Selasa, 09 Juni 2015

KETERSAMBUNGAN KELUARGA DENGAN SATUAN PENDIDIKAN DALAM PENDIDIKAN BANGSA

Alkisah, adalah sekeluarga suami, istri, dan seorang anak berusia 7 tahun. Mereka hendak menyekolahkan anaknya di satuan pendidikan yang mampu mendidik akhlaq (budi pekerti), agar anaknya kelak dewasa menjadi orang berbudi pekerti luhur. Pergilah mereka ke suatu sekolah, bertemu dengan kepala sekolahnya. Kepala sekolah bertanya :"apa gerangan maksud bapak dan ibu menemui saya?". Si Ibu (istri) mengutarakan maksudnya ingin menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut agar anaknya berbudi pekerti luhur. Kepala sekolah menjawab: "maafkan saya ibu-bapak, kami tidak bisa melakukan itu. Mendengar jawaban itu, pergilah sekeluarga tadi menemui satuan pendidikan lain. Sekira 7 - 8 satuan pendidikan yang dikunjunginya tidak mampu menerima anaknya tersebut, karena alasan yang sama, yaitu satuan pendidikan tidak bisa mendidik budi pekerti seperti yang dimaui keluarga tersebut. 
Menjelang putus asa dan super kelelahan, sampailah keluarga tadi ke suatu pesantren, dan ketemulah dengan guru utamanya (Kyai) yang sekaligus pemilik dan pengasuh lembaga tersebut. Dialog yang sama pun terjadi atau terulang, tetapi di ujung jawaban Sang Kyai adalah: Lembaga manapun tidak akan mampu memenuhi harapan bapak-ibu, sebab sejatinya pendidikan budi pekerti yang utama dan efektif berada pada bapak-ibu atau keluarga atau di rumah bapak-ibu.
Demi mendengar jawaban itu, pendek cerita dibuatlah kontrak antara keluarga tadi dengan Sang Kyai untuk bekerja sama mewujudkan pendidikan anak yang berbudi pekerti luhur, dengan masing - masing tugas dan perannya pada posisinya masing - masing. 
Keluarga itu kemudian bergumam: Pendidikan yang utama adanya di keluarga, pendidikan di tempat lain hanya pelengkap saja.
Implikasi dari kisah tersebut, ingin saya gambarkan bahwa sampai hari ini tingkat ketersambungan antara harapan keluarga dengan visi dan misi satuan pendidikan dalam mendidik anak bangsa masih sulit dinyatakan "nyambung", karena faktanya sangat sedikit kedua orangtua siswa/peserta didik hadir dan berdialog (melakukan kontrak pendidikan) dengan unsur/pimpinan satuan pendidikan saat awal tahun ajaran dimana anak (siswa) didaftarkan. INILAH KONDISI NYATA yang menyulitkan terjadinya ketersambungan itu.
Bagaimana solusi untuk terciptanya ketersambungan itu?. Mudah saja. Mulailah dengan kesadaran orangtua bahwa tanggung jawab utama pendidikan anak ada di pundak orangtua. Orangtua jangan merasa "bebas" dari tanggung jawab saat anaknya diserahkan ke satuan pendidikan yang hanya beberapa jam saja per harinya. Selanjutnya, sebagai perwujudan tanggungjawab itu, mereka harus memastikan bahwa satuan pendidikan yang di[pilihnya "nyambung" dengan keinginan atau harapan atau rencana pendidikan anaknya secara keseluruhan. Pernahkah orangtua mengkritisi apa visi, misi, dan unggulan pendidikan yang dilaksanakan di satuan pendidikan?. JARANG ADA ORANGTUA YANG SPERTI ITU. Yang berikutnya, selalulah berdiskusi dengan unsur satuan pendidikan tentang perkembangan karakter, keilmuan, dan kebiasaan serta kepedulian anak terhadap ddirinya, keluarganya, dan masyarakatnya. Dengan demikian ritme dan isi pendidikan kepada anak akan sinkron antara perlakuan yang terjadi di keluarga (rumah) dengan perlakuan yang terjadi di satuan pendidikan. 
Implikasi berikutnya adalah sedapat mungkin pemerintah dan masyarakat menciptakan iklim kondusif bagi ketersambungan pendidikan yang sudah terjadi antara di keluarga dengan satuan pendidikan. sehiungga tersambung pula dengan perlakuan pendidikan yang dilakukan di lingkungan atau masyarakat. INILAH YANG DIDESAIN UNTUK TERJADINYA KEBERPERANAN TRIPUSAT DALAM PENDIDIKAN ANAK BANGSA.

Tidak ada komentar: