.
18. Perlindungan perempuan adalah segala
upaya yang ditujukan untuk melindungi perempuan dan memberikan rasa aman dalam
pemenuhan hak-haknya dengan memberikan perhatian yang konsisten dan sistematis
yang ditujukan untuk mencapai kesetaraan gender.
19. Diskriminasi terhadap perempuan
adalah setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar
jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau
menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak azasi manusia dan
kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil
atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka,
atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.
20. Segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan adalah segala bentuk diskriminasi , yang meliputi dimensi wilayah
(daerah bencana, daerah konflik, daerah perbatasan, daerah tertinggal, daerah
terpencil, dan lainnya), dimensi usia (usia produktif, usia lanjut, dan
lainnya), dan dimensi khusus (penyandang cacat, tenaga kerja, dan lainnya).
21. Diskriminasi terhadap perempuan
adalah setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar
jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau
menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak azasi manusia dan
kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil
atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan
mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.
22. Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan
yang selanjutnya disebut PKHP adalah upaya perbaikan kondisi fisik dan mental
perempuan dalam pemenuhan hak dan kebutuhan hidupnya sebagai bagian hak asasi
manusia dari berbagai bidang pembangunan, terutama pendidikan, kesehatan,
ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), sosial budaya, politik, hukum
dan lingkungan hidup.
23. Hak Reproduksi adalah hak-hak dasar
setiap pasangan maupun individu untuk secara bebas dan bertanggung jawab
memutuskan jumlah, jarak kelahiran, dan waktu untuk memiliki anak dan
mendapatkan informasi serta cara melakukannya, termasuk hak untuk mendapatkan
standar tertinggi kesehatan reproduksi dan juga kesehatan seksual (ICPD, Kairo
1994).
24. Gerakan Sayang Ibu yang selanjutnya disebut GSI adalah gerakan
yang dilaksanakan oleh masyarakat dan pemerintah untuk peningkatan kualitas
hidup perempuan melalui berbagai kegiatan yang mempunyai dampak terhadap upaya
percepatan penurunan angka kematian ibu (AKI) karena hamil, bersalin dan nifas
serta penurunan angka kematian bayi (AKB).
WUJUD KETIDAKADILAN GENDER
A. Sterotype
Stereotype atau pelabelan berarti pemberian citra baku atau
label/cap kepada seseorang atau kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan
yang salah atau sesat.
Pelabelan pada umumnya dilakukan dalam dua hubungan atau lebih dan seringkali digunakan sebagai alasan untuk membenarkan suatu tindakan dari satu kelompok atas kelompok lainnya.
Pelabelan pada umumnya dilakukan dalam dua hubungan atau lebih dan seringkali digunakan sebagai alasan untuk membenarkan suatu tindakan dari satu kelompok atas kelompok lainnya.
Stereotype dapat dikatakan sebagai sumber (pangkal)
munculnya semua bentuk ketidakadilan gender. Karena pelabelan merupakan cara
pandang seseorang atau sekelompok orang terhadap sesuatu yang kemudian
dicapkannya atas sesuatu tersebut. Cara pandang inilah yang sangat berpengaruh
terhadap sikap dan prilaku seseorang atau sekkelompok orang tersebut.
Pelabelan juga menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang
timpang atau tidak seimbang yang bertujuan untuk menaklukkan atau
menguasai pihak lain.
Pelabelan negative juga dapat dilakukan atas dasar anggapan gender. Namun seringkali pelabelan negative ditimpakan kepada perempuan.
Pelabelan negative juga dapat dilakukan atas dasar anggapan gender. Namun seringkali pelabelan negative ditimpakan kepada perempuan.
Contoh :
·
Perempuan dianggap
cengeng, suka digoda, cenderung manja.
·
Perempuan tidak
rasional, emosional, lebih banyak omong.
·
Perempuan tidak
bisa mengambil keputusan penting.
·
Perempuan sebagai
ibu rumah tangga dan pencari nafkah tambahan.
·
Laki-laki sebagai
pencari nafkah utama.
·
Laki-laki selalu
lebih kuat daripada perempuan.
·
Laki-laki berfikir
dan bertindak rasional.
B. Kekerasan
Kekerasan (violence) artinya tindak kekerasan, baik
fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah
institusi keluarga, masyarakat atau negara terhadap jenis kelamin lainnya.
Peran gender telah membedakan karakter perempuan dan
laki-laki. Perempuan dianggap feminin dan laki-laki maskulin. Karakter ini
kemudian mewujud dalam ciri-ciri psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah,
kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya perempuan dianggap lembut, lemah,
penurut dan sebagainya.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembedaan itu. Namun
ternyata pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan. Dengan
anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk
diperlakukan semena-mena, berupa tindakan kekerasan.
Contoh :
·
Kekerasan fisik
maupun non fisik yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya di dalam rumah
tangga, atau sebaliknya.
·
Pemukulan, penyiksaan
dan perkosaan yang mengakibatkan perasaan tersiksa dan tertekan.
·
Pelecehan seksual.
·
Eksploitasi seks
terhadap perempuan (atau lelaki) dan pornografi.
C. Beban ganda (double burden)
Beban ganda (double burden) artinya beban pekerjaan
yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin
lainnya.
Beban ganda pada umumnya cenderung terjadi terhadap jenis
kelamin perempuan. Dalam suatu keluarga Indonesia pada umumnya, maka dilihat
dari distribusi jam kerja dapat terlihat seorang ayah bekerja (di luar rumah)
rata-rata 8 – 12 jam per hari. Sementara seorang istri bisa jadi bekerja 8-12
jam di luar rumah (bagi pegawai/pekerja) dan 2-8 jam bekerja di dalam rumah
(domestic).
Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran yang
statis dan permanen. Walaupun sudah ada peningkatan jumlah perempuan yang
bekerja diwilayah public, namun tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka
di wilayah domestic. Upaya maksimal yang dilakukan mereka adalah
mensubstitusikan pekerjaan tersebut kepada perempuan lain, seperti pembantu
rumah tangga atau anggota keluarga perempuan lainnya. Namun demikian, tanggung
jawabnya masih tetap berada di pundak perempuan. Akibatnya mereka mengalami
beban yang berlipat ganda.
D. Marjinalisasi
(Peminggiran)
Marjinalisasi artinya : suatu proses peminggiran akibat
perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan.
Banyak cara yang dapat digunakan untuk memarjinalkan
seseorang atau kelompok. Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi gender.
Misalnya dengan anggapan bahwa perempuan berfungsi sebagai pencari nafkah
tambahan, maka ketika mereka bekerja diluar rumah (sector public), seringkali
dinilai dengan anggapan tersebut. Jika hal tersebut terjadi, maka sebenarnya
telah berlangsung proses pemiskinan dengan alasan gender.
Contoh :
· Guru Taman
Kanak-Kanak, perawat, pekerja konveksi, buruh pabrik, pembantu rumah tangga
dinilai sebagai pekerja rendah, sehingga berpengaruh pada tingkat gaji/upah
yang diterima.
· Masih banyaknya
pekerja perempuan di pabrik yang rentan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
dikarenakan tidak mempunyai ikatan formal dari perusahaan tempat bekerja karena
alasan-alasan gender, seperti sebagai pencari nafkah tambahan, pekerja
sambilan dan juga alasan factor reproduksinya, seperti menstruasi, hamil,
melahirkan dan menyusui.
· Perubahan dari sistem
pertanian tradisional kepada sistem pertanian modern dengan menggunakan
mesin-mesin traktor telah memarjinalkan pekerja perempuan,
E. Subordinasi
Subordinasi berarti suatu penilaian atau anggapan bahwa
suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain.
Telah diketahui, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat,
telah memisahkan dan memilah-milah peran-peran gender, laki-laki dan perempuan.
Perempuan dianggap bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik
atau reproduksi, sementara laki-laki dalam urusan public atau produksi.
Pertanyaannya adalah, apakah peran dan fungsi dalam urusan
domestic dan reproduksi mendapat penghargaan yang sama dengan peran publik dan
produksi? Jika jawabannya “tidak sama”, maka itu berarti peran dan fungsi
public laki-laki. Sepanjang penghargaan social terhadap peran domestic dan
reproduksi berbeda dengan peran publik dan reproduksi, sepanjang itu pula ketidakadilan
masih berlangsung.
Contoh :
· Masih sedikitnya
jumlah perempuan yang bekerja pada posisi atau peran pengambil keputusan atau
penentu kebijakan dibanding laki-laki.
· Dalam pengupahan,
perempuan yang menikah dianggap sebagai lajang, karena mendapat nafkah dari
suami dan terkadang terkena potongan pajak.
· Masih sedikitnya
jumlah keterwakilan perempuan dalam dunia politik (anggota legislative dan
eksekutif, mengapa hanya 30 persen?).
RENCANA AKSI DAERAH
PENGARUSUTAMAAN GENDER (RAD-PUG)
A. Landasan
Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 memerintahkan kepada seluruh
Menteri, Kepala Lembaga, Gubernur dan Bupati/Walikota untuk mengintegrasikan pengarusutamaan
gender (PUG) pada setiap tahapan proses pembangunan, mulai dari perencanaan dan
penganggaran, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi seluruh kebijakan, program
dan kegiatan baik yang berskala nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota pada
semua bidang pembangunan.
Untuk memedomani pengintegrasian
pengaurusutamaan gender dalam proses perencanaan dan penganggaran, Menteri
Dalam Negeri menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132 tahun 2003
tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan di
Daerah.
Pada tahun 2008 Menteri Dalam Negeri menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah, yang kemudian diperbaharui dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomot 67 Tahun 2011. Peraturan tersebut menginstruksikan pada semua unit pemerintah di bawah koordinasi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), untuk mengintegrasikan pengarusutamaan gender ke dalam perencanaan dan penganggaran. Berdasarkan Permendagri tersebut juga, penyusunan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan berperspektif gender dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah atau RPJMD, Rencana Strategis SKPD, dan Rencana Kerja SKPD. Melengkapi setiap dokumen perencanaan tersebut, sesuai Permendagri tersebut setiap Pemerintah Propinsi, Kabupaten/Kota diwajibkan menyusun Rencana Aksi Daerah PUG.
Pada tahun 2008 Menteri Dalam Negeri menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah, yang kemudian diperbaharui dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomot 67 Tahun 2011. Peraturan tersebut menginstruksikan pada semua unit pemerintah di bawah koordinasi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), untuk mengintegrasikan pengarusutamaan gender ke dalam perencanaan dan penganggaran. Berdasarkan Permendagri tersebut juga, penyusunan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan berperspektif gender dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah atau RPJMD, Rencana Strategis SKPD, dan Rencana Kerja SKPD. Melengkapi setiap dokumen perencanaan tersebut, sesuai Permendagri tersebut setiap Pemerintah Propinsi, Kabupaten/Kota diwajibkan menyusun Rencana Aksi Daerah PUG.
B. Penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) PUG.
Gerakan atau pembangunan apapun sangat membutuhkan
perencanaan. Demikian pula halnya dengan pengarusutamaan gender. Setiap pemerintah daerah sebagaimana
pemerintah pusat perlu menyusun rencana aksi daerah sebagai panduan operasional
tahunan bagi pelaksanaan pengarusutamaan gender. Melalui dokumen RAD PUG setiap
komponen pelaksanaan PUG akan memperoleh panduan dan arahan di dalam menyusun kebijakan, program dan
kegiatan dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan monitoring – evaluasi (monev)
yang responsif gender pada setiap tahapan pembangunan, serta akan mampu mengefektifkan
pelaksanaan strategi PUG secara lebih konkrit dan terarah untuk menjamin agar
perempuan dan laki-laki memperoleh akses, partisipasi, mempunyai kontrol dan
memperoleh manfaat yang adil dari pembangunan, dan berkontribusi pada
terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender.
Rencana Aksi Daerah Pengarusutamaan Gender diorientasikan untuk mengakselerasi pencapaian millenium Development Goals (MDG’s) sebagai berikut :
Rencana Aksi Daerah Pengarusutamaan Gender diorientasikan untuk mengakselerasi pencapaian millenium Development Goals (MDG’s) sebagai berikut :
1. Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan,
2. Mewujudkan Pendidikan Dasar Untuk Semua,
3. Mendorong Kesetaraan Gender dan
Pemberdayaan Perempuan,
4. Menurunkan Angka Kematian Anak,
5. Meningkatkan Kesehatan Ibu,
6. Memerangi HIV AIDS, Malaria dan penyakit
menular lainnya, dan
7. Melestarian
Lingkungan,
8. Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan
sesuai isu strategis di setiap tujuan.
Melalui Rencana Aksi Daerah Pengarusutamaan Gender juga
dimaksudkan agar beberapa sasaran PUG dapat dicapai secara cepat, logis, dan
sistematis. Sasaran tersebut adalah :
1. Mendorong implementasi perundang-undangan
yang berperspektif gender;
2. Memperkuat jaringan kelembagaan
pengarustamaan gender termasuk keterpaduan program dan kegiatan;
3. Memperkuat komitmen
penganggaran yang responsif gender di SKPD;
4. Meningkatan kemampuan
mengintegrasikan isu gender dalam program/ kegiatan di SKPD;
5. Melaksanaan PUG dalam
pembangunan sesuai dengan perencanaan dan penganggaran yang responsif gender di
SKPD.
Dokumen RAD-PUG perlu mengakomodasi setiap permasalahan yang
diperkirakan akan muncul dan muncul saat kegiatan dan program pengarusutamaan
gender berikut rencana-rencana kegiatan pemecahannya. Permasalahan tersebut
paling tidak berkisar tentang :
1.
Pemahaman dan kesediaan semua personal (petugas dan masyarakat)
terhadap konsep dan implementasi pengarusutamaan gender dalam pembangunan;
2.
Pemahaman dan kesediaan personal untuk melaksanakan pembangunan
bidang yang diampunya secara terpadu (sinergi) dengan bidang lain dan
berdasarkan prinsip keadilan gender.
3.
Pemastian atau penjaminan semua personal terhadap semua kegiatan
atau program telah melalui perencanaan dan analisis keadilan gender.
4.
Penyelenggaraan kegiatan pengarusutamaan gender yang meningkat
kualitasnya dan berkelanjutan.
Untuk mencapai proses penyusunan dan pencapaian dokumen RAD-PUG
yang mengakomodasi hal-hal tersebut di atas, maka RAD-PUG perlu disusun secara
kolaboratif dan integrative antar komponen dan antar lini. Tentu dengan
coordinator Bappeda sesuai peraturan yang ada.
Secara sederhana mekanismenya dapat melalui kegiatan – kegiatan
sebagai berikut :
1.
Inisiator melakukan sosialisasi dan pendekatan kepada semua elemen
pembangunan daerah, terutama para penentu kebijakan di eksekutif, legeslatif,
dan yudikatif serta tokoh masyarakat. Materi pokok yang dibangun inisiator
adalah tentang pentingnya PUG dalam pembangunan daerah dan peran kunci
masing-masing penentu kebijakan;
2.
Inisiator mempengaruhi penentu kebijakan agar menerbitkan
peraturan daerah dan peraturan lainnya yang memperkuat posisi PUG dalam
pembangunan daerah. Dalam hal ini, aspek yang terpenting diakomodasi dalam
peraturan adalah tentang dasar legalitas, mekanisme (SOP) PUG dalam pembangunan
daerah, tugas setiap komponen lembaga OPD, penganggaran dan akuntabilitasnya,
dan penjaminan PUG yang berkelanjutan;
3.
Inisiator mempengaruhi penentu kebijakan agar terbit landasan
kerja bagi Kelompok Kerja (Pokja) PUG daerah;
4.
Inisiator mempengaruhi Bappeda dan lembaga lainnya untuk membuat
dan menyepakati indicator PUG dalam pengelolaan pembangunan daerah;
5.
Pokja PUG menyepakati iklim dan budaya kerja Pokja serta menyusun
Renstra dan RAD PUG;
6.
Inisiator dan Pokja mempengaruhi
setiap lembaga untuk melakukan sosialisasi terus menerus tentang PUG dan selalu
meningkatkan mutu operasionalisasi PUG pada seluruh tahapan pembangunan daerah.
7. Pokja
PUG daerah melaksanakan reviu dan evaluasi perkembangan dan hasil RAD PUG
secara periodic.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar